Pdt. Weinata Sairin:”If you judge people you have no time to love them”. (Bunda Theresa)

0
687

Sebagai bangsa yang tahun ini memperingati 72 tahun Kemerdekaan kita sepatutnya bersyukur kepada Tuhan karena karunia dan anugerahNya yang sedemikian besar bagi bangsa dan negara kita. Bangsa dan negeri ini tidak saja dianugerahkan alam indah dengan kekayaan yang amat besar, tetapi juga sebagai bangsa, kita memiliki Pancasila sebagai dasar negara.

Dasar negara Pancasila memberi ruang bagi setiap warga bangsa dengan keunikan, kekhasannya masing-masing untuk hidup dan mengukir karya terbaik di negeri ini. Warga bangsa dalam keunikan suku, agama dan etnik masing-masing membangun kehidupan bersama yang penuh harmoni dan cinta kasih dalam sebuah rumah besar yang bernama Indonesia. Keunikan suku, agama, etnik dan budaya adalah anugerah Allah bagi bangsa yang harus terus menerus disyukuri. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara oleh para Bapak Bangsa pada masa awal Republik ini berdiri, adalah anugerah Allah yang amat besar, yang harus secara tekun dan konsisten dipelihara serta diaktualisasikan dalam kehidupan kita membangsa dan menegara.

Seluruh warga bangsa ini adalah umat yang beragama, umat yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengalaman traumatik bangsa merekam dengan jelas ketidakberadaban warga yang tak bertuhan, yang dipertontonkan secara vulgar dan barbar lewat tindakan pembunuhan pada peristiwa G. 30 S/PKI. Sejak itulah seluruh warga bangsa ‘diperintahkan’ untuk menganut agama, dan tak ada yang tidak beragama. Maka warga bangsa terkomodasi dalam 6 agama besar yang mendapat dukungan pelayanan dari pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Selain 6 agama itu, yang tercantum dalam nomenklatur Kementerian Agama, dalam spirit sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka ada banyak agama selain 6 agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia.

Baca juga  Tuhan Mengenal Siapa Kepunyaan-Nya

Di masa depan semua agama yang ada dan hidup dinegeri ini memerlukan ‘sentuhan pelayanan’ dari pemerintah, terutama aspek penguatan organisasinya dan bukan intervensi terhadap ajaran/teologinya. Hal ini memang bukan hal yang mudah dan sederhana tetapi tetap harus diperhatikan apalagi dengan mengingat pernyataan Hans Kung tentang signifikansi peran agama dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Pernah pada waktu yang lalu ada konflik yang mendera bangsa ini, Ambon, Poso misalnya untuk menyebut beberapa wilayah. Namun harus dicatat dan digarisbawahi bahwa konflik-konflik itu bukan konflik agama, dalam arti sebuah konflik yang bersumber dari teologi/faham keagamaan. Konflik itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor ketidakadilan, ekonomi, kecemburuan sosial, law enforcement yang demi daya ledak dan penetrasi yang kuat diberi frame agama oleh sekelompok orang.

Diwaktu mendatang soal-soal kemiskinan, pemiskinan, penegakkan hukum, pemajuan HAM, diskriminasi, ketidakadilan, ketimpangan ekonomi harus mendapat perhatian ekstra dari pemerintah sehingga tidak dijadikan amunisi untuk memicu konflik yang kemudian diskenariokan oleh para aktor intelektual untuk menyeret agama ke wilayah konflik. Agama-agama sejatinya mengajarkan umat untuk mewujudkan cinta kasih seutuhnya diantara mereka.

Cinta kasih yang memancar dari lubuk hati terdalam tak pernah mempertimbangkan agama, suku, etnik, denominasi, kedudukan, afiliasi politik, usia, warna kulit, dsb. Ada banyak cara untuk menjaga dan menghangatkan api cinta agar terus membara melewati pahit getir kehidupan. Adalah seorang pesulap terkenal bernama Houdini. Ia selalu memelihara cinta dan perkawinannya hingga maut menjemput. Caranya? Ia selalu meluangkan waktu menulis sepucuk surat cinta untuk istrinya. Dan ia menulis surat itu tanpa henti hingga saat kematiannya.

Bunda Theresa dengan cerdas memberi arahan yang jelas bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Kita tak bisa menghakimi orang lain, berfikir negatif tentang orang lain, menista, menghujat orang lain. Kita harus mengasihi dia tanpa mempersoalkan kesiapaan dia. Jika kita menghakimi seseorang maka kita kehilangan waktu untuk mengasihi dia. Mari mengasihi dan bukan membenci.

Baca juga  LAI DAN GENERASI MILENIAL

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here