Jakarta, Gramediapost.com
Mencermati dengan seksama suasana psikososial dan psikopolitik, khususnya kondisi keamanan dan ketertiban sosial di bumi cendrawasih Papua, pasca demonstrasi berujung rusuh di Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019, yang berpotensi menimbulkan “krisis” sosial-politik di Papua, maka kami anak-anak bangsa yang berhimpun dalam Eksponen Muda Lintas Iman Indonesia (EMLI-Indonesia), dengan ini menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
1. Kami memandang bahwa Papua sejatinya merupakan bagian integral dari Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam perspektif hukum internasional, sesuai dengan asas “uti possidetis juris”, Papua yang merupakan bagian dari Netherlands Indies ikut dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, sejak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Papua sudah menjadi bagian NKRI.
2. Kami memandang bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tanggal 2 Agustus 1969, yang hasilnya telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Resolusi 2504 (XXIV) Majelis Umum, merupakan penegasan kembali sikap rakyat Papua mengenai “penentuan nasib sendiri”, untuk memastikan status daerah bagian barat Pulau Papua menjadi Indonesia, dan bukan milik Belanda. PEPERA harus dimaknai sebagai solusi konflik bilateral Indonesia-Belanda yang difasilitasi oleh PBB, sebab: Basis hukum PEPERA 1969 adalah perjanjian bilateral New York Agreement 1962, bukan Bab XI (self-determination) Piagam PBB. Hal ini berbeda dengan Timor Timur yang berbasis Bab XI. Sekalipun telah diupayakan oleh Belanda, Papua tidak pernah masuk dalam list NSGT (Non-Self Government Territory). Dengan atau tanpa PEPERA, Papua telah menjadi bagian integral NKRI sejak 17 Agustus 1945. Dengan kata lain, negara yang hendak menggugat keabsahan Papua sebagai bagian NKRI, yang harus digugat adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, bukan PEPERA 1969. Sesuai hukum internasional, PEPERA tetap sah sebagai outcome dari penyelesaian konflik bilateral berdasarkan Perjanjian Bilateral RI-Belanda (New York Agreement 1962).
3. Kami sangat menyesalkan terjadinya peristiwa unjukrasa berujung rusuh di Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019, sekaligus mengapresiasi sikap cepat tanggap dari pihak Kepolisian Republik Indonesia yang telah menetapkan 30 orang tersangka dalam kerusuhan di Jayapura. Tindakan cepat kepolisian ini merupakan manifestasi sikap menjunjung tinggi supremasi dan atau penegakan hukum. Bersamaan dengan itu, para penegak hukum di ranah pengadilan hendaknya menjatuhkan hukuman berat bagi siapapun pelaku tindakan provokasi yang membonceng sentimen SARA dan tindakan intoleransi.
4. Kami mengajak seluruh elemen bangsa, khususnya bagi yang berada di wilayah Propinsi Papua, termasuk di dalamnya aparat keamanan (TNI-Polri), agar dapat menahan diri dan selalu mengedepankan pendekatan persuasif dalam mengatasi setiap potensi gejolak sosial yang terjadi. Warga masyarakat bumi cendrawasih Papua sesungguhnya adalah warga Indonesia yang berkarakter Bhineka Tunggal Ika, yang menjunjung tinggi kemajemukan, berjiwa besar dan atau patriotik, serta mengutamakan perdamaian dan persaudaraan sebangsa-setanahair.
5. Kami mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua agar membentuk sebuah “gugus tugas” (task force) yang bersifat khusus, dalam rangka penanganan “krisis” Papua secara komprehensif dan multidimensional. Pimpinan dan keanggotaan dari gugus tugas hendaknya diprioritaskan bagi putera-puteri Papua dari berbagai latar belakang, yang sungguh-sungguh memahami masalah-masalah mendasar di Papua. Gugus tugas ini hendaknya membangun kemitraan intesif dengan para pemimpin umat beragama di Papua melalui lembaga-lembaga keagamaan seperti Sinode Gereja, Keuskupan, dan MUI, serta para tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda di Papua. Sebagaimana pandangan yang diungkapkan sendiri oleh Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, bahwa: “agar kehidupan berbangsa ini lebih baik, tidak ada orang lain dari Papua yang bisa membantu masalah Papua, kecuali orang yang telah ada di Papua yang bisa menyelesaikannya”.
Demikian Pernyataan Sikap kami mengenai “krisis” Papua, sebagai manifestasi kecintaan kami pada keutuhan NKRI dan persaudaraan kemanusiaan diantara seluruh warga bangsa Indonesia.
Jakarta, 1 September 2019
EKSPONEN MUDA LINTAS IMAN INDONESIA (EMLI-Indonesia):
1. Adhyaksa Dault (Koordinator)
2. Viktus Murin (Sekretaris)
3. Ronny Abi (Anggota)
4. Gunawan (Anggota)
5. Rachel Tuerah (Anggota)
6. Emanuel Bria (Anggota)
7. Carlos Paath (Anggota)
8. Irwan Lalegit (Anggota)
9. Paulus Doni Ruing (Anggota)
10. Roger (Anggota)
11. Subhan Pattimahu (Anggota)
12. Widy Sailendra (Anggota)
13. Raela KusRorong (Anggota)
14. Jefrry Gultom (Anggota)
15. Karolus Etoehaq (Anggota)
16. Terry Panauhe (Anggota)
17. Standis R (Anggota)
18. Stanly Sondakh (Anggota)
19. Wilem Lodjor (Anggota)
20. Syahrial.
*Narahubung*:
1.Viktus Murin/Sekretaris EMLI-Indonesia (WA: 0818-0798-6218)
2.Samsul (WA:0852-0145-9950)