Umat manusia hidup dalam posisi yang “stand by” yang siap sedia dan siap siaga karena masih berada “ditengah jalan” dan belum tiba di tempat tujuan. Mereka yang berada dalam posisi seperti itu sejatinya bukan berada dalam kondisi yang *santai* atau relax yang hidupnya mengalir dalam suasana ” alon-alon asal kelakon”. Mereka justru dalam posisi.yang dinamik, yang siap bergerak, tatapan mata yang tajam kedepan, mengantisipasi kondisi yang akan hadir. Kondisi yang berleha-leha, _lelet_ atau _lemot_ tidak menjadi bagian dari sikap seseorang yang sedang bersiap-siaga.
Kondisi manusia yang sedang berada ditengah jalan itu bisa dikatakan kondisi manusia di era digital, yang serba cepat, yang dalam hitungan detik ia sudah berfikir dan berjalan jauh. Ibarat orang-orang di Hong Kong dan kota dunia lainnya yang sigap dan cepat menyeberang jalan, orang yang selalu sibuk dan cepat bertindak. Dan itu berbeda dengan manusia di zaman agraris yang lamban, menunggu datang musim hujan atau musim panas, penuh sikap statis dan menunggu.
Ciri orang modern, orang kota, adalah orang yang yang selalu bergerak dan dinamik sekaligus amat individualistik. Mereka tak pernah mau tahu bagaimana kondisi tetangganya. Tetangga sakit, keluarganya pecah, dan atau sibuk merakit bom atau bergerak di dunia cyber crime tak ada yang saling peduli. Berbeda dengan mereka yang hidup di desa, di kampung, amat kuat rasa guyubnya, saling tolong menolong dan saling kenal satu sama lain.
Dalam bahasa agama, umat manusia sejatinya sedang berarak-arak dan berduyun-duyun menuju ke satu titik akhir yang menjadi titik kulminasi dari kehidupan didunia fana. Melewati titik itu umat manusia akan memasuki era baru, sebuah “dunia lain” yang diliputi keadilan, damai, cinta kasih dan sejahtera abadi. Bagaimana dan apa kriteria memasuki “dunia lain” yang dimanaje secara baru, dan terikat dalam ruang dan waktu yang baru itu, itu bukan domain, bukan _ranah_ manusia. Itu menjadi _hak prerogatif_ Allah, Khalik Semesta Alam.
Dengan kata lain umat manusia kini dalam posisi tengah berjalan dari _civitas terrena_ (kota dunia), kota yang diliputi kesementaraan dan kefanaan menuju ufuk baru yaitu _civitas dei_ ( kota Allah) kota ilahi yang dipenuhi.cinta kasih, keadilan dan damai sejahtera. ‘Kota’ itu tak bisa kita bayangkan bagaimana detilnya, yang pasti ia akan melebihi kota atau wilayah baru di negeri ini entah itu Casablanca city, Kebagusan city, atau Meikarta. Kasus-kasus kekurangan garam, beras maknyuss atau orang yang terjun dari apartemen tak akan kita temui di _civitas dei_ !
Tugas manusia selama menempuh perjalanan dari civitas terrena ke civitas dei telah diurai dengan sangat baik dan detil oleh masing-masing agama. Secara garis besar tugas panggilan manusia adalah menabur kebaikan, menebar kebajikan, mewujudkan cinta kasih terhadap sesama, menghibur mereka yang diliputi kesedihan, menguatkan mereka yang bergumul, merawat mereka yang luka dan teraniaya. Manusia mengukir karya terbaik sesuai dengan talenta dan kapasitasnya.
Pepatah yang dikutip dibagian awal menegaskan bahwa kita perlu _berjaga dan berdoa_. Ya kita berjaga, kita membuka mata dan jangan terlelap dalam mimpi. Kita siap siaga untuk menghadapi berbagai hal emergency termasuk jika kita sudah dipanggil untuk masuk ke Civitas Dei! Kita berjaga dari terorisme, dari ajaran yang bertentangan dengan iman kita, berjaga dari ideologi lain yang bertentangan dengan dasar kehidupan kita membangsa dan menegara. Kita berjaga agar sehat dan kuat untuk menempuh perjalanan. Kita berdoa, ya karena kita beragama, karena seluruh warga bangsa menganut agama. Kita berdoa sesuai dengan agama kita agar kita sehat, tetap bersatu sebagai bangsa dan selamat tiba di terminal akhir yaitu civitas dei!. Kita juga mesti berdoa agar nafsu korupsi dalam diri kita ditiadakan, nafsu bernarkoba diakhiri. Mari berjaga dan berdoa terus sampai akhir hayat.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.