SIARAN PERS TIM ADVOKAT OAP: *PARA TERDAKWA MENGALAMI ANCAMAN, PEMUKULAN, DITODONG DENGAN PISTOL SAAT PEMERIKSAAN DI KEPOLISIAN*

0
5573

SIARAN PERS TIM ADVOKAT OAP: *PARA TERDAKWA MENGALAMI ANCAMAN, PEMUKULAN, DITODONG DENGAN PISTOL SAAT PEMERIKSAAN DI KEPOLISIAN*

Jayapura, 12 Desember 2019

Siaran Pers Tim Advokat OAP

*PARA TERDAKWA MENGALAMI ANCAMAN, PEMUKULAN, DITODONG DENGAN PISTOL SAAT PEMERIKSAAN DI KEPOLISIAN*

Kekerasan terhadap para terdakwa, stigmatisasi dan rekayasa dalam proses pemeriksaan ditingkat penyidikan di Kepolisian Daerah (Polda) Papua, ternyata masih terjadi ditengah institusi kepolisian yang notabene mulai melek perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Pendekatan tidak manusiawi itu, dialami para terdakwa dalam kasus kerusuhan Jayapura akhir Agustus 2019 lalu. Di sidang pengadilan, mereka akhirnya mencabut isi keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sebabnya, mereka dalam memberikan keterangan berada dalam tekanan: diancam, dipukul, bahkan ditodong pistol. Mereka dipaksa mengakui melakukan perbuatan pengrusakan pada saat aksi unjuk rasa menolak rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP). Mendengar fakta demikian, majelis hakim yang diketuai Maria Sitanggang itu, memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan penyidik sebagai saksi verbalisan pada persidangan berikutnya.

Berdasarkan keterangan terdakwa R, “jika saya tidak bilang iya, maka saya dipukul, diancam ditembak. Terpaksa saya bilang iya saja, meskipun perbuatan pelemparan itu tidak pernah saya lakukan” ungkapnya. Adapun kekerasan yang dialami R, tidak dilakukan oleh penyidik yang melakukan pemeriksaan, melainkan teman-temannya yang menurut terdakwa R oknum anggota kepolisian;

Demikian juga terdakwa Y yang mengalami kekerasan. Pinggangnya ditendang ketika membantah dia bukan pelaku. Hal serupa dialami terdakwa D. Ia ditangkap sejak Pukul 17.00 WIT, namun proses BAP baru berlangsung Pukul 23.00 WIT. Awalnya ia membantah melakukan pelemparan, namun ia dipaksa, diarahkan dan diancam agar memberi keterangan yang tidak dilakukannya.

Karena ada tekanan berupa ancaman, pemukulan dan todongan pistol kepada para terdakwa sehingga para terdakwa tidak bebas memberikan keterangan waktu pemeriksaan di kepolisian. Padahal pasal 52 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengamanatkan bahwa setiap proses pemeriksaan termasuk pemeriksaan di tingkat penyidikan di kepolisian, tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas. Pemukulan terhadap para terdakwa waktu pemeriksaan di kepolian merupakan PENYIKSAAN (TORTURE). Padahal penyiksaan dalam proses penyidikan dilarang dan tidak dibenarkan oleh hukum karena merendahkan martabat manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 28G ayat (2) UUD 1945, pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Baca juga  Rumah Tangga Hingga Negara: Berbagi Peran Dalam Menghentikan Kekerasan Ekonomi

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”.

*Perlakuan Rasisme di Kantor Polda Papua terhadap OAP*

Rasisme terhadap OAP, ternyata tidak hanya terjadi di Surabaya dan Malang yang memicu aksi protes ribuan masyarakat. Terdakwa Y dalam persidangan mengatakan bahkan pada saat diperiksa di Polda Papua, oknum anggota kepolisian menyebutnya dengan kata-kata “monyet”. “Manusia itu secitra dan serupa dengan Allah. Tidak pantas kami disamakan dengan monyet”, kata terdakwa Y.

Sementara itu, beberapa terdakwa mengaku, keikutsertaan mereka dalam aksi unjuk rasa menolak rasisme terhadap OAP, semata-mata karena inisiatif sendiri. Mereka merasa harus melakukan protes atas perendahan harkat dan martabat OAP. Aksi unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak menyampaikan dan menyatakan pendapat di muka umum yang dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

*Rekayasa Pendampingan dan Tindakan Oknum Advokat Melegalkan Kekerasan*

Di sisi lain, karena para terdakwa dijerat dengan pasal yang ancaman hukumannya diatas 5 (lima) tahun, maka penyidik telah menunjuk advokat untuk memberi bantuan hukum. Ironisnya, para terdakwa mengaku belum pernah bertemu dengan advokat yang ditunjuk tersebut.

Terdakwa M mengaku surat kuasa ditandatangani karena disuruh oleh penyidik dan tidak pernah bertemu dengan advokat yang ditunjuk itu, alih-alih mendapat bantuan hukum. Pada saat pemeriksaan, tidak pernah didampingi advokat tetapi dalam BAP terdapat tandatangan advokat yang bernama Charirul Fahru Siregar, S.H.

Baca juga  DPP Perkumpulan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI) Mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1441 Hijriah kepada Seluruh Umat Islam Indonesia

Sikap advokat yang seolah-olah mendampingi para terdakwa, menunjukkan sikap yang tidak profesional dan melegalkan kekerasan terhadap para terdakwa selama proses pemeriksaan.

Penyidik Polda Papua dalam hal ini mengabaikan hak para terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum padahal hak mendapatkan bantuan hukum merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap warga negara yang menghadapi proses hukum. Sehingga dengan demikian kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang menghadapi proses hukum. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 18 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan juga Pasal 14 ayat (3) huruf d UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik;

Berdasarkan hal-hal tersebut, Tim Advokat OAP menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Agar Kepala Kepolisian Daerah Papua mengusut pelaku kekerasan dan penyiksaan terhadap para terdakwa dalam proses pemeriksaan, sebab tidak mencerminkan sikap kepolisian yang melayani, melindung dan mengayomi masyarakat. Merendahkan dan melecehkan instistusi kepolisian serta melanggar hukum dan hak asasi manusia. Hal ini juga merendahkan martabat para terdakwa.

2. Agar Kepala Kepolisian Daerah Papua memberi sanksi yang tegas berupa pemecatan terhadap oknum anggota kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dan bersikap rasis terhadap para terdakwa;

3. Tim Advokat OAP akan menempuh upaya hukum dan mengadukan advokat kepada Dewan Kehormatan karena bertindak seolah-olah mendampingi para terdakwa, namun faktanya tidak;

4. Meminta majelis hakim untuk membebaskan dan memulihkan nama baik para terdakwa dari segala tuntutan hukum;
5. Mendesak komnas Ham melakukan investigasi dan menyikapi atas terjadinya kekerasan dan penyiksaan terhadap para terdakwa dalam proses pemeriksaan di Polda Papua

Baca juga  Memutuskan Mata Rantai Korupsi.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik, kami ucapkan terimakasih.

Hormat Kami,
Tim Advokat OAP

Sugeng Teguh Santoso (0822-2134-4458)
Frederika Korain (0811-4804-054)
Aloysius Renwarin (0811-488-169)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here