Why Nations Fail: Kritik & Relevansi Bagi Indonesia
Oleh: Albertus M. Patty
Buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson menjelaskan mengapa beberapa negara berhasil maju, sementara yang lain tetap terbelakang. Menurut mereka, kunci utama kemajuan adalah institusi. Negara dengan institusi yang inklusif dan demokratis, yang melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan dan melindungi hak-hak individu, akan berkembang. Sebaliknya, negara dengan institusi ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir elite, akan tetap terjebak dalam kemiskinan dan ketimpangan.
Buku ini memberikan banyak contoh menarik. Salah satunya adalah perbandingan Korea Utara dan Korea Selatan. Walaupun kedua negara memiliki sejarah dan budaya yang sama, institusi yang inklusif di Korea Selatan membuatnya maju, sementara Korea Utara dengan institusi ekstraktif, bahkan otoriter terperosok dalam kemiskinan.
Namun, tidak semua setuju dengan argumen buku ini. Kritik utama adalah terlalu menekankan peran institusi, sehingga mengabaikan faktor lain seperti pengaruh globalisasi, tekanan dari luar dan kemajuan teknologi. Negara-negara yang serius melakukan inovasi teknologi berkembang sangat pesat. Misalnya Korea Selatan, Taiwan dan Israel. Ini yang tidak disorot Acemoglu dan Robinson.
Bangsa kita belum terlalu “pede” dengan kualitas inovasi teknologi anak bangsa. Kita tidak punya minat menggarap soal ini. Lihat saja dari anggaran APBN. Sementara Israel memiliki anggaran R&D sebesar 6% dari APBN sehingga menjadi negara yang paling inovatif dalam teknologi, anggaran R&D kita hanya 0,02%. Hanya cukup untuk membayar para pembuat dan penyimpan makalah.
Balik lagi ke buku di atas. Buku ini sangat relevan bagi kita. Sejarah kolonialisme Belanda menciptakan institusi ekstraktif yang masih terasa hingga sekarang. Sumber daya alam yang melimpah sering kali hanya menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat lokal tetap miskin.
Reformasi 1998 menjadi titik awal perubahan menuju institusi yang lebih inklusif. Namun, tantangan besar lain seperti praktek korupsi, politik uang, mentalitas ‘broker’, dan ketimpangan pembangunan antarwilayah masih harus diatasi.
Pelajaran penting dari buku ini adalah pentingnya membangun institusi yang melibatkan seluruh masyarakat, bukan hanya elite. Hal ini bisa dilakukan melalui transparansi, pendidikan, dan partisipasi aktif rakyat. Intinya, institusi yang demokratis harus diterapkan demi kemajuan bangsa.
Tetapi, buku ini juga mengingatkan bahwa demokrasi saja tidak cukup. Demokrasi harus diiringi oleh kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat banyak.
Dengan memperkuat institusi inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai kemakmuran yang adil dan berkelanjutan.
Bandung
26 Oktober 2024