Oleh: Jerry Rudolf Sirait.
Merdeka! Tentu kita menjawab pekikan itu dengan memekik “merdeka!”
Merdeka? Ya sudah merdeka. 73 tahun yang lalu Indonesia Raya sudah merdeka. Sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tgl 17 Agustus 1945 oleh Bangsa Indonesia yang diwakili Sukarno Hatta.
Hanya saja, merdeka itu masih bisa diperdebatkan. Merdeka berarti berdaulat@ Apakah bangsa ini sudah berdaulat?
Merdeka berarti bebas dari kebodohan! Apakah bangsa ini sudah bebas dari kebodohan?
Merdeka berarti kemiskinan dientaskan! Apakah bangsa ini sudah bebas dari kemiskinan?
Merdeka berarti lepas dari keterbelakang/ketertinggalan! Apakah bangsa ini sudah maju/modern?
Merdeka tidak ada lagi ketakutan! Apakah bangsa ini sudah lepas dari patologi sosial yang bermacam-macam, yang menakutkan itu?
Supaya bangsa ini merdeka dan dapat mengatasi kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan patologi sosial maka Proklamasi mengamanatkan agar
Negara melakukan upaya pencerdasan yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “mensejahterakan rakyat”. Salah satu bentuk/cara upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sekolah. Sekolah yang menyiapkan peserta didik untuk cerdas paripurna, mampu mengatasi persoalan kekinian dan pada masa depan.
Tunggu dulu! Sekolah sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Lembaga-lembaga sosial dan keagamaan sudah menyelenggarakan sekolah. Di luar sekolah yang diselenggarakan penjajah, sudah ada lembaga-lembaga sosial dan keagamaan yang menyelenggarakan sekolah. Katakanlah yang diselenggarakan Tamansiswa, Muhammadiyah, NU, Katolik dan Protestan. Konon kabarnya pada tahun 1600-an sudah ada sekolah yang diselenggarakan oleh warga masyarakat di Nusantara bagian timur dan pada tahun 1800-an sudah demikian halnya di Tapanuli. Sangat disayangkan, ada yang mengatakannya atas prakarsa penjajah sementara pengalaman empirik mereka seringkali “diganggu/dizolimi” oleh penjajah, katakanlah VOC. Catatan sejarah demikian. Fakta historis itu diungkapkan Dr. H.A. Fathoni Rodli, M.Pd., pada suatu kunjungan kerja di Kupang pada waktu lalu.
Terlepas dari praduga keliru demikian, Sekolah-sekolah Swasta yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sudah ada dan aktif sewaktu masa penjajahan yang bukan Sekolahnya Penjajah. Bahkan Sekolah-sekolah Swasta, termasuk madrasah, pesantren dan seminarium pada masa itu sudah menjadi pusat-pusat perjuangan.
Selain menjadi pusat-pusat perjuangan, Sekolah-sekolah Swasta sudah mencerdaskan warga masyarakat, menyiapkan cerdik cendekia. Merekalah yang kemudian berjuang dan pada akhirnya memenangkan perjuangan sampai memperoleh kemerdekaan: Indonesia Raya, merdeka, merdeka! Andil Sekolah-sekolah Swasta tidaklah kecil di dalam kerangka memerdekakan bangsa ini sampai pada mengisi kemerdekaan.
Memang mesti diakui bahwa tidak semua Sekolah-sekolah Swasta yang ada sekarang ini sudah ada di masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan ada di antaranya yang benar-benar “industri pendidikan” dengan mengedepankan kualitas. Tentu idealismenya tidak semua sama seperti zaman dahulu itu, benar-benar pengabdian dan pelayanan, sungguh-sungguh upaya memerdekakan. Dan mereka tetap dinamai Sekolah Swasta!
Ya, di masa-masa kemerdekaan, pernah Pemerintah amat peduli pada Sekolah-sekolah Swasta sampai-sampai mendirikan satu direktorat untuk mengurus Sekolah-sekolah Swasta. Kemudian setelah Negara sudah kuat, kepedulian terhadap Sekolah-sekolah Swasta berkurang. Karena sudah mampu mendirikan Sekolah-sekolah Negeri di mana Pemerintah suka. Atas nama “kesetaraan Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta” dibubarkanlah Direktorat Sekolah Swasta.
UU Sisdiknas memang mengamanatkan tidak ada lagi dikotomi Negeri dan Swasta. Perlakuan diskriminatif terhadap Sekolah Swasta tidak dibolehkan. Ideal memang!
Tetapi yang terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Jauh dari rumusan di atas. Begitu banyak regulasi dan kebijakan Pemerintah yang merugikan Sekolah-sekolah Swasta. Akibatnya sudah ratusan kalau bukan ribuan Sekolah Sewasta yang bubar sejak awal tahun 2000-an. Termasuk skibat Peraturan Pemerintah mengenai PPDB yang tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh Pemda dan yang masih menempatkan Sekolah Swasta di luar sistem.
Ya, jika kawan-kawan merayakan HUT Proklamasi dengan sukcita tetapi saya dan sebagian besar kawan-kawan seperjuangan penyelenggara dan pengelola Sekolah Swasta tidaklah demikian. Bayang-bayang madesu (masa depan suram) semakin menghantui pikiran. Bila kami turut memekikkan kata “merdeka” mesti selalu dilanjutkan dengan kata “tetapi”. Merdeka, tetapi …!
Saya jadi teringat jasmerahnya Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Katanya ungkapan itu pertama sekali dari Presiden AS, Presiden Abraham Lincoln. Ya, janganlah bangsa ini, janganlah Pemerintah melupakan keikut-sertaan Sekolah-sekolah sebagai pusat-pusat perjuangan dan yang mendidik cerdik pandai memperjuangkan dan memerdekakan, lalu mengisi kemerdekaan. Janganlah ada pihak yang merampas hak hidup Sekolah-sekolah Swasta di republik ini. Jika benar-benar sudah merdeka. Merdeka!
Jakarta, 17 Agustus 2018
Refleksi HUT Proklamasi
Sekretaris Jenderal BMPS
(Badan Musyawarah Perguruan Swasta),
Jerry Rudolf Sirait.