Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang kemajemukannya multidimensional maka kata *satu* dengan berbagai turunannya antara lain “kesatuan”, “persatuan”, “bersatu”, “kebersatuan” adalah kata-kata yang dianggap _mujarab_ yang sering dikedepankan agar realitas Indonesia yang bersatu itu tetap terjaga, terpelihara dan terawat.
Kata-kata lain yang nafas dan rohnya bertentangan secara diametral dengan gagasan ‘persatuan’ atau yang dikesankan bisa mengganggu eksistensi persatuan, tidak menjadi bagian dari kosa kata yang populer dalam hidup bermasyarakat.
Secara jujur mesti diakui bahwa *kata,words,terminologi* apalagi kemudian diubah menjadi sebuah jargon amat besar pengaruhnya bagi sebuah komunitas pada level apapun sebagai media bagi komunitas itu untuk menampilkan diri secara bersama dalam mewujudkan tujuan. Istilah “merdeka atau mati” misalnya amat kuat daya penetrasinya bagi para pejuang di tahun 1945 sehingga dengan bambu roentjing mereka berani menghalau penjajah !
Kata, memang bukan sekadar untaian huruf. Kata memiliki roh dan jiwa. “Kata” adalah pengungkapan cara berfikir seseorang, sebab itu kerancuan kata, kerancuan terminologis adalah potret dan gambaran dari kerancuan pola pemikiran kita. Dalam konteks itu mengapa kita harus sangat hati-hati dalam memilih dan mempergunakan “kata” baik secara verbal maupun dalam dokumen tertulis.
Pada masa Pilkada acapkali secara sadar atau taksadar banyak dari kita, terutama yang bergerak di bidang politik praktis, kurang mengedepankan istilah yang mengacu pada persatuan bangsa. Kalimat, gambar, meme, pemeo, jargon yang diproduk sering yang nadanya mendiskreditkan pribadi, institusi bahkan agama. Realitas itu terjadi sejak beberapa bulan terakhir yang tanpa sadar berpengaruh besar pada bangunan persatuan kita sebagai bangsa dari sebuah Indonesia yang majemuk. Pilkada dengan semangat memenangkan calon sepertinya telah membuat kita semua lupa bahwa keberbedaan afiliasi politik sama sekali tidak berarti kita terpecah belah sebagai sebuah bangsa yang besar.
Agama-agama selalu mengajarkan umatnya untuk mewujudkan hidup yang penuh kasih sayang, persaudaraan sejati, tali-silaturahim. Nilai-nilai kebersatuan untuk dikembangkan dalam hidup horisontal adalah pesan klasik agama-agama. Kini Pilkada di Jakarta yang gaungnya menggetarkan seluruh negeri dan resonansinya terasa di aras global telah selesai dengan pelaksanaan Pilkada.19 April 2017. Pesta demokrasi sudah usai, kita menyambut pemimpin baru dan membantu agar janji-janji pada saat kampanye bisa diwujudkan dengan konsisten. Pemimpin Jakarta adalah pemimpin yang akan mengayomi seluruh masyarakat Jakarta tanpa kecuali.
Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini mengingatkan agar kita mesti merajut kembali persatuan, kita mengedepankan kata-kata yang teduh, damai, elegan sehingga persatuan kita menjadi indah. Lupakan hal-hal yang kontra produktif diwaktu yang lalu. Mari menempuh era baru dengan saling membantu, menopang, penuh persaudaraan.
Selamat berjuang. God bless.