Persembahan Hidup

0
891

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

 

“Apabila kamu membawa seekor binatang buta untuk dipersembahkan tidakkah itu _jahat_? Apabila kamu membawa binatang yang timpang dan sakit, tidakkah itu _jahat_? Cobalah menyampaikannya kepada bupatimu apakah ia berkenan kepadamu apalagi menyambut engkau dengan baik? Firman Tuhan semesta alam.” (Maleakhi 1:8)

 

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah memiliki relasi yang khusus dan spesifik dengan Allah, Chalik Pencipta Alam Semesta. Relasi itu dilakukan dalam Ibadah, pada saat berdoa dan memuji nama Tuhan, pada saat memberikan persembahan, atau bentuk-bentuk lain yang diatur oleh Gereja yang didalamnya kita mampu mewujudkan relasi dengan Allah. Kesemua wujud dan bentuk relasi itu seharusnya terjadi dengan sangat baik dan optimal, dan sebagai cerminan rasa syukur kita kepada Tuhan Allah yang telah menganugerahkan keselamatan kepada umat manusia. Misalnya kita harus menyanyi dengan kaidah-kaidah standar : suara tidak sumbang/fals, sesuai dengan partitur lagu, volume suara yang memang sesuai dengan kebutuhan ibadah. Jangan kita beranggapan “menyanyi untuk Tuhan itu tak perlu bagus, yang penting iman kita”. Anggapan ini tidak berdasar sebab menyanyikan nyanyian Gereja sebagai bagian dari liturgi/ibadah harus dikakukan dengan sangat baik, optimal; devotional dan juga khidmat.

 

Pendeknya semua unsur-unsur liturgi yang ada dalam tata ibadah itu kita baca/lakukan dengan sangat  sangat baik sehingga ibadah kita itu terasa benar-benar sebagai sebuah “dialog interaktif” antara kita dengan Allah dan ada kesegaran baru yang kita nikmati dari ibadah yang durasinya l.k. satu jam itu. Kita tidak merasa bosan, hampa dalam ibadah itu, kita merasa muncul energi baru dalam diri sebagai bekal memasuki dunia yang penuh turbulensi pada minggu depan.

Baca juga  Catatan Pinggir Untuk Soft Opening Seruni Gallery Serpong

 

Ibadah kita terasa kering dan hampa bahkan membosankan apabila unsur-unsur liturgi itu semua dibaca secara mekanis, tanpa aksentuasi dan penghayatan; banyak terjadi ‘slip of the tongue’ pada saat pemimpin membaca. Banyak terjadi salah tik dan salah kutip nyanyian dalam lembar liturgi, sementara paduan suara yang ditampilkan tidak dipersiapkan dengan lebih bagus. Kondisi ini acap diperparah dengan kotbah yang berdurasi  lebih 45 menit, topik yang disajkan tidak populer, gaya bahasa agak kuno, pada bagian akhir pendeta kehilangan fokus dan biasanya sulit mencari kata penutup.

 

Andaikata elemen-elemen yang amat penting tidak mengalami penyiapan dengan baik, maka cukup besar pengaruhnya dalam konteks kita membangun  relasi dengan Tuhan. Oleh karena itu ada Gereja-gereja yang telah melihat bahwa dalam ibadah aspek ‘entertaint’ juga perlu mendapat perhatian sehingga umat dari segala usia tetap ‘kerasan’ dan ‘enjoy’ dalam beribadah di Gereja bahkan mereka merasakan adanya pencerahan spiritual dalam diri mereka.

 

Ayat Alkitab yang dikutip dari Maleakhi 1 : 8 cukup menarik untuk melihat bagaimana membangun relasi dengan Allah itu melalui bentuk ‘persembahan’ dalam konteks Perjanjian Lama. Ayat ini mengungkapkan kritik yang cukup pedas terhadap umat yang mempersembahkan kepada Allah binatang buta atau timpang, sakit. Firman Tuhan menegaskan bahwa tindakan seperti itu adalah tindakan yang *jahat*! Mengapa tindakan itu disebut jahat oleh karena tindakan itu bertentangan dengan hukum agama yang berlaku saat itu.

 

Dalam Kitab Ulangan 6: 21 secara tegas dinyatakan bahwa lembu/kambing yang cacat, timpang atau buta dilarang untuk dipersembahkan kepada Tuhan (cf Imamat 22 : 18, Bilangan 6 : 14 dsb). Binatang yang dalam kondisi seperti itu tidak layak untuk disembelih dan dipersembahkan kepada Tuhan. Tetapi umat bisa memakan daging sembelihan itu, dan darahnya tidak boleh dimakan.

Baca juga  Dictum, Factum: Apa Yang Dikatakannya Itulah Yang Dilakukannya.

 

Hal yang menarik adalah bahwa Firman Tuhan dalam Maleakhi itu memberikan pembandingan andai binatang yang cacat itu disampaikan kepada bupati. Apakah sang bupati berkenan dan menyambut si pemberi dengan baik ??

 

Warning dan sindiran kuat Firman Tuhan dalam Kitab Maleakhi yang ditulis lk. tahun 470 SM ini masih tetap relevan hingga zaman ini. Relasi kita yang khas, spesifik dengan Tuhan Allah harus terus dipelihara dari saat ke saat melalui banyak bentuk. Dalam  semangat memuliakan Allah dan bersyukur kepadaNya maka doa, nyanyian, persembahan kepada Tuhan mesti kita berikan yang terbaik. Jika para pembesar saja selalu ingin kita beri yang terbaik, apalagi Tuhan Allah yang telah memerdekakan kita dari belenggu dosa. Selayaknya kita harus memberi yang terbaik bagi Tuhan, Allah yang kita panggil Bapa dalam nama Yesus Kristus. Dalam ikatan dengan Yesus Kristus kita tidak lagi berbicara tentang mempersembahkan kambing atau domba atau binatang atau benda apapun. Kita semua anak-anak Tuhan Yesus dipanggil untuk “mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup yang kudus dan yang berkenan kepada Allah…:” (Roma 12.:1)

 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here