Sesuatu yang terlambat acapkali membawa dampak yang negatif. Keterlambatan, tindakan yang terlambat dan atau lamban, tidak melahirkan apresiasi dari orang lain. Keterlambatan terjadi bisa disebabkan banyak faktor. Acapkali jika kita terlambat datang ke kantor atau ke suatu acara maka kita hampir selalu menjadikan *kemacetan lalu lintas* menjadi kambing hitam. Padahal kondisi itu tidak sepenuhnya terjadi karena lalu lintas yang macet. Andai kita cermat untuk menghitung waktu, dan mau memetakan jalan mana saja yang biasanya mengalami kemacetan, kita akan bisa datang tepat waktu.
Walaupun sudah sejak zaman baheula, waktu Sekolah Rakjat tahun 60-an para murid sudah diajari ungkapan “Time is money”, namun bagi banyak orang keterlambatan itu sudah dianggap biasa. Terlambat dianggap sebagai bagian dari budaya. Akibatnya orang merasa tidak apa-apa jika ia terlambat datang ke suatu acara; maka tak ada ‘rasa bersalah’ dan tidak merasa wajib untuk memohon maaf. Dalam era digital terlambat berarti menderita kerugian yang amat besar, bahkan di zaman perang terlambat bisa berarti banyak jiwa yang melayang.
Seuatu yang terlambat, pada banyak aspek ternyata bisa menuai kerugian yang amat besar bahkan bisa menimbulkan kematian. Ada cerita tentang seorang teman yang terlambat memeriksakan dirinya ke dokter ahli walaupun selama ini ia keluar masuk rumah sakit dan mengalami rawat inap dalam waktu yang cukup lama. Ia mengabaikan perintah dokter yang selama ini menangani penyakitnya agar ia konsultasi ke dokter spesialis kanker. Ketika teman itu tergerak pergi ke dokter ahli kanker itu ia divonis telah mengidap kanker stadium 4. Ia terlambat. Beberapa bulan kemudian kawan itu tak sanggup lagi melawan kanker, ia menghembuskan nafas terakhir.
Terlambat dalam penyiapan SDM besar dampaknya bagi kehidupan umat, bangsa dan negara. Posisi jabatan dalam sebuah kementerian misalnya membutuhkan SDM dari kualifikasi tertentu dan pada golongan kepangkatan tertentu di lingkup PNS. Tatkala SDM yang dibutuhkan itu tidak tersedia, maka jabatan pada posisi itu tidak bisa terisi beberapa waktu lamanya sampai tersedianya SDM yang sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan.
Semua yang terlambat itu memang cenderung tidak baik dan bisa kontra produktif. Terlambat mengetahui informasi, terlambat makan, terlambat memperpanjang SIM, STNK, terlambat melakukan general check up, terlambat minum obat, terlambat mendaftar sekolah, terlambat mengurus kenaikan pangkat, terlambat *bertobat*, terlambat ini dan itu, dan sebagainya.
Keterlambatan bisa diperbaiki, asal setiap orang menyadari bahwa keterlambatan itu punya dampak besar dalam kehidupan, apalagi dalam sebuah dunia modern yang serba cepat. Membalas surat, membalas sms/WA, membalas salam tak bisa terlambat. Membalas senyuman dan membalas kebaikan orang lain, tak bisa ditunda. Membalas kebaikan Tuhan, anugerah dan kasih Tuhan kepada kita harus secepat yang kita bisa, jangan ditunda, di pending dan di embargo. Memperbaiki keterlambatan bisa dengan mengembangkan sikap disiplin dan menggelorakan semangat.
Semangat itu bisa hadir dan lahir dari internal keluarga, bisa datang dari siapapun dan dari manapun. Lord Erskine ahli hukum terkenal harus berjuang untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Pada suatu hari ia menangani srbuah kasus besar yaitu membela seorang terkenal. Ia berbicara dengan amat fasih sehingga seorang temannya bertanya apa kiatnya ia dapat bicara dengan amat brilian didepan banyak orang. Lord Erskine menjawab dengan biasa : “Pada saat aku berdiri untuk pidato aku membayangkan istri dan anak-anakku berdiri didekat mimbar itu dan memberi semangat kepadaku!”
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyadarkan kita bahwa mereka yang terlambat hanya akan mendapat tulang-tulang. Tulang-tulang tak punya makna signifikan bagi kita. Tulang-tulang tersisa bersama piring kotor seusai pesta, dan itu bukan untuk manusia. Kita tak boleh terlambat dalam aspek apapun agar kita mendapat *daging* bukan *tulang* Jangan terlambat menanamkan Pancasila didada dan hati nurani seluruh warga bangsa agar kita tidak mendapat hanya tulang tulang yang
tak bermakna.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin