Kita sebagai manusia yang berakal, pikiran, berkeadaban tidak sedang berdiam diri. Duduk manis, apatis dan _ignore_ terhadap kesekitaran kita. Kita manusia, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa paling mulia, imago dei, chalifah Allah, bukan sosok yang bisu dan buta yang meratapi kediriannya; yang meratapi masa lalunya. Kita lah manusia pembentuk peradaban ini yang telah menorehkan karya agungnya dari zaman ke zaman. Kita masih sedang dalam perjalanan, menyusuri hari-hari yang tersedia, menapaki zaman, menyusuri abad demi abad, dalam kasih karunia Tuhan Yang Maha Esa, berjuang tiada kenal lelah membangun masa depan yang lebih baik.
Dalam konteks itulah mengapa manusia berjuang setiap saat, berjuang setiap hari bahkan dengan keringat dan darah. Ia berjuang selama hari masih siang karena akan datang malam ketika seseorang tidak lagi bisa bekerja. “Siang” disini adalah metafora ‘hari/waktu yang tersedia’, ‘umur, usia’ yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Siang adalah sebuah penunjuk waktu, penanda bahwa segala sesuatu itu bisa terlihat dengan jelas, kelihatan secara detil. ‘Malam’ adalah metafora ‘saat dimana usia kita berakhir’, ‘berakhirnya segala sesuatu’. Malam adalah juga saat dimana kegelapan tiba, saat mana seseorang tidak bisa mengerjakan segala sesuatu secara mandiri tanpa bantuan alat penerang.
Dalam menuju sebuah masa depan yang baik sebagaimana yang diharapkan ada banyak hal yang ikut menentukan. Selain pentingnya pembekalan diri dibidang pendidikan, maka sikap optimis, tekun, keberanian, semangat juang, adalah hal-hal fundamental yang mesti menjadi bagian dari kedirian kita. Orang yang lemah, cengeng, penyakitan, mudah menyerah kalah sulit diharapkan untuk membangun masa depan. Orang yang tidak fokus dan gagal menetapkan skala prioritas akan terkendala dalam membangun masa depan.
Dalam hal optimisme baik juga kita berkaca dari pengalaman seorang besar seperti Thomas Alva Edison. Thomas Edison pernah kehilangan peralatannya bernilai dua juta dolar berikut catatan-catatan pekerjaannya selama ini pada saat pabrik yang ia miliki terkena musibah kebakaran tahun 1914. Charles, anak Edison bergegas mencari ayahnya untuk mengabarkan kisah buruk itu. Ternyata sang ayah sudah berada didekat kobaran api, rambutnya yang putih terlihat jelas kena hembusan angin musim dingin. Hati Charles sedih menyaksikan sang ayah uzur menghadapi peristiwa itu. Edison bertanya kepada Charles : “Mana ibumu?Cari dan ajak ia kemari, ia tak akan pernah melihat peristiwa ini lagi selama hidupnya!” Pagi harinya, Edison berjalan diantara debu disekitar lokasi kebakaran itu, yang telah membakar habis harapan dan mimpi-mimpinya. Edison yang berusia 67 tahun berkata sambil memandangi sisa-sisa kebakaran itu : ” Di sana ada bencana yang sangat besar nilainya. Kesalahan-kesalahan *kita* (maksudnya : *kami*) sudah habis terbakar. Terimakasih Tuhan _kami_ bisa memulai sesuatu yang baru!”
Kita hampir takpercaya bahwa seorang Thomas Alva Edison begitu kuat optimismenya dan melihat peristiwa kebakaran yang sangat menghancurluluhkan mimpi-mimpinya dengan tetap tenang bahkan masih mampu mengucapkan *terimakasih* kepada Tuhan. Amat dalam tingkat spiritualitas yang dimiliki seorang Thomas Alva Edison. Tanpa sikap Edison seperti itu agaknya tak mungkin kita meninikmati karya-karya besar di dibidang elektronik. Thomas Alva Edison (1847-1931) dikenal sebagai “greatest inventor” yang memiliki lebih dari 1000 hak paten dari karya-karya besarnya.
Sebagai umat beragama kita amat faham bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang amat *mulia*. Agama-agama mengajarkan bahwa manusia harus bekerja keras untuk memacu masa depan. Manusialah yang menjadi arsitek masa depannya, ia tidak boleh menjadi korban dari masa depan. Intelektualitas manusia, kepandaiannya tidak bisa mereduksi level spiritualitasnya. Thomas Alva Edison sosok penemu dan jenius tetap tinggi kualitas spiritualitasnya. Kita bisa belajar dari sosok Edison.
Mari terus perkuat kualitas keberagamaan kita sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing. Peningkatan kualitas keberagamaan kita harus menjadi sumber motivasi dan daya dorong untuk makin mengasihi sesama kita tanpa memmpersoalkan keberbedaan kita masing-masing. Dengan cara itu kita semua memberi kontribusi bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam sebuah NKRI yang majemuk berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Selamat Berjuang. God Bless.
Weinata Sairin.