Para Profesional dan Eksekutif Perlu “Golden Rules”

0
572

Oleh: P. Adriyanto

 

 

Pada saat merayakan HUT ke 75, majalah *Forbes* mengundang para ilmuwan dari berbagai bidang dan berbagai penjuru dunia untuk membahas sebuah pertanyaan *”mengapa kita begitu tidak bahagia? “*

Semua ilmuwan setuju pada satu alasan utama, yakni

*”kita menjadi orang bermasalah karena kita tidak punya pegangan moril dan spiritual terutama dalam bidang bisnis.”*

Pegangan moril dan spiritual yang mereka maksudkan adalah:

 

° banyak eksekutif/leader yang tujuan utamanya hanya mencari kesejahteraan pribadi, tanpa mau peduli terhadap kondisi perusahaan.

Mereka adalah *high flier* (ingin cepat-cepat dipromosikan)  dan menjadi *kupu-kupu*yang hinggap di satu bunga ke bunga lain untuk menghisap sari makanan.

 

° Tidak ada kesadaran untuk membantu orang lain untuk menjadi matang baik secara psikologis maupun spiritual yang seharusnya dilakukan oleh seorang leader.

Akibatnya pembinaan dan pemberdayaan para followers (pengikut/orang-orang yang berada di bawah koordinasinya) tidak terjadi karena persaingan (takut tersaingi oleh  calon penggantinya yang kemungkinan punya potensi manajerial dan leadership yang lebih unggul) dan egoisme.

 

Pelaksanaan pemberdayaan,  kalaupun ada,  hanya berupa formal training yang tidak efektif,  dan tidak ada directing yang sifatnya pemberdayaan, coaching dan mentoring dari pemimpin.

Saya beberapa tahun yang lalu membaca buku *”The Road Less Traveled”.*

Dalam buku tersebut ditekankan bahwa cinta kasih tidak hanya menyangkut ketertarikan terhadap orang lain, baik secara emosional atau fisik,  tapi lebih dari itu yakni kemauan untuk mengembangkan diri sendiri agar dapat mengembangkan orang lain.

 

° Terjadi *golden rules* yang semakin memudar.

Golden rules tersebut adalah:

 

1. Harus ada keselarasan antara misi, nilai-nilai dan visi perusahaan dengan misi, nilai-nilai dan visi karyawan yang harus dibungkus dengan *keterikatan/kesatuan (cohesion) yang terus menerus harus dipupuk. Dalam sebuah seminar, saya kutip ayat Alkitab: *”Hendaklah kamu sehati-sepikir dalam satu kasih, *satu jiwa, satu tujuan,  dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri atau puji- pujian yang sia-sia.*

Baca juga  Kebaskanlah Debu

*Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri; dan janganlah tiap-*

*orang hanya* *mementingkan kepentinganya sendiri, tapi kepentingan orang lain juga.”*

*Filipi 2:2~4*

Ayat di atas dipakai oleh para pakar manajemen dan diberi label *kesatuan jiwa,*yakni kesatuan pada level yang jauh lebih tinggi ketimbang *kesatuan tempat.*Kesatuan jiwa ini pada hakekatnya merupakan daya dorong untuk kemajuan/pertumbuhan perusahaan yang harus diciptakan oleh pemimpin.

Note:

Kesatuan tempat terjadi karena orang-orang yang mungkin tidak saling mengenal dan tidak terkoordinasi pada tempat yang sama mempunyai tujuan/tekad masing-masing yang kebetulan sama. Contoh tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic,  dimana setiap orang punya tujuan yang sama yakni ingin selamat. Karena tidak terkoordinasi,  maka timbul egoisme dimana mereka saling berebut life vest dan sekoci.

Sebaliknya,  bila terjadi kesatuan jiwa, maka para penumpang kapal yang bocor akan bekerjasama untuk menambal kebocoran tsb.

Saya masih ingat, betapa manajemen dan karyawan bersatu untuk menyelamatkan perusahaan ketika perusahaan dilanda krisis moneter pada tahun 1997/8. Setelah perusahaan berhasil survive,  sayang kesatuan jiwa tsb menjadi pudar.

 

2. Harus ada *moral leadership.* Moral leadership menuntut setiap pemimpin/manajemen untuk punya *perasaan/punya hati*untuk bertindak all-out/mati-matian membangun dan mengembangkan perusahaan. Perasaan ini dituntut terutama bila perusahaan dalam bahaya kemerosotan yang menggerus kekayaan bersih (net worth) perusahaan.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here