Partai Coklat dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia
*Oleh Jeannie Latumahina*
*Ketua Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Perindo*
Menjelang Pilkada 2024, istilah *“Partai Coklat”* muncul dalam diskursus politik Indonesia. Istilah ini merujuk kepada dugaan adanya intervensi politik yang dilakukan oleh kelompok yang dianggap masih loyal kepada Presiden Joko Widodo, yang berpotensi merusak integritas pemilu. Maka dalam konteks ini, penting untuk memahami latar belakang, adanya dugaan intervensi, serta respons masyarakat dan berbagai pihak terkait fenomena ini.
Istilah “Partai Coklat” pertama kali diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto telah menuduh terjadinya mobilisasi politik yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk mendukung pasangan calon tertentu dalam Pilkada, yang dapat menciptakan ketidakadilan dalam proses demokrasi. Tuduhan Hasto ini muncul di tengah kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh politik yang tidak sehat.
Adapun dugaan intervensi melalui “Partai Coklat” kuat terjadi di beberapa daerah, termasuk Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah. Disebutkan di Sumatera Utara, terdapat adanya laporan mengenai pengerahan kepala desa dan camat untuk mendukung calon tertentu serta intimidasi terhadap pemilih.
Sementara itu, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, polisi diduga kuat terlibat dalam kampanye untuk mendukung calon tertentu. Sedangkan politisi di wilayah Banten melaporkan adanya politisasi melalui bantuan sosial yang telah mengganggu proses pemilihan. Sedangkan di Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah juga muncul dugaan keterlibatan aparat dalam mendukung calon.
Dalam hal ini PDI-P telah berencana membawa bukti-bukti pelanggaran tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk ditindaklanjuti. Sedangkan respon masyarakat terhadap dugaan intervensi ini cukup beragam. Banyak yang mengungkapkan kekhawatiran tentang integritas pemilu dan meminta bukti konkret terkait tuduhan tersebut. Beberapa warga menyatakan bahwa situasi ini telah menciptakan rasa ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi yang seharusnya berjalan transparan dan adil.
Sedangkan di DPR juga memberikan tanggapan terhadap isu ini. Beberapa anggota DPR, seperti Habiburokhman, menyebut tuduhan tersebut sebagai hoaks dan menekankan perlunya bukti yang valid sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Ia mengingatkan agar pernyataan tidak menimbulkan suasana tidak kondusif.
Di sisi lain, PDI-P berencana melakukan evaluasi terkait pelanggaran yang terjadi dan mendorong masyarakat untuk melaporkan bukti keterlibatan aparat dalam politik. Dimana Bawaslu merespons pernyataan adanya intervensi kekuasaan dengan menekankan pentingnya independensi lembaga penyelenggara pemilu.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, menyatakan bahwa tantangan utama adalah menjaga integritas pemilu dari berbagai bentuk intervensi. Ia mengingatkan bahwa Bawaslu dan KPU harus mampu menghadapi tekanan politik dan menjaga netralitas mereka.
Bawaslu seharusnya mengambil sikap proaktif dalam menangani isu “Partai Coklat”. Mereka perlu mendorong masyarakat untuk melaporkan setiap dugaan pelanggaran terkait adanya keterlibatan aparat kepolisian dalam proses pemilihan. Bawaslu juga harus mampu melakukan investigasi menyeluruh terhadap laporan-laporan tersebut agar dapat memberikan kejelasan kepada publik mengenai situasi yang terjadi.
Disisi lain Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menanggapi isu dugaan keterlibatan “partai coklat” dalam Pilkada 2024 dengan beberapa poin penting. Kapolri menolak tuduhan tersebut sebagai hoaks dan memberikan klarifikasi bahwa polisi tidak terlibat langsung dalam kampanye atau pendukungan calon.
Namun, sikap kepolisian seharusnya tidak hanya berhenti pada penolakan tersebut. Kepolisian perlu mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyelidiki dan menanggapi adanya tuduhan keterlibatan aparat dalam politik. Sebagai institusi penegakan hukum yang seharusnya netral dan melindungi demokrasi, kepolisian harus segera melakukan investigasi internal untuk memastikan bahwa anggota mereka tidak terlibat dalam praktik politik partisan yang jelas dapat mencederai integritas pemilu.
Komunikasi yang transparan dengan publik mengenai langkah-langkah yang diambil untuk menangani isu ini sangat penting. Hal ini tidak hanya akan membantu meredakan ketegangan di masyarakat tetapi juga memperkuat citra kepolisian sebagai lembaga yang berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan netralitas.
Jika benar adanya intervensi kekuasaan melalui “Partai Coklat,” hal ini tentu dapat dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi. PDI-P telah melaporkan berbagai bentuk kecurangan terstruktur dan sistematis di sejumlah wilayah, termasuk intimidasi terhadap pejabat desa dan politisasi bantuan sosial.
Politisi PDI-P seperti Ahmad Basarah dan Djarot Saiful Hidayat juga mengungkapkan bahwa tindakan ini merusak nilai-nilai demokrasi dan berencana membawa bukti-bukti tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan adanya kecurangan.
Karena jika benar terjadi intervensi kekuasaan seperti ini jelas memiliki implikasi besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Dan bila intervensi ini terkonfirmasi, maka akan menunjukkan terjadinya kemunduran signifikan dalam demokrasi modern Indonesia. Hal ini dapat disamakan dengan demokrasi era Orde Baru, dimana terjadi demokrasi formalitas telah digunakan untuk memastikan hasil pemungutan suara sesuai dengan keinginan penguasa.
Era Orde Baru dicirikan oleh manipulasi politik yang jelas dan kontrol yang ketat atas media massa sehingga membuat proses demokrasi tampak palsu. Bila adanya intervensi kekuasaan melalui “Partai Coklat” saat ini dapat dikategorikan sebagai langkah mundur menuju model demokrasi yang kurang ideal.
Dalam konteks pro dan kontra mengenai isu ini, pendukung PDI-P berargumen bahwa perlu pengawasan terhadap intervensi politik oleh aparat sangat penting untuk menjaga integritas pemilu serta memastikan transparansi dalam proses pemilihan. Namun, beberapa pihak menganggap tuduhan ini sebagai upaya untuk mendiskreditkan lawan politik dengan menggunakan isu-isu sensitif.
Kritikus juga menyatakan bahwa tanpa bukti konkret, tuduhan ini bisa dianggap sebagai hoaks yang hanya memperkeruh suasana politik. Namun secara keseluruhan, fenomena “Partai Coklat” mencerminkan tantangan serius bagi demokrasi di Indonesia.
Dengan adanya dugaan intervensi oleh aparat dalam proses pemilihan, penting bagi semua pihak untuk menjaga integritas pemilu dan memastikan bahwa suara rakyat dihargai. Diskusi mengenai isu ini harus dilakukan secara terbuka dan berbasis pada fakta agar demokrasi Indonesia tetap kuat dan sehat.
Minggu , 8 Desember 2024