*Penulis: M. Yuda Pratama S.*
*Editor: Tigor Mulo Horas.*
Jakarta, Suarakristen.com.
Kinerja DPR RI kini patut dipertanyakan. Hal tersebut dikarenakan adanya pembahasan prioritas yang sangat diperlukan oleh rakyat Indonesia yaitu pembahasan RUU anti terorisme yang tak kunjung selesai. Disisi lain dalam lingkungan DPR RI kini malah melakukan pembahasan yang tidak penting seperti pembahasan terkait hak angket KPK yg sejatinya tak mendasar dan sarat akan kepentingan.
Semua pihak menyadari betapa mendesaknya penyelesaian RUU anti terorisme karena Undang-undang yang lama (UU no. 15 thn 2013) sudah tidak memadai lagi dikarenakan gerakan radikalisme yang semakin masif dan terstruktur serta sudah memakan banyak korban. Oleh karenanya diperlukan penjabaran yang lebih jelas dalam payung hukum tersebut terkait penindakan, pencegahan dan penanganannya sehingga pihak berwenang tidak harus menunggu peristiwa teror terjadi lebih dulu.
DPR perlu mengesampingkan ego untuk mempercepat pembahasan sehingga aparat keamanan memiliki landasan hukum yang kuat dalam menindak kelompok-kelompok radikal. Bila tidak kelompok radikal akan semakin meningkat dan memakan korban lebih banyak lagi.
Dilain hal, kini DPR RI disibukkan dengan pembahasan hak angket KPK dimana pembahasan tersebut terkesan melemahkan KPK serta sangatlah tidak sesuai dengan realitas yang dimana masih banyaknya koruptor-koruptor yang berkeliaran dan harus segera dihukum karena mengambil uang rakyat/negara yang jelas bukan menjadi haknya.
DPR berakrobatik dengan kekuasaan nya memaksakan implementasi hak angket nya ke KPK yang notabene lembaga independen.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengeluarkan suatu keputusan yang kontroversial serta menegaskan bahwa DPR masih dijangkiti oleh penyakit egoisme kelembagaan. Keputusan yang diambil DPR untuk menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu bentuk intervensi politik yang nyata dari anggota dewan kepada KPK sebagai institusi penegak hukum.
Mengapa hak angket tersebut dikatakan sebagai bentuk dari “intervensi politik”? Hal tersebut tak lain disebabkan oleh latar belakang yang mendorong DPR untuk menggulirkan hak angket kepada KPK, yaitu kasus korupsi KTP elektronik yang saat ini sedang ditangani oleh KPK dan diduga banyak anggota DPR yang terlibat dalam pusaran mega korupsi tersebut. Banyak anggota nya terjerat dari kasus tersebut.
Hak angket sendiri diatur dalam pasal 79 ayat (3) Undang-undang No.17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di situ disebutkan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No.17/2014 tersebut maka hak angket yang dapat dilakukan oleh DPR terbatas pada penyidikan terhadap undang-undang atau kebijakan pemerintah, dan syarat berikutnya adalah undang-undang atau kebijakan pemerintah tersebut haruslah bersifat penting, strategis, berdampak luas dan diduga juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan mengacu kepada Pasal 79 ayat (3) UU No.17/2014 tersebut, maka sebetulnya DPR tidak bisa mengajukan hak angket terhadap KPK karena KPK sebagai lembaga negara dan penegak hukum sama sekali tidak melakukan pelanggaran hukum yang bersifat penting, strategis dan berdampak luas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Selanjutnya, permintaan DPR kepada KPK untuk menyerahkan BAP dan membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam Haryani untuk kemudian diinvestigasi oleh DPR merupakan suatu permintaan yang berlebihan dan sudah tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif.
Permintaan tersebut berlebihan karena DPR telah meminta KPK untuk menyerahkan dokumen yang terkait substansi pokok perkara. Dokumen tersebut bukanlah merupakan dokumen publik dan bersifat rahasia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No.14/2008) maupun Kode Etik KPK.
Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR masih mengedepankan egoisme lembaganya dan melakukan segala cara termasuk mengintervensi penegak hukum guna membela kolega dan lembaganya.
Alasan berikutnya yang menjadi dasar bahwa DPR tidak dapat melakukan hak angket terhadap KPK adalah Pasal 3 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30/2002) yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Dengan berpegang pada Pasal 3 UU No. 30/2002 maka intervensi politik yang dilakukan oleh DPR melalui hak angket seharusnya menjadi gugur dan tidak dapat dilanjutkan ke proses berikutnya.
Alasan yang dijadikan dasar oleh DPR untuk mengajukan hak angket kepada KPK juga terlalu mengada-ada, dan justru berpotensi menyerang balik DPR karena sebagai lembaga legislatif DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Oleh karena itu hak angket yang digunakan oleh DPR terkesan seperti bentuk perlawanan dari DPR terhadap KPK dikarenakan saat ini KPK sedang berusaha untuk mengungkap kasus korupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak anggota DPR. Apabila hak angket terhadap KPK tetap dilanjutkan maka akan menjadi contoh buruk bagi dunia hukum dan implementasi demokrasi di Indonesia.
Hal itu juga menandakan bahwa saat ini kekuasaan legislatif telah terlampau kuat dan luas, bahkan sampai dapat mengintervensi penegakan hukum di Indonesia.
Maka oleh karena itu kami yang tergabung dalam *ALIANSI PEMUDA CINTA INDONESIA* pada hari Rabu (12/7) datang ke rumah rakyat dan menyatakan sikap dan mendesak agar DPR RI untuk:
1. Meminta kepada anggota DPR RI untuk segera merampungkan dan mensahkan rancangan undang-undang (RUU) anti terorisme sebagai langkah konkrit untuk memberantas terorisme di Indonesia.
2. Meminta kepada seluruh anggota DPR RI untuk menyetop hak angket KPK karena itu adalah sebuah pelemahan untuk KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.