Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Kata “teladan” atau kadang-kadang juga disebut ‘tauladan’ dan di elaborasi menjadi ‘suri tauladan’ sudah cukup lama kita kenal. Pada zaman baheula bapak/ibu guru sejarah dalam menjelaskan tokoh-tokoh sejarah selalu mengingatkan bahwa para tokoh dan pejuang itu telah mrmberikan suri tauladan yang positif untuk ditiru oleh generasi berikutnya. Para tokoh yang biasanya disebut adalah Jenderal Sudirman, Ibu Kartini, Raden Dewi Sartika, Panglima Polim dengan karakteristiknya masing-masing yang memberi kontribusi bagi bangsa.
Bukan hanya di lingkup sekolah kata ‘teladan’ diperkenalkan dan dijadikan sumber cerita, tetapi juga dalam lingkup keluarga. Orangtua kita hampir setiap saat memberi nasihat kepada kita agar kita melakukan perbuatan baik sehingga bisa menjadi ‘teladan’ bagi orang lain. Orangtua cukup bangga jika anaknya tidak ikut dalam kelompok yang biasa dijuluki “anak badung” dizaman itu dan sang anak bisa menjadi teladan bagi siswa lainnya.
‘Teladan’ adalah sesuatu yang patut ditiru atau sesuatu yang baik yang patut dijadikan contoh. Hal itu berhubungan dengan perkataan, perbuatan, sikap dan sebagainya yang diungkapkan oleh seseorang dan atau pihak yang lain. Biasanya yang “dituntut” oleh publik untuk mengungkapkan keteladanan adalah para tokoh, pimpinan, semua mereka yang berada di posisi puncak.
Hal penting di garisbawahi adalah bahwa kata ‘teladan’ itu hanya bisa dihubungkan dengan perbuatan yang baik dan positif; bukan sebaliknya. Misalnya ada seorang koruptor yang telah merugikan negara puluhan milyar. Selama 10 tahun ia bisa menyembunyikan kasus korupsinya itu sampai suatu saat ia melakukan korupsi lagi dan pada kasus terakhir itu ia terjerat hingga akhirnya dijebloskan ke dalam penjara. Kecanggihan koruptor dalam kasus ini tidak bisa dikatakan ‘teladan’.
Konon kata orang kita sebagai bangsa sedang mengalami krisis keteladanan. Sulit mencari teladan dari orang-orang di zaman kini, walaupun jika dicari dan ditelusuri pasti ada. Pepatah yang dikutip di bagian awal berbunyi “teladan untuk ditiru”. Ya teladan harus ditiru. Lembaga dan pimpinan umat beragama ikut bertanggungjawab dalam membina umat agar umat dapat menjadi teladan dalam kehidupan mereka. Mari kita mulai dari pribadi kita, dari lingkungan yang terkecil kita bertekad untuk menjadi teladan.
Selamat berjuang. God bless.