Ada banyak pandangan yang dikemukakan oleh para tokoh dan aktivis didalam masyarakat tentang siapa yang disebut “orang bijak”. Ada yang secara sederhana memberikan gambaran bahwa orang bijak itu adalah orang yang “rambut putihnya telah banyak dan melebihi yang hitam”. Definisi itu dalam kenyataan praktis terkadang benar, tapi acap kali juga tidak tepat.
Ada banyak kasus yang kita hadapi dalam masyarakat yang berkaitan dengan soal-soal moral, etik yang ternyata dilakukan oleh mereka yang sudah termasuk usia ‘senja’. Dan hal yang cukup memprihatinkan kita adalah bahwa tindakan negatif itu dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang yang usianya lewat setengah abad.
Sikap bijaksana memang tidak selalu berbungan dengan rambut putih yang membungai kepala para usia lanjut. Sikap bijaksana bisa datang dari siapapun, tanpa memandang usia. Sikap itu bisa saja lahir dari seseorang yang sudah cukup lama menikmati asam garam kehidupan. Bisa saja dimiliki oleh seseorang yang jumlah jam terbang kehidupannya tinggi. Namun sikap yang penuh wisdom bisa lahir dari seseorang yang memiliki kematangan kepribadian, yang menggeluti dengan amat intensif persoalan yang muncul dalam kehidupan.
Sikap bijaksana bisa terwujud melalui sisi-sisi kehidupan yang _besar_ dan juga yang _kecil_ dalam konteks budaya mondial yang amat beragam, yang diwarnai ajaran keagamaan, bernilai universal.
Sikap bijaksana amat diperlukan dalam banyak aspek kehidupan. Dalam sebuah kehidupan yang keras yang di dalamnya para anggota masyarakat sering terlibat konflik maka peran orang bijak amat penting.
Ada kisah yang interesan bagaimana sikap bijak bisa menolong suasana dalam sebuah makan malam. Pada saat selesai makan malam seorang pelayan menyodorkan mangkuk untuk mencuci tangan kehadapan Harold Russell seorang mantan tentara yang tidak lagi mempunyai tangan sebagai akibat perang. Menyadari kesalahannya itu pelayan itu nampak sangat malu. Harold sang mantan tentara mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar kemudian berkata : “Maaf nak, aku tidak pernah nyentuh barang itu!”
Ungkapan Russel amat bijak. Ia tidak perlu memperlihatkan sikap berang, marah karena sang pelayan yang seolah mengejek kondisi tubuhnya. Ia menyelesaikan soal “besar” itu dengan ungkapan kata yang tepat. Dan itulah sikap yang bijaksana : melakukan hal yang tepat dengan mengungkapkan kata yang tepat, pada waktu yang tepat.
Orang bijak itu juga adalah orang yang amat memperkembangkan sikap ugahari, kebersahajaan, sikap sederhana. Ia bukan orang yang serakah, loba, tamak, mengambil hak/milik orang lain untuk memuaskan diri sendiri.
Pepatah kita kali ini menampilkan pemikiran yang cukup bagus tentang orang bijak. Ia tidak bersedih untuk hal hal yang belum ia miliki namun ia bergembira dengan apa yang ada padanya. Mari berjuang menjadi orang bijak agar kehidupan dan peradaban manusia makin lebih baik.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.