Oleh: Pdt. Dr. Arnold Tindas
Latar Belakang Masalah
Pengakuan dan penerimaan Gereja-gereja tertentu terhadap perilaku hidup LGBT telah menjadi permasalahan yang menggoncang iman umat Kristiani, secara khusus kaum Protestan Injili, dan karena itu membutuhkan pencerahan teologis. Permasalahan karena hakekat: Lesbian yang orientasi seksual seorang perempuan tapi hanya mempunyai hasrat terhadap sesama perempuan. Gay yang orientasi seksual seorang pria tapi hanya mempunyai hasrat terhadap sesama pria. Bisex yang orientasi sexsual seorang pria atau wanita yang menyukai dua jenis kelamin baik pria maupun wanita. Transgender yang orientasi seksual seorang pria atau wanita dengan mengidentifikasi dirinya menyerupai pria atau wanita. Fenomena masalah hidup kaum LGBT merambat tak terkendali memasuki masyarakat bangsa-bangsa dengan mudah melalui kendaraan hak asasi manusia (HAM) atau kesetaraan hidup, dan tak terkecuali warga gereja dan bahkan institusi gereja tertentu terkena imbasnya. LGBT, yang merupakan akronim dari Lesbian Gay Biseksual Transgender, menjadi permasalahan bagi umat Kristiani karena gereja-gereja tertentu membenarkan dan memperjuangkan secara legal hukum pernikahan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis antara dua orang yang memiliki jenis kelamin atau identitas gender yang sama, pada zaman modern ini, setidaknya sampai Agustus 2013, telah diberlakukan di lima belas Negara. Negara-negara tersebut adalah Afrika Selatan, Argentina, Belanda, Belgia, Brazil, Denmark, Islandia, Kanada, Norwegia, Perancis, Portugal, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, dan Uruguay. Beberapa yurisdiksi sub-nasional di Meksiko dan Amerika Serikat, mengizinkan pasangan sesama jenis untuk menikah; bahkan sebuah undang-undang telah disahkan di Inggris dan Wales berlaku pada tahun 2014. Polling di berbagai negara menunjukkan adanya dukungan yang terus meningkat terhadap hukum pernikahan sesama jenis di seluruh ras, etnis, usia, agama, afiliasi politik, dan status sosial ekonomi. Gereja-gereja tertentu mulai mengadakan pemberkatan nikah bagi sesama jenis. Keuskupan Komuni Anglikan Global cabang Amerika Serikat (AS) sejak tahun 2003 mengijinkan pendeta mereka memberkati pernikahan sesama jenis. Keuskupan New Hampshire sejak 2003 itu bahkan dipimpin oleh Uskup Gene Robinson, yang hidup terang-terangan dengan pasangan prianya. Kelompok-kelompok Protestan tertentu, seperti United Church of Christ dan Gereja Presbiterian US mengijinkan pernikahan sesama jenis pada semua jemaat mereka. Gereja Lutheran Evangelis di Amerika mengijinkan jemaat individual memutuskan upacara pernikahan. Gereja Prebyterian terbesar dan paling berpengaruh di AS, melakukan pemungutan suara pada tanggal 19 Juni 2014, yang hasilnya, sebagian besar, 61% pemilik hak suara setuju pendetanya memberkati pernikahan sesama jenis. Pemungutan suara juga menunjukkan 71% mendukung Sinode Gereja untuk mengubah definisi pernikahan, yaitu seorang pria dan seorang wanita, diganti definisi menjadi dua orang setiap jenis kelamin untuk mengijinkan adanya pernikahan sesama jenis.Gereja Hilsong AS juga dicurigai berposisi netral terhadap LGBT, karena pendeta senior Hillsong, Brian Houston pada konferensi pers di New York City, tanggal 16 Oktober 2014, mengusulkan ada “cara ketiga” yang harus ditambahkan pada sikap gereja selama ini yang hanya punya 2 cara, “ya‟ dan “tidak‟ terhadap kaum Gay. Pendeta Hillsong, Carl Lentz, mengungkapkan bahwa Tuhan Yesus dalam pelayananNya di dunia tidak mempersoalkan kaum homoseksual meskipun pada jaman itu terdapat banyak kaum gay. Ia mengamati gereja-gereja besar sekarang identik dengan kaum muda, dan di antaranya banyak kaum gay bergereja setiap minggu. Pasangan gay, Josh Canfield dan Reed Kelly, turut melayani dalam sebuah ibadah team paduan suara di Hillsong New York. Canfield merupakan Choir Director paduan suara di gereja tersebut. Matthew Vines, seorang evangelis muda gay, mendesak kaum Injili untuk terbuka terhadap kaum gay dan lesbian. Pengakuan dan penerimaan gereja-gereja tertentu terhadap LGBT tidak terlepas dari pemahaman teologis pemuka gereja, yang memandang Alkitab hanya sebagai dokumen gerejawi dan bukan firman Allah yang berotoritas.
Kaum Protestan Injili mendasarkan seluruh pemikiran teologisnya pada Alkitab, karena itu Perspektif Teologi Injili tentang LGBT dalam tulisan ini semata-mata dikaji dari teks Alkitab, Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
Penelusuran dan pengungkapan fakta Alkitab akan mengungkapkan hakikat eksistensi, karakteristik dan kecenderungan perilaku manusia, dalam hai ini kaum LGBT, sebagai berikut:
1. Kaum LGBT adalah Manusia Ciptaan Allah yang Menyimpang dari Kebenaran
Data Alkitab memaparkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah. Data pertama yang terungkap dalam Alkitab dapat dilihat pada teks Kejadian 1:27-28, yang tertulis demikian:
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…”
Teks tersebut mengungkapkan kebenaran-kebenaran berikut:
1) Manusia adalah ciptaan Allah, dan karena itu menolak teori atheistic evolution, yang memandang manusia sebagai hasil proses seleksi alami secara konstan ; dantheistic evolution, yang memandang manusia berevolusi secara gradual dari lower form, dan dalam pengawasan Allah, bukan jadi dalam ciptaan.
2) Manusia diciptakan menurut gambar Allah, yang psychologically berpribadi, memiliki kesegambaran intellect, emotion dan will. Ciptaan lainnya tidak menurut gambar Allah karena tidak memiliki intellect.Kesegambaran dengan Allah itu non-physically, karena Allah itu Roh (Yoh. 4:24).
3) Manusia diciptakan Allah, yang physically,hanya dalam dua jenis kelamin, genderlaki-laki dan gender perempuan, tidak ada gender ketiga dan seterusnya.Tuhan Yesus mengakui bahwa manusia itu ciptaan Allah dan hanya dalam gender laki-laki dan perempuan (Matius 19:4).
4) Allah memberkati manusia, ciptaan menurut gambarNya itu, sebagai bukti pengakuan kesempurnaan ciptaan dan pengesahan hasil ciptaanNya itu, sehingga tidak lagi membutuhkan perubahan atau perbaikan, termasuk masalah gender.
5) Allah memberi mandat kepada manusia untuk beranakcucu, bertambah banyak, penuhi dan taklukkan bumi; sehingga hubungan seksual dari dua jenis kelamin harus menghasilkan anak cucu dan banyak manusia, sehingga di segala penjuru bumi akan berpenghuni manusia, laki-laki dan perempuan.
Lima kebenaran tersebut di atas mengungkapkan bahwa orang-orang yang termasuk LGBT adalah sama dengan orang-orang lainnya sebagai ciptaan Allah, tetapi perilaku hidupnya menyimpang dari kebenaran. Mereka adalah manusia ciptaan Allah yang menyimpang dari kebenaran. Mereka bukan orang yang tercipta sebagai LGBT dan tak berdaya hidup sebagai manusia normal. Teori-teori sekular juga mengakui latar belakang seseorang menjadi lesbian, gay, bisex, atau transgender lebih dilihat sebagai penyimpangan seksual atau faktor psikologis dari pada faktor genetik. Dampak dari perkembangan psikologis yang negatif bisa menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau lesbian. Faktor penyebab terjadinya homoseksual yang diakui pada umumnya antara lain adalah: Faktor biologis, berupa gangguan pada otak; faktor psikodinamika, yakni gangguan perkembangan psikoseksual pada masa kecil; faktor sosiokultural, yakni keharusan atau kebiasaan budaya setempat; dan faktor lingkungan yang mendorong melakukan hubungan homoseksual.
Kecenderungan menyimpang dari kebenaran terungkap juga dalam kitab Roma 1 : 26-27, demikian:
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Penyimpangan yang dimaksudkan dalam teks tersebut di atas terjadi pada perempuan dan juga laki-laki, karena “mengantikan persetubuhan yang wajar… melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki.” Kesegambaran manusia dengan Allah dalam intellect, emotion dan will, menuntut manusia untuk mengembangkan dirinya dan menyelenggarakan dengan bebas dan penuh tanggung jawab mandat beranak cucu, bertambah banyak, penuh dan taklukkan bumi. Manusia cenderung menyimpang dari kebenaran karena menyalahgunakan kebebasan berpikir, berperasaan dan berkehendak, dan karena itu jugalah manusia jatuh ke dalam dosa.
Kecenderungan manusia menyimpang dari kebenaran karena secara intellect: dibutakan ( 2 Kor. 4:4), bejat dan tercela (Rm 1:28), menjadi gelap (Ef.4:18), secara emotion: merosot dan tercemar (Rm 1:21, 24,26; Tit. 1:15); dan secara will: diperbudak oleh dosa sehingga bertentangan dengan kehendak Allah (Rm. 6:20; 7:20).
Teologi kontemporer, yang mendasarkan pemikirannya dari kritik historis, menolak fakta Alkitab bahwa manusia adalah ciptaan Allah, dan memandang Kejadian 1:27-28 hanya sebagai mitos. Adam dan Hawa bukan dua sosok manusia yang pernah hidup dalam sejarah, melainkan dua tokoh mitologis. Teologi kontemporer mengadopsi atheistic evolution dan mengembangkan theistic evolution, yang mengajarkan bahwa manusia adalah hasil proses seleksi alami secara konstan dan berevolusi secara gradual dari lower form dalam control Allah. Paham theistic evolution memberi pengaruh pada pembenaran, penerimaan dan pengakuan gereja terhadap LGBT, karena hakikat LGBT dipandang sebagai hasil proses seleksi alami secara konstan dan berevolusi secara gradual dari lower form, bukan manusia yang berperilaku menyimpang dari kebenaran. Keberadaan diri seseorang, yang terjadi secara alami itu merupakan nasib yang harus diterima, diakui, diberi kesetaraan hidup dan hak asasi sesuai intellect, emotion dan will mereka. Kesetaraan dan hak tersebut menyentuh sampai pada pengambilan keputusan untuk berperilaku homoseksual dan menikah dengan sesama jenis kelamin, dan untuk itu gereja selayaknya memberi pengesahan ritual gerejani. Teologi Injili mengakui teks Kejadian 1:27-28, sebagaimana juga 66 kitab Alkitab, sebagai firman Allah yang tanpa sallah (inerrancy), yang meskipun ditulis oleh manusia (human authorship) tetapi adalah wahyu dan inspirasi ilahi (divine authorship).
Perspektif teologi Injili menolak pendekatan mitologis teks Kejadian 1:27-28 dan menolak argumentasi antropologi yang atheistic evolution dan theistic evolution. Kaum LGBT, dalam perspektif teologi Injili, dilihat sebagai manusia ciptaan Allah yang menyimpang dari kebenaran, dan karena itu membutuhkan pembaruan hidup.
2. Kaum LGBT adalah Manusia Berdosa yang Membutuhkan Pembaruan Hidup
Kaum LGBT bukan manusia berdosa yang harus ditolak, disingkirkan dan diasingkan; melainkan manusia berdosa yang harus dituntun kepada pembaruan hidup, pertobatan, pengampunan dosa atau keselamatan. Teks Alkitab yang mengungkapkan pentingnya pembaruan hidup tertulis dalam kitab Roma 6:16-23, demikian:
“Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran? Tetapi syukurlah kepada Allah! Dahulu memang kamu hamba dosa, tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu. Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran. Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan. Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran. Dan buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu menyebabkan kamu merasa malu sekarang, karena kesudahansemuanya itu ialah kematian. Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal. Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”
Teks tersebut mengungkapkan kebenaran-kebenaran berikut:
1)Seorang berdosa berada dalam kuasa dan keterikatan dosa dan menuju pada kematian kekal. 2) Seorang berdosa memerlukan pembebasan atau kemerdekaan dari dosa.
3) Seorang berdosa memerlukan pembaruan atau perubahan hidup dari kecenderungan hidup cemar dan durhaka dan beralih kepada hidup benar dan kudus.
4) Seorang berdosa memerlukan karunia Allah agar terbebas dari hukuman maut dan memperoleh hidup kekal dalam Kristus Yesus.
Empat kebenaran tersebut di atas mengungkapkan bahwa orang-orang yang termasuk LGBT adalah sama dengan orang-orang berdosa lainnya, karena menyimpang dari kebenaran, dan karena itu dituntut adanya pembaruan. Mereka akan menuju kematian kekal jika terus membiarkan diri terikat dan diperhamba dengan perilaku LGBT. Mereka harus menyadari dirinya yang sedang dalam kehidupan cemar dan durhaka di hadapan Tuhan, sehingga mereka harus bersedia membarui diri untuk hidup benar dan kudus. Mereka memerlukan karunia Allah untuk hidup kekal dalam Yesus Kristus.
3. Kaum LGBT adalah Manusia Berdosa yang Membutuhkan Pelayanan
Kaum LGBT adalah manusia berdosa yang membutuhkan pelayanan, sehingga mereka tidak layak diurapi sebagai pelayan dalam bidang apa pun pada ibadah gereja sebelum mengalami pembaharuan hidup dalam Kristus. Mereka membutuhkan pelayanan untuk membawa pada pembaruan hidup; dan sesudah itu mereka membutuhkan pelayanan untuk dapat bertumbuh dewasa iman. Apabila mereka dapat mencapai tingkat kedewasaan tertentu barulah mereka diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam pelayanan. Teks Alkitab yang mengungkapkan bahwa LGBT adalah manusia berdosa yang membutuhkan pelayanan terdapat pada Efesus 4:16-19, demikian:
“Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih. Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohanyang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran.”
Teks tersebut mengungkapkan kebenaran-kebenaran berikut:
1) Orang berdosa memerlukan pelayanan untuk mengenal Alllah dan dibaharui supaya hidup dekat Allah.
2) Orang yang sudah dibaharui dengan sendirinya menjadi anggota dalam satu kesatuan tubuh Kristus.
3) Setiap anggota menerima pelayanan sesama anggota sehingga terjadi pertumbuhan dan pembangunan iman.
4) Setiap anggota harus menyadari kebobrokan hidup di masa lampau, ketika belum mengalami pembaruan, supaya tidak kembali mengulangi hidup yang cemar.
Kebobrokan hidup di masa lampau terjadi karena tidak mengenal Allah, pikiran sia-sia, pengertian gelap, jauh dari Allah, bodoh, degil hati, perasaan tumpul, hidup dikuasai hawa nafsu, dan berperilaku cemar. Kaum LGBT akan meninggalkan perilaku hidup LGBT apabila mereka sadar akan kebobrokan mereka. Mereka membutuhkan pelayanan supaya mereka tidak lagi berpikiran sia-sia, tidak berpengertian gelap,tajam dalam perasaan, tidak dikuasai hawa nafsu dan tidak berperilaku cemar. Mereka tidak layak diberi bagian dalam pelayanan, karena pelayanan itu dilakukan oleh setiap anggota dalam tubuh Kristus. Meskipun mereka sudah dibarui dalam Tuhan, tapi mereka masih membutuhkan pelayanan yang membawa kepada kedewasaan. Pada tingkat kedewasaan tertentu barulah mereka diberi kepercayaan untuk ambil bagian dalam pelayanan.
Kesimpulan Perspektif Teologi Protestan Injili terhadap LGBT:
Pertama, memandang mereka sebagai manusia ciptaan Allah yang menyimpang dari kebenaran, dalam pengertian bahwa perilaku hidup mereka tidak berkenan kepada Allah, jadi mereka dalam perilaku dosa dan dalam keberadaan manusia berdosa.
Kedua, memandang mereka sebagai manusia bserdosa yang membutuhkan pembaruan hidup, dalam pengertian bahwa gereja tidak boleh membenarkan perilaku LGBT, terlebih pula memberi pengesahan dalam bentuk pemberkatan nikah sesama jenis gender.
Ketiga, memandang mereka sebagai manusia berdosa yang membutuhkan pelayanan, dalam pengertian bahwa gereja tidak boleh mengangkat atau mengurapi mereka untuk menduduki posisi tertentu dalam pelayanan.
Jadi jelas bahwa penerimaan atau penolakan terhadap perilaku kaum LGBT sangat dipengaruhi oleh perspektif teologi yang dianut. Perspektif Teologi Injili menolak perilaku kaum LGBT karena mendasarkan pahamnya semata-mata dari sumber Alkitab, sementara perspektif Teologi Kontemporer menerima perilaku kaum LGBT karena mendasarkan pahamnya pada sumber di luar Alkitab, ilmu pengetahuan dan akal budi. Perbedaan sikap, penerimaan, bahkan perlakuan dari masing-masing denominasi gereja di aras internasional, regional ataupun nasional terhadap Kaum LGBT sangat tergantung pada paham teologi yang dipegang, teologi Injili atau teologi kontemporer, dan pada penerimaan Alkitab, yang diakui firman Allah tanpa salah atau sekedar dokumen sejarah keagamaan agama tertentu.
Demikian tulisan ini disampaikan untuk memberi pencerahan kepada semua pembaca yang selama ini menjadi bingung melihat penerimaan gereja yang berbeda terhadap kaum LGBT. Terima kasih dan Tuhan memberkati kita semua.
Salam,
Pdt. Dr. Arnold Tindas
-Direktur Pascasarjana STT Internasional Harvest
-Ketua Bidang Teologi Badan Pengurus (BP) PASTI
-Anggota Majelis Pertimbangan (Maper) PGLII
-Anggota Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI
-Wakil Ketua Umum DPP Perkumpulan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI)
-Ketua 1 GERKAPPINDO (Gerakan Kasih Pendeta & Pengusaha di Indonesia)