Men are disturbed not by that happen, but by their opinion of the things that happen (Epictetus) Oleh: Pdt. W

0
525

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

 

Kita hidup dalam sebuah dunia yang dinamis dan terus bergerak tiada henti. Dunia yang dikuasai oleh roh digital dengan dampak positif dan buruk yang menyekitarinya. Dunia kita bukan lagi sebuah dunia yang diam, yang alon-alon asal kelakon, dunia yang monoton. Dunia yang teduh, sunyi senyap, penuh damai, hening, hampir-hampir sulit kita menemukannya. Kita menghadapi dan menghidupi sebuah dunia yang gaduh, hiruk pikuk baik oleh para pendemo, maupun mereka yang memperebutkan kuasa hegemonik di level manapun. Kegaduhan dan hiruk pikuk bertambah menjadi hingar bingar di era digital tatkala kisah-kisah pribadi masa lampau digoreng di media sosial sehingga memperuncing keadaan.

 

Bumi makin panas tatkala yang di goreng itu adalah kisah-kisah pribadi beraroma _privacy_ yang berangkat dari rekayasa teknologi digital dan atau cerita bertendens ekonomi dan politik namun diberi kemasan ‘sara’ sehingga daya ledaknya, penetrasinya dan keterlibatan begitu banyak orang yang dangkal spiritualitasnya telah menimbulkan kegaduhan yang mengguncang. Keyakinan agama dalam sebuah komunitas yang amat majemuk menjadi sangat tinggi dan kuat energi sensivitasnya. Seseorang yang selama ini diam dan tenang, bahkan dianggap moderat dalam menyikapi masalah-masalah keagamaan, bisa saja berubah banyak jika setiap saat dicekoki pikiran-pikiran yang tidak jernih tentang kehidupan keagamaan dan kehidupan keberagaman.

 

Kita akui bersama bahwa paling tidak dalam kurun waktu 6-7 bulan terakhir sempat terjadi polarisasi dalam kehidupan masyarakat oleh karena pelaksanaan pilkada. Adanya keberbedaan afiliasi politik dikalangan masyarakat mau tak mau berdampak pada terjadinya polarisasi dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi makin menguat oleh karena kemudian keberbedaan politik itu berimbas pada aspek agama. Kita bersyukur oleh karena sesudah pelaksanaan pilkada itu polarisasi makin mengendur dan seluruh masyarakat kembali bersatu padu untuk bersama membangun daerahnya. Tak bisa dihindari adanya fakta bahwa selama masa kampanye telah banyak peristiwa dan kegiatan yang menimbulkan luka batin bagi sebagian warga masyarakat. Dengan berbagai pendekatan, interaksi dan waktu yang bergulir diharapkan luka-luka itu bisa disembuhkan.

Baca juga  KESUCIAN HIDUP BERPUSAT DIHATI BUKAN DI KITAB

 

Terus terang kenyamanan kehidupan kita amat terganggu dengan banyaknya peristiwa, kegiatan yang acap membuat kegaduhan di ruang publik. Bahwa kesemuanya dilakukan atas namaí “hak konstitusional” warga masyarakat sebagai wujud demokrasi, ya memang sah sah saja.

 

Di masa depan kita berharap kehidupan masyarakat kita makin guyub, utuh satu, penuh toleransi demi hadirnya sebuah NKRI yang kuat, teguh dan kukuh. Tak boleh sedikitpun kita terceraiberaikan oleh faktor sara, afiliasi.politik, aliran keagamaan. Kita sebagai bangsa sudah berkomitmen untuk mendirikan negara ini dengan dasar Pancasila, UUD NRI 1945. Impian-impian untuk mencari dasar yang lain selain Pancasila sudah harus dikubur, karena secara historis sudah selesai tanggal 18 Agustus 1945.

 

Epictetus benar ketika ia berucap bahwa kita acap terganggu bukan pada peristiwa yang terjadi, tetapi pada *opini* terhadap sesuatu peristiwa yang terjadi. Dan opini itu bisa bermacam-macam sesuai dengan latarbelakang kepentingan, sesuai dengan arahan ‘fraksi’ dan lain sebagainya.

 

Mari terus berkarya ditengah dunia, jangan terpengaruh oleh apa yang terjadi.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here