Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Galatia 4:1-11
(1) Yang dimaksud ialah: selama seorang ahli waris belum akil balig, sedikit pun ia tidak berbeda dengan seorang hamba, sungguhpun ia adalah tuan dari segala sesuatu; (2) tetapi ia berada di bawah perwalian dan pengawasan sampai pada saat yang telah ditentukan oleh bapanya. (3) Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia. (4) Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. (5) Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak. (6) Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” (7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8) Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia.
Perikop ini akan semakin jelas bila kita membaca beberapa ayat sebelumnya, yakni Galatia 3:26-29. Di situ dijelaskan bahwa orang-orang percaya menjadi anak-anak Allah karena imannya kepada dan dibaptis dalam Yesus. Juga, karena telah mengenakan (meneladani) Yesus. Kehidupan sebagai anak-anak Allah mengalami transformasi hidup dari ‘hidup lama’ ke ‘hidup baru’. Salah aspek dari dimensi baru itu adalah kesatuan dan kesamaan. Tidak ada lagi perbedaan, semuanya menjadi satu dalam Kristus.
Sebagai anak, kita adalah ahli waris kerajaan Allah. Hidup sebagai ahli waris harus melalui proses pendewasaan. Paulus menjelaskan proses itu dengan istilah ‘akil balig’. Tanpa proses pendewasaan kita masih mudah dikuasai oleh kuasa-kuasa lain dan bahkan mudah ditaklukkan oleh roh-roh dunia. Pendewasaan terjadi dalam Yesus Kristus, bukan dalam hukum Taurat. Taurat tidak menjamin kita menjadi ahli waris yang sesungguhnya, tetapi dalam Yesus kita menerima jaminan itu. Ahli waris Kerajaan Allah tidak lagi percaya kepada roh-roh dunia, termasuk takhyul-takhyul.
Apa yang akan kita warisi dari Kerajaan Allah? Janji keselamatan! Kita terikat pada janji keselamatan itu melalui penebusan Yesus Kristus. Oleh sebab itu kita tidak perlu lagi takut pada roh-roh dunia dan segala takhyul. Jikalau kita masih takut, berarti kita masih menghambakan diri kepadanya. Kita tidak boleh lagi percaya kepada roh-roh dunia (dalam segala bentuknya) dan takhyul (juga, dalam segala bentuknya). Kita tahu bahwa semuanya itu ada, tetapi bukan untuk dipercayai melainkan untuk dilawan dalam kuasa Yesus. Kemampuan melakukan perlawanan akan diberikan Yesus kepada ahli waris-ahli waris Kerajaan Allah.
Selain menerima janji keselamatan, ahli waris juga harus bertindak menurut nilai-nilai Kerajaan Allah. Apakah nilai-nilai Kerajaan Allah itu? Damai sejahtera! Atau kita kenal juga dengan istilah ‘syalom’. Hidup dalam janji keselamatan Tuhan tapi tanpa mencerminkan dan menjalankan damai sejahtera adalah suatu kebohongan belaka. Mengapa? Karena keselamatan Tuhan selalu berisi damai sejahtera. Dengan kata lain, damai sejahtera adalah implikasi dan sekaligus aplikasi dari keselamatan Tuhan.
Pada sisi lain, ahli waris Kerajaan Allah adalah figur-figur yang beribadah. Dengan beribadah mereka menempa dirinya dalam proses pendewasaan yang dimaksudkan di atas. Ibadah adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah. Pada saat yang sama Allah mendekatkan diri kepadanya. Dengan demikian ibadah mengintimkan hubungan manusia dengan Allah. Keintiman ini adalah titik tolak manusia untuk bergerak mewujudkan tindakan-tindakan damai sejahtera. Pada akhirnya dapat dikatakan, manusia yang hidup dalam damai sejahtera (yang menyatakannya secara praxis) adalah manusia yang memiliki hubungan intim dengan Tuhan. Sebaliknya, manusia yang tidak hidup dalam damai sejahtera secara praxis, jauh dari hubungan intim tersebut. Yang kedua ini tidak sepantasnya terjadi pada anak dan sekaligus ahli waris Kerajaan Allah. Bukankah sebagai anak dan ahli waris kita harus lebih dekat bahkan semakin dekat kepada Allah?