Ada banyak pemikir yang berpendapat dan bahkan mendorong agar seseorang itu harus “menjadi dirinya sendiri” dan tidak “menjadi diri orang lain”. Memang dalam kenyataan praktis kita melihat cukup banyak orang yang suka ‘meniru’ orang lain. Secara khusus hal ini terjadi dikalangan seniman : penyanyi atau juga penulis/penyair. Para penyanyi pemula biasanya suka meniru penyanyi “besar” yang menjadi idolanya baik dalam karakter suara, maupun dalam hal gerak dan aspek-aspek lainnya.
Upaya peniruan seperti itu tentu dilatarbelakangi banyak faktor. Bisa saja terjadi hal itu dilakukan karena ia sangat “mengagungkan” penyanyi pujaannya itu dan ia punya obsesi ingin menjadi seperti sang idola. Itulah sebabnya, gaya, suara, kebiasaan, pakaian dari sang idola ditiru sepenuhnya, bahkan hingga ia kehilangan dirinya sendiri. Ada juga faktor penyebab peniruan itu terjadi karena seseorang tidak yakin akan kemampuan dirinya sendiri; ia kurang percaya diri pada warna suaranya yang sebenarnya amat khas dan bisa laku dijual.
Untuk menjadi diri sendiri dan “menghargai” diri sendiri maka kita harus mengenal diri kita sendiri. Kita mesti tahu apa sebenarnya bakat kita, apa hobby kita, apa interese kita, apa dan bagaimana warna suara kita. Pengenalan dan pemahaman kita tentang diri kita sendiri akan sangat membantu kita untuk “menjadi diri sendiri”.
Dengan memahami diri kita maka kita akan terpanggil terus menerus untuk mengembangkan potensi yang kita miliki sehingga melalui pengembangan potensi itu kita bisa memberi kontribusi yang terbaik bagi masyarakat dan bangsa kita.
Menjadi diri sendiri berarti menghormati bakat dan talenta yang Tuhan karuniakan kepada setiap orang. Bakat dan talenta diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang agar melaluinya setiap orang bisa mendedikasikannya kepada masyarakat luas.
Seseorang tak perlu rendah diri jika ia merasa tidak memiliki talenta dalam dirinya. Seseorang juga tidak perlu harus sombong, arogan dan tinggi hati jika ia dianugerahkan Tuhan bakat dan talenta.
Orang yang mengembangkan talenta dalam hidupnya biasanya mengabdikan hidupnya dibidang yang ia memang sukai. Seorang komposer yang mencipta begitu banyak lagu dalam berbagai genre mengabdikan diri dibidang itu hingga ajal menjemput. Dan ia amat enjoy melakukan pekerjaan itu.
Kebiasaan mengabdi dan mendedikasikan diri itu tidak pernah mengenal status seseorang. Ada kisah menarik tentang hal itu. Nyonya Roosevelt membawa angin segar ketidakformalan dan kesibukan di Gedung Putih. Pada saat jamuan makan pelantikan Presiden pelayanan dilakukn oleh istri presiden.Para staf kaget juga ketika Ny. Roosevelt menjakankan lifnyasendiri. Ketika Ny Roosevelt menjadi First Lady di Gedung Putih seorang wartawan menelpon dan menanyakan sektetarisnya, Malvina Thompson. “Nona Thompson sedang tak ada di tempat!” kata suara seberang sana. “Apa yang saya bisa bantu?” “Siapa Anda?” tanya wartawan itu. “Nyonya Roosevelt!” jawabnya.
Kita tentu bisa mempunyai dan atau mengelaborasi tafsir sendiri tentang apa yang dilakukan seorang Ny Roosevelt dalam kapasitasnya sebagai figur Ibu Negara tapi bagaimanapun fakta itu memberi angle yang lain tentang makna pengabdian. Pengabdian dan dedikasi adalah satu cerminan dari orang yang menjadi dirinya sendiri. Orang yang menjadi dirnya sendiri acapkali tidak tunduk pada prosedur standar, bahkan sering *melawan arus*.
Pepatah kita menyatakan bahwa kita berbeda dari orang lain. Kita berseberangan, kita bertindak paradoks dengan realitas konteks, kita tidak menari dengan gendang orang lain. Dan itulah salah satu dimensi dari “menjadi diri sendiri”. Namun “menjadi diri sendiri” tidak berarti menutup diri dan atau memusuhi orang lain.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.