Pdt. Weinata Sairin: Confidence is not just believing you can do it. Confidence is *knowing* you can do. (Ralph Marstone)

0
576

Salah satu keistimewaan manusia adalah bahwa ia adalah makhluk yang bisa berkata-kata. Kata-kata bukan sekadar bunyi yang keluar dari mulut seseorang dengan berbagai dialek, intonasi yang dimiliki manusia, sesuai dengan konteks sosiologis-kulturalnya. Kata-kata adalah ungkapan dan refleksi kedirian seseorang, kata-kata menyatakan kelembutan atau kekasaran seseorang. Kata merepresentasikan kedirian seseorang, pribadi seseorang. Kehadiran pribadi seorang Pramudya Ananta Toer, atau Ayip Rosidi, Chairil Anwar, Hamka, Charles Diekens, Ernest Hemingway, Federico Garcia Lorca, atau siapapun juga diwujudkan dalam kata, dalam bahasa bukan hanya dalam bentuk-bentuk yang lain.

 

Oleh karena bahasa adalah ungkapan kedirian seseorang maka kita yang rajin membaca  akan cepat tahu bahwa tulisan itu adalah gaya bahasa seorang Gunawan Mohammad dalam Catatan Pinggir majalah Tempo dan bukan prosa lirisnya seorang Iwan Simatupang, atau editorialnya sebuah koran pagi di Jakarta. Kita juga bisa cepat menduga bahwa puisi itu karya Ayip Rosidi penyair beken dari Pasundan dan bukan karya seorang Sapardi Joko Damono. Ya sekali lagi bahasa itu, atau secara spesifik gaya bahasa itu sangat lengket, nempel, inhaeren dengan penulisnya. Penelusuran plagiarisme cukup bisa tertolong lewat aspek ini.

 

Mari kita simak puisi Ayip Rosidi berjudul “Kusaksikan Manusia” (1957)

 

“Kusaksikan manusia dendam-mendendam/Kudengar denyut ketakutan mengejar siang dan malam/Kuyakinkan mereka akan kebaikan kemanusiaan/Tapi kusaksikan pula kesetiaan pun dikhianati/

 

Kukatakan : ini tanah kita, orang lain tak usah campur! / Tapi kulihat mereka mengangkat senjata, lalu menggempur: / Berikan segala tanah, semua punya kami! Yang menangpun mengibarkan panji-panji!

(Dari buku kumpulan puisi Ayip Rosidi  “Surat Cinta Enday Rasidin”, Penerbit Pustaka Jaya Jakarta, Cetakan ke-6, 2002)

 

Baca juga  Membayangkan Sorga

Kekuatan Ayip disini antara lain terletak pada ide/gagasan tentang _manusia_. Gagasan tentang manusia adalah gagasan klasik yang banyak diangkat dalam puisi, novel, film bahkan dalan stand up comedy akhir-akhir ini. Pembahasan tentang manusia tidak akan pernah berakhir, tapi mesti cerdas angle mana yang akan disorot. Tatkala Ayip menyaksikan tentang manusia yang “dendam-mendendam” Ayip cerdas memilih karena karakter manusia seperti ini senantiasa berulang dan terjadi pada pada sosok manusia dari abad ke abad. Isu “denyut ketakutan mengejar siang malam”, “kesetiaanpun dikhianati” bukan cerita baru dalam hidup sosok manusia. Tahun 1957 ketika puisi ini ditulis masih bisa ditelusuri kondisi masyarakat saat itu 2 tahun sesudah pemilu yang pertama! Ayip disini kuat dalam gagasan juga dalam pilihan kata!

 

Bahasa, kata-kata adalah milik manusia. Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita sebagai manusia dianugerahkan kemampuan untuk berkata-kata, bahkan  tidak hanya dalam bahasa ibu dan bahasa nasional. Kedua agama di dunia mengandung gagasan amat bernas yang berkaitan dengan kata dan bahasa. Ungkapan ‘Bacalah!’ dan ungkapan “pada mulanya adalah kata” yang masing-masing lahir dari rahim Islam dan Kristen sungguh mendorong kita semua untuk memberi perhatian ekstra pada dunia bacaan, dunia literasi dan pada *wording*! Undang-Undang Perbukuan yang sudah terbit harus memotivasi kita sebagai bangsa untuk melahirkan buku-buku terbaik, penulis-penulis kreatif dengan tingkat responsibilitas yang tinggi, budaya gemar membaca dan menulis, perpustakaan dan visi perbukuan masa depan yang dapat menolong warga bangsa dalam keberagamaan yang kafah mampu tetap survive ditengah percaturan global.

 

Dalam sebuah NKRI yang majemuk kita perlu buku bermutu sebagai bagian dari proses pembelajaran hidup; kita juga perlu melahirkan kata-kata yang memotivasi, menghargai, mengapresiasi, memuji, kata-kata yang mengungkapkan kasih sayang terhadap sesama warga bangsa dan bukan ujaran kebencian yang menghujat dan mendiskriminasi.

Baca juga  Para Profesional dan Eksekutif Perlu "Golden Rules"

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengingatkan agar kita cerdas dalam memilih kata. “Believing” dan “knowing” kata Marstone berbeda dalam implementasi. Tanpa memahami makna kata dengan baik kita akan banyak mengalami hal-hal yang kontra produktif dalam kehidupan kita.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here