Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Hidup selalu berada dalam sebuah dinamika; hidup bukanlah sesuatu yang statis dan monoton. Kondisi yang diam, statis, monoton bukanlah *hidup* tetapi *kematian*. Ya di dalam pelukan kematian maka aktivitas dan dinamika tidaklah punya ruang. Kematian adalah ibarat malam pekat, tatkala kediam-diaman adalah sebuah realitas tiada terbantahkan. Kematian adalah sebuah dunia unik, yang didalamnya jasad-jasad terhimpun menyatu. Joko Pinurbo, penyair beken kelahiran Sukabumi 1962 yang acap mrndapat penghargaan dibidang sastra dalam puisinya berjudul “Ranjang Kematian” (1991) menulis amat puitis di salah satu baitnya : “Jasad yang kami baringkan beribu tahun/ telah membatu/ Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku/ Dan selimut telah melumut/ Telah melumut pula mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.” (Joko Pinurbo, Malam Ini Aku Aķan Tidur Di Matamu, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2016)
Hidup yang dipenuhi aktivitas dan dinamika memang banyak di warnai penderitaan. Dan hal itu adalah sesuatu yang biasa dan wajar. Tak ada kehidupan yang tenang tanpa gelombang, tanpa hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan.
Dalam dunia kematian sebagaimana dengan amat plastis dan puitis di dendangkan Joko Pinurbo dalam puisinya “Ranjang Kematian” aktivitas itu tak lagi ada dan sebab itu sang jasad tak lagi berinteraksi dengan penderitaan, apapun bentuknya. Lepas dari bagaimana perspektif teologi dari agama-agama kita tentang kematian dan tentang “hidup sesudah mati” namun imajinasi dari penyair seperti Joko Pinurbo ini sedikit membantu kita untuk membayangkan keakanan kita masing-masing, terutama sekali tatkala maut mendekap kita tanpa akhir.
Ada saja orang yang ingin hidup dalam zona nyaman, sebab itu ia tak mau tergeser oleh arus perubahan. Seseorang tak mau berlelah-lelah berjuang dalam hidup untuk meraih cita-cita, ia ikut arus saja yang penting ia bisa menikmati dengan baik, semua kebutuhan terpenuhi. Namun ada juga orang yang berjuang dengan segala daya dan cara untuk menggapai cita-cita, bahkan terkadang mesti mengorbankan keluarga.
Agama-agama memang mengajarkan agar setiap orang bekerja keras, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam mengejar segala sesuatu itu ajaran agama tidak boleh ditinggalkan. Ungkapan Paulo Coelho patut juga disimak, ya ada derita dalam hidup ini, ada juga kekalahan, tak bisa untuk dihindari. Menurut Paulo masih lebih baik kita mengalami beberapa kali kekalahan untuk mewujudkan impian kita dari pada kita kalah tanpa kita tahu apa yang sedang diperjuangkan.
Mari isi hidup kita dengan aktivitas kebajikan sesuai dengan perintah agama, sebelum kita memasuki “ranjang kematian”.
Selamat berjuang. God bless.