Dari Sarasehan Pra Kongres V PIKI: PIKI Perlu Direorganisasi, Direposisi dan Direvitalisasi Lagi!
Oleh: Hotben Lingga
“Sesuai dengan suara kenabian yang merupakan mandat intelektual Kristen, PIKI harus dapat menjadi garam dan terang dengan menjadi saksi hidup dan menjadi pembaharu dan pemikir di tengah masyarakat Indonesia. Ke depan PIKI diharapkan akan menjadi organisasi intelegensia yang profesional dan memiliki integritas yang tinggi, kompeten di bidangnya serta memiliki kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan bangsa dan masyarakat dan memberikan solusi di tengah bangsa dan negara.
PIKI harus mampu melakukan terobosan, transformasi dan jawaban ke depan dengan formula revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara dan inti wawasan kebangsaan, mendukung pluralisme demi peningkatan derajat dan peradaban bangsa Indonesia.
Visi dan Misi serta program kerja PIKI sebagai organisasi intelektual Indonesia harus menghasilkan karya nyata dan bermanfaat untuk membangun dan mendidik kader dan pakar Kristen yang kompeten, berbudi luhur, berpikir cepat dan tepat dan menjadikan PIKI sebagai organisasi yang berbasiskan ilmu, iman, dan pengabdian yang dibutuhkan masyarakat. PIKI harus berorientasi dan berbasis di perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan sentra-sentra ilmu pengetahuan. Serta kepengurusan PIKI bersifat presidium”demikian beberapa pokok pikiran dari hasil Sarasehan “Eksistensi PIKI Sebagai Pergumulan Kita Bersama Menuju Kongres V PIKI 2015” yang diselenggarakan DPP Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) di Hotel Kartika Chandra, 6 Maret 2015.
Dalam kata sambutannya, ketua umum PIKI Cornelius D.Ronowidjojo menyatakan, PIKI akan terus mengeksplorasi pemikiran tentang Revitalisasi Wawasan Kebangsaan terutama tentang Pancasila sebagai Dasar Negara yang ternyata tidak tercantum dalam satu pasal dan ayatpun dalam Undang-undang Dasar 1945; dan tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama yang tidak ada hubungan derivatifnya terhadap Undang-undang Dasar 1945, yang bahkan dikonstatir mensublimasi PERBER MENAG dan MENDAGRI Nomor 8 dan 9 yang kontroversial tersebut; serta bagaimana sikap teologis kita berkenaan dengan pemberlakuan hukuman mati di negara Republik Indonesia.
Sementara itu, Baktinendra Prawiro, salah seorang pengurus DPP PIKI, dalam kata pengantarnya menyatakan, sarasehan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah sarasehan, yaitu kumpul dan rembuk bersama untuk bertukar – pikiran dalam suasana yang diharapkan saling mengisi dan melengkapi serta saling mengasah dengan sikap saling mengasuh dan semangat saling mengasihi. Terutama dan khususnya dalam rangka kita bersama mempersiapkan rangkaian acara Konsultasi Nasional dan Kongres V Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia di penghujung bulan Maret tahun 2015. Tema Sarasehan ini, yaitu “Eksistensi PIKI Sebagai Pergumulan Kita Bersama Dalam Rangka Memasuki Kongres V PIKI” memang bernada “low key,” karena kalau kami pengurus DPP secara kolektif melakukan introspeksi sebagai bagian penting yang mendahului dikemukakannya gagasan atau pemikiran apapun tentang revitalisasi dan reposisi organisasi, mau tidak mau harus diakui bahwa banyak hal yang merupakan harapan di awal kepengurusan kami sesungguhnya masih tinggal harapan, sedangkan apa yang telah menjadi kenyataan mungkin belum memenuhi harapan.
Ungkap Bakti lagi, rasanya perenungan dan pemahaman apapun tentang theologia publik yang menjadi pijakan dalam berorganisasi sebagai PIKI masih menimbulkan rasa gamang kita semua. Sudahkah kita, sebagai Persatuan Intelegentsia Kristen Indonesia, bersaksi dan berkarya secara efektif tentang tentang tanggung – jawab yang berangkat dari pemahaman Alkitab mengenai manifestasi kehendak Allah yang menciptakan seisi dunia dan membebaskan segenap umat manusia? Dampak positif apakah yang telah kita lakukan dengan perkataan dan perbuatan pada kehidupan yang tercipta dan kemanusiaan yang yang di sana – sini masih berada dalam keadaan terbelenggu, baik secara individual maupun secara sistemik, khususnya dalam konteks pergumulan bangsa Indonesia. Nyatakah keterpanggilan kita, sebagai PIKI, bukan hanya secara pribadi, tetapi juga secara kolektif dan organisatoris serta melalui institusi – institusi publik yang ada, untuk turut mewujudkan peri – kehidupan yang adil dan beradab, khususnya di Bumi Indonesia. Kalau eksistensi komunitas bangsa Indonesia boleh dianggap sebagai covenant, sudahkah kita sebagai PIKI ikut mendorong tumbuhnya ikatan persaudaraan yang bekerja-sama, bergotong – royong dengan semangat solidaritas, dengan ditopang oleh akuntabilitas dan integritas yang dapat diteladani. Bahkan lebih lagi daripada itu sudahkah dan bagaimanakah kita sebagai PIKI secara konsekwen menyampaikan kritik dalam kasih terhadap fenomena dosa sistemik yang ada, yang bersumber pada egosentrisme dan keserakahan individu manusia, namun termagnifikasi dan termultiplikasi pada bentuk – bentuk dominasi dan eksploitasi dari yang lebih kuat dan maju terhadap yang lebih lemah dan terbelakang, sebagaimana terjadi di antara komponen bangsa atau oleh kelompok – kelompok yang berkuasa, bahkan oleh kepentingan – kepentingan asing terhadap bangsa Indonesia. Mungkin tidak sedikit pihak yang berargumentasi bahwa kita sebagai PIKI belum terlihat jelas peran dan kontribusinya dalam pengokohan proses reformasi, demokratisasi dan penegakan supremasi hukum, pada bidang – bidang sosial, ekonomi dan politik, baik di tengah masyarakat maupun pada institusi – institusi publik yang ada. Dalam arti kata lain bisa jadi belum ada konsepsi dan karya oleh PIKI yang menjembatani antara pemahaman pada dimensi theologia publik dan dimensi sosio – politiko – ekonomi. Seorang rekan theolog dalam sebuah diskusi pernah mengatakan bahwa belum terbangun konsep penatalayanan (stewardship) yang menghubungkan dimensi Ekumene dan Ekonomi.
“Keadaan belum berdaya kita sebagai PIKI, untuk memberi kontribusi yang. punya arti, bagi gereja dan sesama, untuk bangsa dan negara, kiranya menjadi pertanyaan kita bersama, khususnya tentang eksistensi PIKI. Pertanyaan yang mudah – mudahan bukan tanpa jawaban, sehingga melahirkan keadaan yang tanpa harapan. Mungkin dari menimba pengalaman para senior dan sesama rekan sepenata – layanan sebagai PIKI kita bisa bangkit secara definitif, berbuat secara kreatif dan inovatif dan membawa dampak yang konstruktif dan positif pada masyarakat, juga dalam rangka membuat terobosan – terobosan yang membawa perubahan. Khususnya melalui kontribusi berupa saran – saran perbaikan kepada institusi – institusi negara (dan gereja) dan solusi – solusi atas berbagai. problem yang ada dan berkembang dalam perjalanan bangsa, sebagaimana juga disarankan pada pertemuan DPP dengan para senior di Grand Hyatt, pada tanggal 9 Agustus 2011 yang lalu.
Dari pertemuan dengan para senior pada waktu itu juga ada usulan – usulan untuk DPP segera melakukan tiga hal, yaitu: 1) Sosialisasi PIKI kepada berbagai pihak di lingkup pemerintah, gereja – gereja dan masyarakat ~ termasuk kalangan dunia riset dan akademis 2) Konsolidasi organisasi pada tingkat DPD dan DPC 3) Persiapan Kongres PIKI. Karena satu dan lain hal, maka baru pada akhir bulan Maret tahun ini Kongres V PIKI dapat dilaksanakan. Di samping itu ada beberapa catatan tentang saran dan usul yang sempat dibuat dari pertemuan di Grand Hyatt tersebut, di antaranya sbb:
PIKI memang merupakan sebuah organisasi massa, tapi hendaknya tidak membangun organisasi dengan penampilan sebagai organisasi massa pada umumnya. Maka kualitas dalam hal keanggotaan dan kegiatan seharusnya lebih ditekankan daripada sisi kuantitasnya. Kepemimpinan PIKI juga harus mengembangkan modus komunikasi yang punya bobot intelektualitas sekaligus integritas, karena diharapkan untuk mampu berinteraksi dalam kesetaraan dengan lembaga – lembaga pemerintah dan lembaga – lembaga – lembaga masyarakat yang serupa. Maka dalam pelaksanaan fungsi kenabian diharapkan juga peran lembaga – lembaga keumatan seperti PIKI, terutama untuk hal – hal yang selayaknya atau sepantasnya bukan dilakukan oleh gereja atau PGI.
PIKI juga diharapkan untuk mempunyai program yang pasti, mengacu pada kalender aktivitas organisasi dan dapat terukur, sehingga dapat dikaitkan dengan kegiatan penggalangan dana yang “program oriented.” Program kaderisasi juga perlu disiapkan untuk merekrut para mantan aktivis lembaga – lembaga keumatan, seperti GMKI, GAMKI, Pemuda Gereja dsbnya sebagai anggota dan pengurus PIKI berikutnya. Juga diusulkan supaya dalam jangka menengah dan panjang PIKI bisa membangun sebuah lembaga kajian (research institute) dan dilengkapi dengan sebuah PIKI center yang dapat menjadi penghubung dan pemandu interaksi para anggota dan pengurus PIKI.
Sebuah usulan yang menarik untuk dipikirkan dan dibahas secara lebih men – detail adalah perlunya dibangun elan dan kepengurusan organisasi yang bersifat kolektif – kolegial, di mana diharapkan ada pembagian tugas yang efektif di satu sisi dan kerja – sama yang saling melengkapi di sisi lain, sehingga juga memastikan berjalannya roda organisasi yang lebih lancar, kendatipun karena satu dan lain alasan figur Ketua Umum sewaktu – sewaktu berhalangan. Terkait dengan usulan ini disarankan agar bentuk kepengurusan presidium dipersiapkan sebagai materi untuk ditawarkan pada kongres yang akan datang. Sebagai catatan pada keanggotaan presidium tersebut agar dapat terwakili figur – figur dengan latar – belakang gereja / theolog, akademisi, praktisi / professional, tokoh masyarakat dengan dilengkapi oleh Sekretaris Jendral yang mobile, dinamis dan bila memungkinkan full – timer.
Sehingga pada gilirannya acara curah pendapat akan dapat terlaksana secara fokus dan dengan tujuan mensukseskan Kongres V PIKI serta memantapkan eksistensi PIKI dalam pelayanan dan penatalayanannya di tengah bangsa, negara dan masyarakat Indonesia yang kita cintai.”tegas Bakti dengan penuh antusias.
Beberapa tokoh nasional juga ikut memberikan sumbangsih pemikiran positif dan kritis dalam sarasehan tersebut. Di antaranya, Prof. Dr. Irzan Tanjung (Salah seorang Pendiri Partai Demokrat), Martin Hutabarat (Anggota DPR dari Partai Gerindra), Prof. Dr. John Pieris (Anggota DPD RI), Ferdinand Nainggolan, Pdt Lipiyus Biniluk, Pdt Dr. SAE Nababan, Prof Dr. Sri Adiningsih, DR Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Hasyim Djojohadikusumo, Dr. Aristarchus Sukarto, Sterra Pieterz dan Dating Palembang (Mantan Ketum DPP GAMKI). Beberapa senior GMKI yang hadir dalam sarasehan ini antara lain Robert Sitorus, Marim Purba, Alex Paat, Lintong Manurung. DR Anton Sihombing (Anggota DPR dari Partai Golkar) dan A. Teras Narang yang juga diundang pada saat itu tidak bisa hadir.