Rohim Bogor sebutan bagi namanya, karena ia berasal dari Bogor. Pria berumur 35 tahun itu beristrikan juga mojang Bogor Nurjanah berusia 30 tahun. Mereka untuk sementara berpisah dan bertemu hanya dua minggu sekali.
Sang istri dengan setia menunggu kedatangan suami tercinta dengan peruntungannya di Jakarta. Kota Jakarta lebih menjanjikan asal mau bekerja keras.
Rohim memiliki dua anak, Ratih Rohmawati duduk di Kelas 3 SMP Cahaya Gumilang Bogor. Dan anak kedua Intan Nurmala 8 tahun Kelas II SD Hambaro 2 Bogor.
Dua permata hati itulah yang menjadi motivasinya berniaga di Jakarta.
Walapun anak istri menanti setia di Bogor tidak menjadi alasannya untuk diam berpangku tangan bahkan Rohim merelakannya untuk berjuang sendiri di Jakarta tinggal di rumah kontrakan di Jalan Jati Rt 001/005 Sungai Bambu Tanjung Priok Jakarta Utara.
Di kampung, Rohim yang mendapat warisan tanah seluas 7 x 14 m2 sudah dibangunnya dari hasil berjualan Soto Bogor di Jakarta pada tahun 2000. Itulah kebanggaannya, sehingga ia rela menjadi pejuang kuliner Soto Bogoe.
Dulu toge goreng pernah menjadi bisnis kuliner andalannya memenuhi nafkah keluarga. Tetapintige goreng belum dapat memberikan harapan kemajuan. Akhirnya ia putuskan untuk berbiaga Soto Bogor. Hanya itulah yang dapat ia lakukan karena ia hanya tamatan SD yang ia selesaikan di SD Hambaro 2 Bogor. Ia tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya karena orangtuanya sudah sepuh dan hanyalah buruh tani.
Ayah Rohim, Bakri meninggal umur 60 tahun dan sang bunda Arna telah wafat di usia 65 tahun.
Rohim anak bungsu dari 6 bersaudara dengan urutan berikutb : Nurhayati, Mariah, Upit, Kotib, Ani dan Rohim.
Pilihan Soto Bogor sebagai salah satu kuliner andalan Rohim untuk sumber pendapatan terkait dengan ikatan emosional dan rasa kebanggaan terhadap kuliner khasanah kekayaan nusantara. Ternyata Soto Bogor cukup memberikan harapan baginya. Sehari-hari Rohim mangkal berjualan dengan gerobak Soto Bogornya di Jalan Edam Enggano Tg Priok dari pukul 11.00 – 14.00 wib di luar jam itu dia berkeliling di wilayah Tanjung Priok.
Meski pendapatan sehari berkisar Rp. 340.000.- hingga Rp. 680.000.- karena harga satu mangkok/porsi soto Bogor dijual dengan harga Rp. 17.000.-. Hasil yang biasa dibawa pulang ke keluarganya di Bogoe setiap 2 minggu sekali sekitar Rp 1.000.000.- Memang kurang dari upah minimum propinsi.
Ketika ditanya apakah ada bantuan pemerintah menssuportnya sebagai pedagang? Rohim berkata, “Saya belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah, baik pengetahuan kewirausahaan ataupun modal. Harapan saya agar pemerintah dapat membantu kami misalnya diberi tempat berusaha, pengetahuan cara berdagang dan modal guna meningkatkan pendapatan serta mendapat bantuan belanja bahan pokok murah,” ungkapnya dengan penuh harapan.
( Johan Sopaheluwakan / Sarwini )