Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Mikha 7:1-6
(1) Celaka aku! Sebab keadaanku seperti pada pengumpulan buah-buahan musim kemarau, seperti pada pemetikan susulan buah anggur: tidak ada buah anggur untuk dimakan, atau buah ara yang kusukai. (2) Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. (3) Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan! (4) Orang yang terbaik di antara mereka adalah seperti tumbuhan duri, yang paling jujur di antara mereka seperti pagar duri; hari bagi pengintai-pengintaimu, hari penghukumanmu, telah datang, sekarang akan mulai kegemparan di antara mereka! (5) Janganlah percaya kepada teman, janganlah mengandalkan diri kepada kawan! Jagalah pintu mulutmu terhadap perempuan yang berbaring di pangkuanmu! (6) Sebab anak laki-laki menghina ayahnya, anak perempuan bangkit melawan ibunya, menantu perempuan melawan ibu mertuanya; musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.
Mikha adalah nabi yang bekerja dalam masa pemerintahan tiga raja Yehuda. Ketiga raja itu adalah Yotam (751-736 SM), Ahas (736-716 SM) dan Hizkia (716-687 SM). Sebenarnya nabi Mikha patut berbangga karena dapat melihat dan mengalami banyak hal dalam masa pemerintahan ketiga raja tersebut. Namun ternyata tidak demikian. Hatinya justru teriris-iris melihat perilaku jahat bangsanya, karena itu ia selalu mengecam mereka. Dia paling tidak tahan melihat kejahatan dan perilaku busuk para penguasa, termasuk pemimpin agama. Ia akan segera menegur dan mengkritik pemerintah yang korup, hakim-hakim yang kena suap, hidup para imam yang diwarnai kepalsuan rohani. Ia tidak bisa diam melihat pemerasan terhadap orang miskin yang dilakukan orang kaya dan kuat. Ia juga akan marah melihat ketidakjujuran-ketidakjujuran dalam praktek bisnis. Ia sangat prihatin dengan kondisi negerinya yang mulai kehilangan orang-orang jujur dan saleh, orang-orang yang memiliki integritas. Yang ada hanyalah orang-orang jahat yang siap mengincar darah dan menjatuhkan orang lain (ay. 2).
Celakalah aku! Demikianlah nabi Mikha meratap melihat keadaan negerinya yang makin parah. Ia berseru demikian, sesungguhnya mewakilinya bangsanya yang benar-benar akan mengalami celaka karena kejahatan mereka. Sebab mereka telah hidup dalam kegelapan. Ayat 3 menggambarkan situasi ini sebagai berikut: “Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan!” Mereka benar-benar jatuh dalam lembah kekelaman. Hati nabi Mikha makin miris melihat kehancuran rumah-tangga-rumah tangga. Hubungan antar anggota keluarga jadi rusak. Dikatakan dalam ayat 6, “Sebab anak laki-laki menghina ayahnya, anak perempuan bangkit melawan ibunya, menantu perempuan melawan ibu mertuanya; musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya”.
Nabi Mikha meratapi semuanya itu. Ia menyadari betapa susahnya untuk menemukan kembali orang-orang baik dan jujur (berintegritas). Tidak gampang mengadakannya, ya seperti susahnya menemukan buah anggur pada pemetikan susulan. Kalaupun ada, orang baik (saleh) sering dianggap sebagai tumbuhan duri dan orang jujur dianggap pagar duri. Mereka dilawan dan ditolak. Akibatnya, tidak jarang mereka pergi karena tidak tahan, atau kembali larut dan bersikap jahat juga. Dalam situasi berat seperti ini, Mikha mengingatkan agar tidak mengandalkan manusia! Tidak mengandalkan diri ataupun kawan. Juga jangan terpengaruh oleh jebakan yang dalam ayat 5 digambarkan dengan sosok perempuan yang berbaring di pangkuan. Sumber pertolongan adalah Tuhan. Karena itu manusia patut berharap pada-Nya (bnd. Ay. 7).
Berat, sungguh berat akibat yang kita harus tanggung apabila kita berpaling dari Tuhan. Itulah sebabnya dalam Filipi 2:15-16 kita diarahkan: “Supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.”
Harus diakui, menjadi orang baik (saleh) dan jujur tidaklah mudah. Bisa jadi kita pun akan dianggap sebagai tumbuhan duri atau pagar duri bagi yang tidak menyukainya. Dianggap penghalang bagi yang berbuat jahat. Tidak usah heran, itulah kenyatan yang dapat ditemukan di mana-mana. Situasi kita kini tidak jauh berbeda dengan situasi yang dihadapi nabi Mikha. Orang-orang yang berintegritas tinggi makin berkurang. Kalaupun ada, mereka selalu disingkirkan.
Melalui perikop ini, nabi Mikha mengajak kita untuk terus teguh dalam iman dan bersandar kepada Tuhan. Kita harus menunjukkan kualitas diri kita sebagai orang yang diutus ke dalam dunia menjadi garam dan terang. Dalam rangka itu kita tidak mungkin mengandalkan diri dan sesama, apalagi mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dapat merontohkan kualitas diri kita sebagai garam dan terang. Kita hanya akan dapat berfungsi sebagai garam dan terang jika kita memiliki kesalehan (kebaikan) dan kejujuran (integritas diri).