Oleh: Zuhairi Misrawi
Ada ungkapan yang sangat populer di Timur-Tengah dan dunia Islam pada umumnya, “Carilah ilmu walaupun di negeri China.” Ungkapan ini juga sangat populer di pesantren-pesantren. Di masa lalu, hubungan antara Timur-Tengah dan China sangatlah kuat, terutama di sektor perdagangan yang kemudian berperan dalam penyebaran dakwah Islam sejak masa-masa awal Islam. Bahkan ada yang berpandangan bahwa penyebaran Islam ke kawasan Asia yang lain tak luput dari eksistensi Islam di China yang umurnya sudah mencapai lebih seribu tahun.
Kini genderang akselerasi kerja sama Timur-Tengah dan China terus ditabuh bersamaan dengan kemajuan China dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam delapan tahun terakhir, negara-negara Timur-Tengah semakin mengukuhkan kerja sama tersebut, bahkan terlihat semakin erat.
Dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri dalam Forum Kerja Sama Dunia Arab dan China yang digelar di Beijing yang dihadiri oleh 18 Menteri Luar Negeri dari kawasan Timur-Tengah pada awal Juli disepakati kerja sama dalam tiga hal. Yakni, sektor energi, impor barang-barang murah produk China, dan sektor teknologi. Timur-Tengah mulai melirik China sebagai aktor penting dalam pengembangan energi nuklir, energi terbarukan, dan siber.
Menurut Xi Jinping, hubungan antara China dan Timur-Tengah bisa dilacak pada 60 tahun silam dalam Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung. China mendukung penuh perjuangan negara-negara Arab dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Setelah itu, negara-negara Arab juga menjadi pendukung penuh keanggotaan China di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara-negara Arab merupakan yang pertama kali mengulurkan bantuan ke China di saat terjadi musibah gempa bumi yang sangat dahsyat.
Secara umum hubungan antara negara-negara Arab dan China berjalan secara inklusif, dialogis, bahkan tanpa kecurigaan dan konflik. Kita hampir tidak pernah melihat konfrontasi antara negara-negara Arab dan China. Padahal mereka mempunyai perbedaan yang sangat mencolok dari segi ideologi, sistem sosial, agama, tradisi, dan kebudayaan.
Maka dari itu, menurut Xi Jinping, tidak adanya masalah yang mengganjal antara China dan negara-negara Arab akan mempermulus ambisi Jalur Sutera yang sedang dibangun oleh China, terutama jalur maritim yang menjadikan Timur-Tengah sebagai salah satu kawasan yang sangat penting yang dapat menyambungkan antara satu kawasan ke kawasan yang lain.
Ketergantungan China pada negara-negara Timur-Tengah dalam sektor energi, khususnya minyak dan gas sangatlah besar. Bahkan, Arab Saudi ingin menjual saham minyak ke China dalam bentuk mata uang Yuan, yang menandakan era baru dalam hubungan antara China dan Timur-Tengah. Di samping itu, China juga tidak mau tunduk pada embargo Amerika Serikat terhadap Iran. Artinya, China juga siap membeli minyak dan gas dari Iran, yang jumlahnya juga sangat besar.
Satu hal yang membuat negara-negara Arab sangat nyaman dengan China, karena di mata mereka China tidak berambisi untuk menguasai dan mencaplok kawasan lain. Berbeda dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang identik dengan imperialisme. China fokus pada kerja sama bisnis yang saling menguntungkan dan saling menghormati (mutual interest and mutual respect). China juga melakukan investasi di sektor ekonomi yang turut mempercepat pembangunan di kawasan Timur-Tengah. Karena itu, kita tidak menemukan benturan yang tajam antara China dengan negara-negara Timur-Tengah.
Bahkan, negara-negara Timur-Tengah sedang merancang kerja sama dalam bidang kebudayaan. Dalam beberapa tahun ke depan, negara-negara Arab akan mengirimkan ribuan seniman dan budayawan untuk belajar ke China, yang menandakan adanya kerja sama yang riil dalam bidang tersebut.
Negara-negara Timur-Tengah juga mulai melirik China sebagai salah satu industri teknologi yang berkembang pesat. Bahkan, China merupakan produsen teknologi yang sekarang dan dalam beberapa tahun ke depan dapat mengalahkan kedigdayaan Amerika Serikat dan Eropa. Bagaimanapun China akan menjadi aktor penting dalam sektor industri teknologi di jagad raya.
Hubungan mesra antara China dengan negara-negara Arab harus dilihat dari kuatnya akar komunisme di kawasan itu. Dari dulu hingga sekarang, kita akan mendapatkan partai-partai komunis dan partai-partai sosialis masih bertengger kuat di sebagian besar negara-negara Arab. Di Suriah, sejak akhir dekade 1960-an ada Partai Komunis Arab yang secara eksplisit mempunyai hubungan dekat dengan China. Begitu pula di negara-negara lain, seperti Mesir, Turki, Iran, Tunisia, Maroko, Aljazair paham komunisme dan gerakan politiknya masih terus hidup.
Bahkan, sayap komunis di Timur-Tengah dengan leluasa menyebarluaskan pandangannya melalui media dan buku-buku. Bahkan dialektika antara keislaman dan pikiran-pikiran kiri tumbuh. Hassan Hanafi pernah meluncurkan pemikiran “Islam Kiri” yang menandakan upaya sintesis antara keislaman dan paham kiri.
Maka dari itu, kita tidak menemukan sentimen anti-China di Timur-Tengah, yang secara faktual berbeda dengan apa yang kita lihat di negeri kita dalam beberapa tahun terakhir. Negara-negara Timur-Tengah relatif bisa menerima China karena faktor sejarah yang panjang dan hubungan yang terus membaik tanpa ada rintangan yang berarti.
Setidak-tidaknya, kita tidak menemukan pihak-pihak yang menggunakan sentimen anti-China sebagai instrumen politik di Timur-Tengah. China tidak dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam.
Tentu saja hal tersebut dapat menjadi pembelajaran yang sangat berharga, bahwa sentimen anti-China yang berembus di negeri ini pada hakikatnya hanya isu politik semata yang diembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka menggunakan justifikasi Partai Komunis Indonesia di masa lalu untuk menghambat kerja sama antara pemerintah dengan China.
Jika melihat hubungan mesra antara negara-negara Timur-Tengah dengan China dalam delapan tahun terakhir dapat menjadi bukti nyata, bahwa sebenarnya tidak ada persoalan yang serius antara dunia Islam dan China, bahkan antara Islam dan komunisme. Negara-negara Arab justru semakin mesra dengan China, dan hampir tidak ada rintangan hambatan yang dapat menghambat kerja sama di antara mereka. []
DETIK, 19 Juli 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute