The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong (Mahatma Gandhi)

0
847

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

 

Manusia yang diciptakan oleh Allah dianugerahi bakat dan talenta tertentu. Bakat dan talenta itu perlu dikembangkan dalam kehidupan yang ia jalani agar melaluinya ia bisa berkontribusi bagi masyarakat yang lebih luas. Bakat atau talenta itu amat beragam dan meliputi berbagai bidang yang merupakan wujud dari kedirian masing-masing orang. Ada orang yang berbakat dibidang seni dengan beragam dimensinya, ada juga dibidang olahraga, namun ada yang memiliki talenta dalam mengembangkan pemikiran yang makro dan strategis.

 

Ada orang yang secara fisik, tubuhnya besar, kuat, mereka tanpa memperhatikan  bakat atau talenta memilih jenis pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik. Ada yang memilih menjadi satpam, atau “body guard”, menjadi aparat keamanan atau jenis pekarjaan serta profesi lainnya.

 

Secara riil orang yang berbadan besar, tegap, pasti dikategorikan sebagai orang yang “kuat”. Sebaliknya orang yang secara fisik, berbadan kecil secara otomatis dikatakan ‘orang yang lemah’. Kekuatan yang bersifat fisik atau kelemahan yang mengacu kepada bentuk fisik tubuh tidak memiliki keterkaitan otomatis dengan sifat dan atau karakter seseorang. Dalam pengalaman konkret kita bertemu dengan orang yang dari aspek fisik itu lemah namun tekadnya amat kuat. Ia bekerja keras dengan sekuat tenaga untuk mencapai cita-cita demi mewujudkan tujuan hidup.

 

Namun kita bisa berhadapan dengan orang yang secara fisik kuat, tapi tekadnya dalam mewujudkan cita-cita amat lemah. Realitas yang antagonistik ini acap kita temui dalam kehidupan praktis; dan itu sah-sah saja. Kekuatan dan kelemahan fisik adalah satu hal tetapi kekuatan dan kelemahan tekad adalah hal yang lain. Antara fisik dan tekad memang tak ada relasi yang otomatis. Agama-agama mengajarkan agar umat memberi apreasiasi kepada setiap orang dan memberi ruang untuk melakukan kebaikan dalam hidup mereka. Kekuatan dan kelemahan baik fisik maupun non fisik adalah sesuatu yang tetap harus disyukuri. Dalam kekuatan dan kelemahan itu manusia sebagai makhluk ciptaan Allah setia dalam menjalankan perintah Allah sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Baca juga  LAPSUS CALAMI. LAPSUS LINGUAE. LAPSUS MEMORIAE: SALAH TULIS. SALAH UCAP. KEHILAFAN INGATAN

 

Menarik ungkapan Gandhi sebagaimana yang dikutip dibagian awal tulisan ini. Menurut Gandhi orang yang lemah itu tak bisa memberi maaf. Memberi maaf dilakukan oleh mereka yang *kuat*. Agaknya kata ‘lemah’ dan ‘kuat’ yang digunakan Gandhi dalam konteks itu tidak mengacu pada sesuatu yang bersifat fisik. Tidak seolah-olah berarti bahwa orang yang fisiknya besar dan kuat adalah yang pemaaf dan yang kecil/lemah bukan pemaaf. Gandhi tidak berbicara pada titik pandang seperti itu.

 

Agaknya Gandhi ingin menyatakan bahwa mereka yang *kuat energi spiritualitasnya* itulah yang pemaaf dan yang lemah energi spiritualitasnya tidak menjadi pemaaf. Semua warga NKRI adalah umat beragama. Tak ada yang *kafir*, tak ada yang atheis. Bisa dicek di KTP pada kolom agama! Tetapi harus kita katakan bahwa Beragama itu satu hal, tetapi memaafkan orang adalah hal lain. Keberagamaan yang kosmetik, parsial, inkonsisten, selalu antagonistik. Yang di imani belum tentu yang diperbuat. Bukti nyata secara kasat mata kita saksikan dinegeri ini setiap saat. Kita bersyukur bahwa sebagai Negara  Beragama (bukan negara agama !!!) Indonesia dipenuhi banyak rumah ibadah dari 6 agama. Orang berduyun-duyun memenuhi rumah ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Walau dengan prihatin harus dicatat adanya rumah ibadah (antara lain gereja) yang belum mendapat izin sehingga belum bisa dipergunakan. Rumah ibadah mestinya digunakan secara efektif untuk membina umat agar mereka hidup saling memaafkan, saling mengasihi dan saling memperkuat tali silaturahim. Bebaskan rumah ibadah dari kegiatan yang kontraproduktif bagi kemanusiaan dan aktivitas yang bernuansa sekuler. Pembinaan spiritual dan pembinaan iman yang menjawab tantangan zaman harus menjadi agenda utama.

 

Mari mengubah diri menjadi ‘orang kuat’ yang suka memaafkan orang lain.

Baca juga  Pdt. Weinata Sairin: "Before you can see the light you have to deal with the darkness". (Marcel Proust)

 

Selamat Berjuang. God bless.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here