Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Dalam kehidupan sekuler dan dunia nyata, *emas* adalah salah satu standar yang menjadi acuan tentang nilai kekayaan pribadi/ institusi. Kepemilikan seseorang /lembaga terhadap emas sebagai barang berharga, menjadi penunjuk status bonafiditas pribadi atau suatu lembaga. Nilai emas sebagai barang berharga sering dijadikan referensi untuk menjadi patokan nilai sesuatu barang pada kurun waktu tertentu. Dengan mengingat nilai emas yang stabil ditengah berbagai fluktuasi harga tak heran jika ada banyak orang yang menjadikan emas sebagai investasi. Dalam merespons keinginan pasar seperti ini PT ANTAM menyediakan format emas batangan untuk kemudahan investasi.
Konon emas menjadi pilihan investasi yang menguntungkan karena nilai dan minat masyarakat yang cukup kuat. Di zaman baheula kita mengenal semacam jargon yang poluler untuk memberi penyebutan terhadap apa yang biasa disebut gelombang ‘invasi Barat’ yaitu Gold, God and Glory.
Kitab Amsal yang disusun lk tahun 900 SM dan diyakini berasal dari Salomo memahami Emas dalam angle yang berbeda, bahkan antagonistik. “Amsal” yang berasal dari kata Ibrani “misyle”/”masyal” yang bermakna “misal”, “perbandingan” adalah kumpulan tulisan beraneka ragam gaya yang isinya berupa nasihat pendidikan terutama bagi orang muda.
Menurut Amsal, sekalipun emas dan permata itu banyak yang kita miliki tetapi kemaknaan dan keberhargaannya tidak tinggi dan unggul. Emas dan permata yang banyak itu tidak bisa ‘mengalahkan’ *bibir yang berpengetahuan*. Dengan tegas dan eksplisit Amsal menyatakan bahwa yang paling berharga adalah bibir yang berpengetahuan, bukan emas dan permata yang banyak.
Pembandingan yang diungkapkan Amsal cukup menarik : emas dan permata dengan bibir yang berpengetahuan. Unsur-unsur itu yang dijadikan sebagai materi pembandingan mungkin karena emas dan perak amat dikenal dikalangan umat, bahkan bisa terjadi emas dan perak itu sudah menjadi bagian dari ‘investasi’ umat.
Amsal juga ingin memfokuskan umat pada dimensi edukasi; sebab itu ia gunakan istilah “bibir yang berpengetahuan”. Bukan sekadar bibir yang bisa melafaz kata, tapi bibir yang mengucap kata santun, elegan, berhikmat, penuh kasih sayang.
Amsal menyinggung hal yang amat fundamental bagi manusia modern yang tengah digerus oleh roh sekularisme. Kita diingatkan agar tidak terpenjara dan atau merasa arrive dengan memiliki emas, permata, sebagai representan dari harta/aset duniawi, tetapi kita juga mesti memberi fokus pada “bibir yang berpengetahuan”, bibir yang mampu mengungkap empati, cinta kasih, solidaritas bagi sesama, dedikasi dan advokasi bagi kaum marjinal. Bukan bibir yang asbun, yang menebar kebencian dan kegaduhan.