“NON MULTA, SED MULTUM. BUKAN JUMLAH, TETAPI MUTU”.

0
658

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

Dalam hidup ini ada banyak orang yang lebih memberikan ruang pada “jumlah” pada sesuatu.yang bersifat numerik, bukan pada “kualitas”. Itulah sebabnya orang mengejar “jumlahnya” tanpa mau mempedulikan “kualitas”nya. Memang dalam.kasus-kasus tertentu jumlah (yang banyak) itu menjadi amat penting. Dalam pemungutan suara, yang tampil menjadi pemenang adalah calon yang memiliki jumlah suara terbanyak. Bahwa kualitas orang yang menjadi pemilih terbesar itu tidak begitu baik, misalnya dari segi pendidikan, realitas itu tidak menjadi persoalan.

Dalam rapat-rapat organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta, jumlah suara yang banyak juga amat penting. Jumlah suara itu akan berpengaruh dalam penetapan kuorum, dan berdasarkan itu sebuah rapat dilanjutkan atau ditunda, dengan konsekuensi masing-masing.

Dalam kehidupan beragama acapkali jumlah ituan dianggap sangat penting. Jumlah penganut yang besar dengan jumlah yang banyak dianggap memiliki power yang kuat dengan posisi tawar yang dahsyat. Bahkan dari realitas itu dimunculkan istilah mayoritas dan minoritas. Hal yang cukup sulit dalam kehidupan suatu bangsa jika mindset masyarakat dan pemimpinnya berada dalam “frame mayoritas-minoritas berbasis agama”.

Implementasi.praktis dari skema berfikir ini bisa kontra produktif bahkan merusak kebersatuan masyarakat. Misalnya dalam menyambut hari raya keagamaan, bisa terjadi bahwa agama yang dianggap “minoritas” disuatu wilayah tak bisa menjalankannya dengan leluasa karena pihak yang merasa “mayoritas” menetapkan berbagai peraturan agama yang intinya membatasi aktivitas umat minoritas dalam melaksanakan ibadah/ kegiatan menyambut hari raya keagamaan itu.

Hal yang menambah parah lagi adalah tatkala institusi pemerintah menjadikan peraturan yang diterbitkan lembaga keagamaan sebagai dasar untuk membuat ketentuan baru yang digunakan untuk mengeksekusi peraturan yang dibuat lembaga keagamaan. Semestinya dalam sebuah negara bangsa, yang warganya amat majemuk, konsep berfikir “mayoritas-minoritas” harus ditinggalkan karena bertentangan dengan UUD NRI.1945.

Baca juga  Senyum dan Bersyukur

Dalam sebuah NKRI yang adalah negara hukum, maka hukum positif yang menjadi panglima; hukum itu yang mengikat tiap-tiap prnduduk.
Sebagai bangsa yang bermartabat, berkeadaban wajib hukumnya kita tinggalkan skema berfikir “mayoritas-minoritas kita tata pola hidup yang baru yang mengacu pada Pancasila dan UUD NRI 1945.

Menarik untuk menyimak pepatah pendek ini “bukan jumlahnya tetapi mutunya”. Biar kecil tapi bermutu dari pada besar tapi mutunya buruk dibawah standar. Kecil itu indah, Small is beautiful, kata ekonom EF Schumacher dalam buku yang ia tulis 1973. Ia mengkritik sistem ekonomi kapitalistik yang berkibar saat itu dan mengajak kita kembali kepada sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil. Sesuatu yang kecil tidak berarti buruk tak bermakna. Kecil itu indah, bemakna apalagi jika kualitasnya unggul. Sebagai umat beragama mari kita concern pada mutu dan tidak terpenjara pada jumlah.

Selamat berjuang. God bless.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here