Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Manusia modern hidup dalam ketakutan yang sifatnya mondial, mendunia. Artinya ketakutan seperti itu tidak hanya bisa dirasakan di Priok, Kampung Pulo, Cicaheum, Pontianak tetapi juga di Paris, London, New York, Seoul, Manila, Beijing dan berbagai kota dunia lainnya. Ketakutan ini nyaris hampir seperti kentang goreng (fried potato) tidak hanya bisa dinikmati di Cihampelas, Cimindi tetapi juga di pinggir danau Luzern-Swiss, di Sydney dan dimana-mana diberbagai belahan dunia. Kita dan ketakutan telah menjadi bagian dari dunia yang satu, desa global.
Manusia modern menghadapi berbagai ketakutan yang hadir secara real dalam sejarah kehidupan mereka: terorisme, konflik horisontal, kejahatan seksual, pemberontakan bersenjata, cyber crime, pembunuhan dan lain sebagainya.
Realitas empirik yang berfokus pada berbagai hal yang kesemuanya menghadirkan kekuatiran, kecemasan dan ketakutan membuat kehidupan tidak lagi nyaman. Banyak orang malas pergi ke mall takut terjadi kerusuhan, para penumpang pesawat terbang dihinggapi rasa curiga terhadap orang-orang yang naik ke pesawat dengan busana yang kelihatan nyentrik. Dalam memori mereka orang-orang model begitu yang biasanya adalah teroris yang membuat keonaran dalam pesawat.
Selain ketakutan yang bersifat fisik ada juga ketakutan-ketakutan jenis lain yang dialami oleh warga masyarakat. Ketakutan karena faktor agama. Sebagai agama yang penganutnya sedikit di wilayah itu, seorang kawan acap mengalami diskriminasi. Tidak bisa menjadi Ketua RT, tidak bisa menjadi Ketua RW atau jabatan lain pada tingkat kelurahan.
Pernah terjadi dikantor, kawan ini sudah memenuhi syarat untuk naik golongan namun karena diketahui ia memeluk agama yang berbeda dengan kawan-kawan lain pada umumnya maka kenaikan golongannya ditunda. Dalam sebuah negara hukum yang berdasarkan Pancasila pengalaman seperti itu memang membuat trenyuh dan mengenaskan. Agama (dengan jumlah penganut yang kecil) ternyata mampu menjadi penghambat bagi kenaikan golongan seorang karyawan rendah. Realitas seperti ini bisa juga terjadi terjadi diwilayah lain di Indonesia.
Rekrutmen kepemimpinan, kenaikan golongan, hak orang per orang seharusnya tidak menggunakan kriteria agama. Aspek kompetensi dan profesionalisme adalah hal-hal utama yang menjadi kriteria utama dalam rekutmen dan kenaikan golongan.
Ketakutan karena faktor agama, suku, afiliasi politik acapkali hadir menghantui sebagian orang dan cukup berpengaruh dalam kehidupan warga. Ada juga kelompok orang yang takut untuk menjadi tua. Bahkan ada saja orang yang ingin hidup berpanjang umur namun tidak mau untuk menjadi tua. Panjang umur adalah satu hal tetapi menjadi tua adalah hal yang lain.
Ketakutan yang amat ditakuti terutama bagi para orang tua adalah takut menjadi tua. Mari kita mohon kepada Tuhan agar kita panjang umur dan tetap enjoy berkarya walau kita telah disergap usia tua.
Selamat berjuang. Godbless.