Oleh: Weinata Sairin
_”Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya”_ (Pengkotbah 7:2)
Salah satu hal yang amat penting dan sulit dalam hidup ini adalah _memilih_. Ya menetapkan pilihan tentang apapun, pada level manapun adalah sesuatu yang tidak mudah dan sederhana. Pada proses menetapkan pilihan, bukan hanya dilibatkan perasaan tetapi juga intelektualitas. Kita harus memikirkan dampak dari pilihan kita, kita harus melakukan kalkulasi bagaimana akibat dari pemilihan kita di masa kini dan juga di masa datang. Itulah sebabnya pemilihan itu bisa mencemaskan dan mendebarkan dan bisa juga membuat kita stres dan panik.
Kita bersyukur bahwa sejak kecil kita telah mendapat pembelajaran dari orang tua kita tentang bagaimana kita melakukan pemilihan dengan baik dan tepat. Misalnya ibu kita pada pagi hari menawarkan pilihan menu kepada kita. “Nanti untuk sarapan, mau makan nasi goreng atau telur dadar?”. Atau “Hari Selasa esok pakai baju seragam atau pakaian bebas?”. Pilihan yang disodorkan kepada kita selalu dua atau bahkan lebih. Dan orang tua kita biasanya membantu menyiapkan segala sesuatu berdasarkan apa yang telah kita pilih. Menetapkan pilihan kepada sesuatu yang bersifat kebendaan biasanya lebih mudah ketimbang pemilihan tentang hal yang non benda, non materi. Secara teknis mudah terlihat dan sangat terukur pilihan-pilihan yang mengacu kepada hal kebendaan. Tetapi tatkala kita memilih bidang studi, pekerjaan, jodoh yang tidak sepenuhnya bersifat kebendaan maka proses pemilihan tidak bisa berlangsung instant.
Dalam beberapa kasus, menetapkan pilihan dalam hal _agama_ juga amat sulit dan tidak sederhana. Hal itu biasanya terjadi misalnya dalam kaitan dengan pernikahan apabila pengantin adalah pasangan yang berbeda agama. Memilih agama, tentu lebih rumit dan sulit dibandingkan kita memilih tempat makan siang : “Solaria” atau “Mc Donald”. Tapi hidup itu memang harus memilih, hidup tidak bisa _abstain_. Kita tak bisa ‘golput’ atau seperti remaja kita tak bisa bilang “aku tak mau *ikutan*.”
Dalam pelayanan yang Yesus lakukan di periode-periode awal amat jelas sikap Yesus dalam hal pilihan. Murid-murid harus memutuskan apakah mau menjadi penjala ikan atau penjala manusia; seorang yang siap mengikut Yesus tapi akan pulang dulu karena ayahnya meninggal, Yesus dengan agak “ekstrim” menyatakan ‘biarlah orang mati menguburkan orang mati’ (Luk. 9 : 60). Yesus menginginkan agar dalam mengikut Dia, manusia melakukan pilihan yang absolut, pilihan yang definitif dan satu-satunya. Tidak bisa mengikut Yesus menjadi pilihan cadangan, opsional dan kerja sambilan. Ada juga orang yang ingin mengikut Yesus tapi ia tergolong orang yang sentimentil dan “baper”; ia minta izin dulu berpamitan dengan keluarganya. Tetapi Yesus menyatakan “setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh kebelakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Luk. 9 : 61,62)
Sebagai pribadi kita mengalami sebuah pergumulan yang cukup mendalam pada saat kita memilih bidang studi, karir dan memilih pasangan hidup. Kita berfikir, kita berkonsultasi, kita memohon bimbingan dari para sesepuh, kita berdoa memohon hikmat Tuhan.
Hampir semua bidang kehidupan kita, membutuhkan pilihan-pilihan. Kita harus melakukan pilihan dengan cerdas, yang memiliki tingkat resiko paling kecil. Menarik ayat Alkitab yang dikutip di bagian awal, yang menampilkan dengan amat jelas tentang hal memilih yaitu memilih tempat yang pantas kita kunjungi antara rumah duka dengan rumah pesta. Menurut Pengkotbah pergi ke rumah duka lebih bermakna dari pada ke rumah pesta. Argumennya sederhana : di rumah duka adalah kesudahan setiap manusia.
Dari pengalaman empirik kita mencatat sulitnya melakukan pilihan baik dalam lingkungan komunitas Gereja maupun di lingkup masyarakat umum. Pilihan-pilihan terhadap hal praktis menjadi lebih mudah dibanding pilihan hal-hal yang sifatnya konseptual. Arahan Kitab Pengkotbah yang riil dan praktis bisa membantu namun bisa juga kedua hal itu dikombinasikan : sesudah kita ke rumah duka maka kita bergegas ke rumah pesta.
Bagian Alkitab yang kita kutip ini menyadarkan kita bahwa hidup itu adalah memilih, bukan abstain dan nir action. Gereja juga harus memilih, memilih yang terbaik yang memberi kesejahteraan bagi umat dan masyarakat.
Dalam konteks memilih anggota legislatif dan presiden/wakil presiden maka aktivitas memilih itu lebih rumit dan kompleks. Kita harus cerdas memahami rekam jejak para calon, pribadi dan karakternya terlebih ideologi yang ia usung. Ideologi yang non Pancasila, intoleran dan sektarian akan sulit diharapkan untuk membangun sebuah NKRI yang majemuk.
Kita bersyukur telah melewati masa-masa krusial : kampanye dan pelaksanaan pemilu. Kita sedang menunggu pengumuman resmi KPU tanggal 22 Mei yad yang menetapkan siapa pe
menang pemilihan umum itu dan siapa yang mendapat amanah untuk memimpin bangsa dan negara dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Semua kontestan dan warga bangsa tunduk dan setuju terhadap keputusan 22 Mei itu.
Memilih bukan hal yang murah, memilih pada level apapun membutuhkan cost. Kita bangga sudah bisa melakukan pemilihan itu, dan kita sudah menggunakan hak pilih kita. Hidup itu harus memilih. Takbisa abstain. Takbisa golput. Pilihan itu juga memiliki resiko; kita harus siap menanggungnya.
Selamat Merayakan Hari Minggu.
God bless.