Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Manusia adalah makhluk yang sangat istimewa yang pernah diciptakan Tuhan. Tak ada yang bisa menandinginya dan tak bisa dibandingkan dengan makhluk lainnya. Banyak sebutan dan predikat yang diberikan kepada manusia sebagai cermin dan penanda dari keistimewaannya itu. Dalam lingkup Kristen manusia disebut *imago dei*( the image of God). Teman-teman dilingkungan Islam menyebut manusia sebagai *khalifah Allah*. Agama-agama sudah pasti memiliki sebutan khusus tentang manusia untuk menandakan bahwa makhluk yang disebut manusia itu sungguh istimewa. Namun harus tetap dicatat bahwa walau manusia adalah makhluk istimewa ia tetap tunduk kepada kefanaan, ia bukan sosok abadi yang terbebas dari kefanaan, kesementaraan. Oleh karena itu manusia juga memiliki kelemahan, ia bukan figur sempurna, ia bukan superman, ia jauh dari ‘insan kamil’, ia membutuhkan roh agama agar jalan-jalan yang ditempuhnya dalam rimba raya dunia ini, tetap berpegang pada hakikat kediriannya sebagai imago dei, sebagai khalifah Allah.
Terkadang kita mengalami kesulitan yang amat sangat untuk memahami kesiapaan manusia itu walau ada disiplin ilmu yang ikut membantu bagaimana kita memberi penilaian tepat dan adequat tentang sosok manusia. Soalnya sering terjadi sesuatu yang paradoks dan ambivalen dalam diri manusia. Seseorang yang secara lahiriah sangat mahfum aturan dan perintah agama, namun dalam kenyataan praktis ternyata keberagamaannya itu tidak mewujud dalam sikap hidup. Dalam bahasa Mochtar Lubis realitas ini disebut ‘munafik’.
Mochtar dalam pidato kebudayaan di TIM tahun l970 mencatat salah satu ciri manusia Indonesia adalah munafik. Ada gap, ada kesenjangan antara pengetahuan agama dengan perilaku, ada paradoks antara perkataan dan perbuatan. Dalam konteks itu mengapa peran pemuka agama menjadi amat penting untuk remind, mengingatkan, membina dan mendampingi tiap-tiap orang agar keberagamaan mereka utuh penuh, solid tidak ambivalen dan paradoks.
Cukup menarik apa yang dinyatakan oleh Khalil Gibran seperti dikutip dibagian awal tulisan ini. Menurut Gibran untuk memahami manusia bukan pada apa yang sudah dicapai tetapi pada apa yang masih akan dilakukannya di masa depan. Gibran ingin mengajak kita untuk memaknai dan “menilai” manusia dalam perspektif keakanannya, bukan pada kelampauan dan atau kesekarangan. Tidak terlalu mudah memang karena tidak semua orang punya atau mampu merumuskan apa langkah yang akan dibuatnya di masa depan. Tapi mari kita coba menggunakan “standar” Khalil Gibran.
Selamat berjuang. God bless.