Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Hidup yang bahagia selalu menjadi impian setiap orang siapapun dia. Keinginan untuk mengalami dan atau mencapai hidup yang bahagia tidak pernah memandang keberbedaan ‘sara’, keberbedaan latar belakang pendidikan, keberbedaan strata sosial, bahkan keberbedaan apapun juga yang melekat pada kedirian manusia. Term “hidup bahagia” yang terdengar agak klise telah memberi inspirasi para pencipta lagu, penulis puisi, sutradara film dan para seniman lainnya untuk mencipta dan menghadirkan karya dengan mengacu ada kosakata ‘hidup bahagia’.
Sudah berapa banyak jumlah lagu, puisi, film dan bentuk-bentuk seni lainnya yang menjadikan “hidup bahagia” menjadi tema utama. Sudah berapa banyak film tv, sinema elektronik, novel, lukisan mengangkat tema “hidup bahagia” sebagai tema utama?
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan deskripsi yang cukup memadai tentang “bahagia”. Bahagia adalah ‘keadaan atau perasaan senang dan tenteram, keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir batin”. Harus dicatat dan digarisbawahi bahwa hidup bahagia itu amat relatif, berdimensi nisbi. Bahagia amat tergantung pada perspektif inividual seseorang dalam keberbagaian latar belakangnya dan wataknya.
Seorang yang menerima upah sesuai dengan standar UMR/UMP bisa saja ia merasa sudah bahagia dalam hidupnya. Apalagi ia memiliki watak yang cinta pada ugahari/kesahajaan. Namun ada juga orang yang sudah berpenghasilan mencapai seratus juta rupiah per bulan merasa tidak bahagia dan belum cukup karena itu nafsu korupsinya meninggi. Ia masih harus melunasi apartemen mewah, memberikan sejumlah dana untuk istri-istri yang shoping ke mancanegara dan sebagainya, dan sebagainya.
Menarik untuk menyimak pandangan Helen Keller tentang hidup bahagia. Helen yang lahir di Alabama 27 Juni 1880 dan meninggal 1Juni 1968 adalah seorang penulis, aktivis politik, dosen yang concern terhadap orang buta dan tuli. Ia menulis buku “The Story of my life” dan “The World I live in” yang telah diterjemahkan kedalam 50 bahasa. Pandangannya ini bukan sebuah teori tapi sebuah kesaksian yang nyata berdasarkan pengalaman empirik yang ia alami. Disini letak kekuatan pemikiran seorang Helen Keller.
Sebagai umat beragama kita telah memiliki arahan jelas menurut agama masing-masing tentang ‘hidup bahagia’. Yang pasti kita sudah amat bahagia jika kita setia dan mampu menjalankan perintah agama dalam kehidupan kita.
Selamat Berjuang! God Bless !