Oleh: Budhy Munawar Rachman
(Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?)
Tulisan Denny JA, yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?” dan tersebar di media sosial, sangat menarik perhatian. Pada dasarnya saya menyetujui pandangan utama dari Denny JA bahwa gagasan NKRI Bersyariah memerlukan proposal yang jelas, terutama tentang pengertian Syariah itu sendiri.
Apa yang dikemukakan oleh Denny JA sepenuhnya saya setujui. Tulisan ini ingin memperkuat gagasan tersebut dengan melihat dari perspektif yang berbeda. Terutama melihat bahaya-bahaya gagasan bersyariah di masa kontemporer ini, karena tidak berkembangnya pemikiran tentang Syariah sepanjang masa belakangan ini, dan menegapa perspektif Pancasila adalah solusi.
*Syariah di Ruang Privat dan Sekularisme di Ruang Publik*
Kata ‘Syariah’ bagi kalangan muslim adalah kata ‘Suci.’ Dalam sejarahnya ada banyak pemaknaan kata Syariah. Di dalam Al-Qur’an kata ‘Syariah’ berarti Agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa Syariat yang diturunkan pada semua Nabi adalah Syariat yang sama. Oleh karena itu, ajaran semua agama pada dasarnya adalah sama pada intinya. Dan inti itu dalam Al-Qur’an disebut dengan Syariah.
Dalam praktiknya, umat Islam memaknai Syariah sebagai sesuatu yang dalam ilmu tradisional Islam disebut fiqih, yaitu hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Sepanjang sejarah Islam, kata Syariah telah dimaknai dengan Fiqih ini. Sehingga menimbulkan kekaburan makna tentang Syariah, yang seharusnya mendalami soal-soal terkait kemaslahatan kehidupan manusia, bukan hukum-hukum positif yang mengatur kehidupan manusia secara konkret, seperti soal haram–halalnya sesuatu.
Oleh karena Syariah terkait dengan soal kemaslahatan manusia, maka fiqih harus terus tumbuh mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia itu sendiri. Tapi sayangnya fiqih telah berhenti berkembang, yang sekarang mapan dengan lima mazhab fiqih, begitu juga dengan fiqih politik.
Oleh karena itu, pemikiran NKRI Bersyariah sudah bisa dipastikan tidak mempunyai landasan pemikiran, karena fiqih politik dan fiqih mazhab tidak berkembang lagi dalam sejarah Islam. Sehingga ujung-ujungnya penerapan NKRI bersyariat akan mempunyai masalah jika dibandingkan dengan Pancasila atau demokrasi.
Salah satu masalahnya adalah akan mendiskriminasi perempuan dan nonmuslim, seperti telah banyak ditunjukkan oleh studi-studi belakangan ini. Misalnya, dalam studi Abdullah An-Naim dengan bukunya Dekonstruksi Syariah, dan studi-studi lain termasuk studi mengenai penerapan Syariah di Aceh.
Hal ini membuat dilema terhadap kaum Muslim. Yaitu, bagaimana Syariat harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan sosial dan politik. Dilema yang sangat sulit, dan dalam dilema inilah gagasan NKRI Bersyariah muncul, karena Syariah harus diterapkan dalam semua segi kehidupan termasuk ber¬NKRI.
*Syariah di Ruang Privat dan Keluarga/komunitas*
Menghadapi dilema ini, saya mengusulkan solusi bahwa bagi kalangan Muslim dapat menerapkan Syariah di ruang privat dan keluarga/komunitas. Dan Pancasila di ruang publik. Berikut argumennya: mulai dari argumen, bahwa penerapan Pancasila atau NKRI-ber-Pancasila adalah sudah sesuai dengan syariat Islam, bahkan agama-agama.
*Pancasila: Rumah Bertuhan yang Manusiawi*
“Aku ingin membentuk suatu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya, yang diterima oleh saudara-saudara beragama Islam, yang beragama Kristen, Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu Bali, dan saudara-saudara agama lain, yang bisa diterima oleh saudara-saudara yang adat istiadatnya begitu, dan yang bisa diterima oleh sekalian Saudara.” (Soekarno, September 1955).
Problem Pancasila adalah terlalu surplus ucapan dan terlalu minus tindakan, dan inilah yang menimbulkan keraguan banyak orang akan ‘kesaktian nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-hari”.
Demikian salah satu kekhawatiran Yudi Latif, sehingga melahirkan dua karyanya yang luar biasa: Pertama, Negara Paripurna (2012), yang diniatkan sebagai paradigma pengetahuan tentang Pancasila yang distrukturkan dalam kerangka ilmu, diposisikan dalam pertarungan pemikiran dan ideologi dunia yang terus relevan, serta menekankan aspek presisi melalui pendekatan kognitif.
Karya ini mendorong rasa percaya diri bahwa Pancasila bukan sekadar dasar Negara yang dibuat terburu-buru, melainkan sejenis “jalan ketiga yang menyelamatkan” di antara kemajemukan masyarakat Indonesia.
Kedua, Mata Air Keteladanan (2014), sebagai buku sumber teladan yang lebih afektif dan konatif, menekankan aspek impresi (kesan yang menggugah penghayatan dan pengamalan). Menegaskan Pancasila sebagai sumber nilai yang melahirkan karakter Pancasilais, yang berasal dari nilai-nilai keteladanan para pendiri bangsa yang ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif; moral is not taught but caught.
Nilai-nilai Pancasila bukan produk gagasan, melainkan saripati nilai dari perilaku para pendiri bangsa ini. Ia misalnya, memeras masing-masing dari kelima sila menjadi 1 nilai utama: (1) sila pertama menjadi “Ketuhanan”; (2) sila kedua menjadi “Kemanusiaan”; (3) sila ketiga menjadi “Persatuan”, (4) sila keempat menjadi “Kerakyatan”, dan (5) sila kelima menjadi “Keadilan”.
Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai itu “sudah ada” dalam perilaku Manusia Indonesia. Ia tinggal dipupuk, diarusutamakan, sehingga tumbuh menjadi nilai bersama, seraya menghasilkan kehidupan sebagaimana dicita-citakan Pancasila.
*Pancasila Sebagai Rumah Agama-Agama*
Sila pertama adalah sila yang paling hangat dibicarakan sampai saat ini. Pangkalnya bermula dari konsep pemisahan atau penyatuan antara agama dan Negara. Sejak perumusan dasar Negara, perdebatan itu muncul. Melalui kedua buku tersebut, ditegaskan bahwa perdebatan bahwa setiap pendiri bangsa menginginkan Negara Indonesia berlandaskan ketuhanan, bahkan Tan Malaka (sebagai wakil dari Partai Komunis mensyaratkan perlunya agama atau Ketuhanan sebagai basis pergerakan).
Jauh-jauh hari di tahun 1928, para jenius bangsa telah mengemukakan kerumitan hubungan antara agama dan Negara ini. Soekarno dan Agus Salim pernah menulis gagasan ini.
“Nasionalisme kita adalah Nasionalisme ketimuran dan sekali-kali bukanlah Nasionalisme kebaratan yang menurut perkataan CR Das adalah suatu Nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu Nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung rugi. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan” dan membuat kita hidup dalam roh.” (Soekarno, Suluh Indonesia, 12 Agustus 1928).
Soekarno menegaskan Tuhan harus tetap ada dalam nasionalisme (sebagai bentuk negara yang tidak berdasarkan agama). Nasionalisme Indonesia harus menjadi “perkakasnya Tuhan” yang “hidup dalam roh.” Hal serupa dikemukakan oleh Agus Salim:
“Sebab benda dan rupa dunia habis gunanya, apabila nyawa sudah tiada. Maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menunjukkan cita-cita yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah SWT.” (Agus Salim, 1928, dalam Koran Fajar Asia).
Saat perumusan dasar negara, tanggal 31 Mei 1945, perdebatan menarik antara Negara berbasis Islam atau Kesatuan muncul lebih deras. Pada sisi Islam, salah satunya terdapat Ki Bagoes Hadikoesoema yang berhadapan dengan Dr. Soepomo dari kubu nasionalis.
Ki Bagoes Hadikoesoema mengemukakan dengan tegas bahwa “agama merupakan pangkal persatuan”, “Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama”, “Islam tidak bertentangan bahkan sesuai dengan kebangsaan kita”, “Islam merupakan ajaran lengkap yang menyuruh masyarakat didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam”, dan “selama periode kolonial kaum imperialis senantiasa berusaha melenyapkan agama Islam dan hukum Islam”.
Pada pihak lain, Soepomo menyatakan ihwal perlunya kesatuan semua orang di Indonesia. Mendirikan Negara Islam, bagi Soepomo, membuat agama-agama yang kecil, tidak bisa mempersatukan dirinya dengan Negara, karena itu “Negara Kesatuan” lebih dipilih agar semuanya bisa merasa memiliki.
Walaupun demikian, “Negara nasional yang bersatu”, ujar Soepomo, “tidak berarti areligius.” Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.”
Ada perdebatan, sekaligus ada upaya menemukan jalan tengah: bukan Negara Agama, namun Negara tanpa agama. Semua jenius bangsa ini menyadari tingkat kerumitan masalah ini, Ketuhanan (sebagai simbol dari agama) harus tetap menjadi roh kehidupan bernegara, namun bukan berarti sebagai Negara Agama.
Mohammad Hatta mengemukakan gagasan sekularisasi yang menarik, “bukan perpisahan antara agama dan Negara tetapi perpisahan antara urusan agama dan urusan Negara”, “Kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara ‘agama’ dan ‘negara’, melainkan mendirikan Negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas Negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni” (Mohammad Hatta, dalam “Agama dan Negara”, 1945).
Masing-masing pemeluk dan organisasi agama masih diberi kebebasan mengelola urusan agama dan keyakinannya. Negara tidak boleh ikut campur, namun bukan berarti Indonesia adalah Negara agama. Gagasan serupa secara lebih artikulatif dikemukakan Soekarno:
“Bukan saja Bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia, ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan, hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan.” (Soekarno, uraian prinsip Ketuhanan, 2012: 74).
Frasa “Bangsa Indonesia ber-Tuhan” atau dalam wacana sekularisme “Negara berTuhan” adalah konsep jalan tengah dari “Negara-Agama” versus “Negara-tanpa-Agama”. Indonesia bukan Negara Agama, tetapi Negara ber-Tuhan, demikian kira-kira jalan tengah yang dihasilkan para jenius bangsa, yang tidak bisa membayangkan apabila ruang publik Indonesia hampa Tuhan.
Sebagai “Bangsa yang ber-Tuhan”, Indonesia mengizinkan adanya pelbagai agama, bahkan mendorong semua rakyat Indonesia menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Agar tidak terjadi pertentangan antaragama; yang pada dirinya memiliki klaim lebih benar seraya menganggap agama lain tidak benar, cara ber-Tuhan ini diselenggarakan secara berkebudayaan. Ketuhanan yang berkebudayaan oleh Soekarno diterjemahkan sebagai “dengan tiada egoisme-agama,” Hatta menyebutnya sebagai “pemisahan urusan agama dan urusan Negara, bukan pemisahan agama dan Negara.”
*Toleransi Kembar*
Kedua rumusan tersebut ditafsirkan sebagai “toleransi kembar,” yakni “Situasi ketika institusi agama menyadari batas otoritasnya, untuk kemudian mengembangkan toleransi terhadap fungsinya masing-masing.” Karena itu, ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai ketuhanan yang positif, yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, serta memuliakan keadilan dan persaudaraan.
Sebab hakikatnya, setiap agama memiliki kepedulian bersama dalam persoalan publik yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan, dan keberadaban. Maka setiap agama harus mencari titik temu dalam semangat gotong-royong, untuk membentuk semacam “civic religion” bagi pengelolaan ruang publik bersama yang manusiawi.
Dengan kata lain, toleransi kembar mendorong semua pemeluk agama menjalankan agamanya secara taat, sesuai dengan ajarannya masing-masing. Namun, di ruang publik semuanya bersatu mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik, dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan, dan keadilan sosial. Sebagaimana pidato Soekarno sebagai bukti implementasi “ketuhanan yang berkebudayaan”:
“Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh, Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden, rakyat beragama Islam. Terbang, lagi kapal udaraku, turun di Siborang-borong daerah Batak. Rakyat Bayak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Presiden Republik Indonesia, agamanya Kristen.” (Kongres Rakyat Jawa Timur, 24 September 1955).
Toleransi Kembar ini didasari oleh welas asih, karena “saling menolong dan membantu serta saling mencintai itulah dasar segala agama,” tulis RA Kartini. Prinsip Welas Asih inilah yang diperjuangkan KH Ahmad Dahlan saat ia berulangkali membaca surat al-Mâ’ūn, agar jemaah Muhammadiyah “mencari orang yang paling miskin di sekitarnya, kemudian diminta memandikannya dan menyuapinya.”
Penutup
Perdebatan negara agama, negara sekular, ataupun negera bersyariah telah selesai dengan jalan tengah “Negara ber-Tuhan.” Pelaksanaan beragama di Negara ber-Tuhan didasarkan pada kesadaran berkebudayaan yang tidak didasarkan “egoisme-agama.” Ketuhanan yang berkebudayaan itu adalah cara beragama yang “memandang sama pada semua makhluk Tuhan,” sehingga muncul sikap “harga-menghargai”, “saling menolong dan membantu serta saling mencintai.” Sebagaimana dikemukakan oleh Hatta dengan bernas:
“Masing-masing golongan bisa memahami arti Ketuhanan Yag Maha Esa itu menurut paham agamanya. Tetapi, nyatalah bahwa inti dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu ialah penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Jikalau di antara manusia dengan manusia tidak ada harga menghargai, maka tidak bisa dicapai satu susunan dunia. Di antara manusia ada yang kaya ada yang miskin, ada yang berbeda kecakapannya, ada yang bodoh ada yang pintar, tetapi sebagai makhluk Tuhan ia dipandang sama.” (Hatta, 1977).
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ketuhanan sekaligus nilai kebangsaan, atau –meminjam istilah Soekarno—menjadi “Negara sebagai perkakas dari Tuhan” dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik; kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Dan, Pancasila adalah Jalan-Ketiga-yang-Menyelamatkan di antara kemajemukan pemikiran, ideologi, keyakinan, dan kepentingan rakyat bangsa Indonesia saat ini.
Melalui tanggapan ini, saya menyetujui sepenuhnya gagasan Denny JA. Bahkan dengan tekanan lebih kuat bahwa panerapan NKRI-bersyariah sengat berbahaya! Bukan hanya bagi warganegara Indonesia yang majemuk, tapi juga bagi NKRI! ***
*Budhy Munawar-Rachman adalah salah seorang pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS). Dosen Pancasila Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Jakarta.
-000-
Tulisan Denny JA soal NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi dapat dibaca di https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1919263768169763/
Tulisan lain yang menanggapi tulisan Denny JA:
1. Nurul H Maarif: Islam Mementingkan Sasaran, Bukan Sarana, dapat dibaca di https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1945081572254649/
2. E. Fernando M Manulang: Ruang Publik Yang Manusiawi Bersama Pancasila: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1946368205459319/
3. Al Chaidar: Islam Simbolik dan Islam Substantif: Problema Nilai Islamisitas dan Politik Indonesia, link:
https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1947652021997604/
4. Airlangga Pribadi Kusman Ph.D: NKRI Bersyariah dan Ruang Publik Inklusif, Dalam Pusaran Kekuasaan Indonesia Pasca Otoritarianisme, https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1949155525180587/
5. Trisno S Susanto: Visi Ketuhanan dan Ruang Publik Yang Manusiawi:
https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1950601688369304/
6. Rumadi Ahmad: Apakah Indonesia Kurang Syari’i? https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1952200554876084/
7. Asvi Warman Adam: Apalagi Yang Mau Dintuntut Umat Islam? https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1953823401380466/
8. Kastorius Sinaga: NKRI Bersyariah atau Eksploitasi Simbol Agama: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1955066861256120/
9. Adian Husaini: NKRI ADIL DAN BERADAB, https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1958072404288899/
10. AE Priyono: NKRI Bersyariah, Piagam Jakarta dan Praksis Wahabis
https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1959384780824328/
11. Dina Y Sulaeman: Menguji Konsep NKRI Bersyariah dalam Politik Global: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1960822444013895/
12. Abdul Moqsith Ghazali: Mengarahkan NKRI Bersyariah
https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1956554587774014/
13. Komaruddin Hidayat: Geneologi Indonesia https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1962117623884377/
14. I Gede Joni Suhartawan: Risiko “Berbaju Agama” dalam Ruang Publik yang Majemuk https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1964832440279562/
15. Husain Heriyanto: Istilah NKRI Bersyariah adalah Sesat Nalar dan Distorsi Islam https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1966143003481839/