Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Dalam buku-buku pelajaran sejarah ditahun 60-an, selalu dinyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Ada banyak contoh yang digambarkan dalam buku itu untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Misalnya terdapatnya banyak candi, berbagai rumah ibadah dan berbagai peninggalan sejarah yang berkisah tentang aktivitas keagamaan bangsa ini sejak zaman baheula. Diceritakan juga oleh para guru saat itu bahwa walaupun warga bangsa menganut berbagai agama, namun mereka hidup rukun, guyub dan saling tolong menolong diantara sesama.
Suasana keagamaan warga bangsa memang amat terasa di zaman itu. Kawan-kawan sepermainan yang sebaya rajin belajar mengaji ke surau, langgar, mushola, namun mereka juga menganggap bahwa keberbedaan agama diantara kami tidak menjadi masalah. Pada hari raya lebaran keluarga kami mendapat antaran masakan/kue lebaran dari sekitar 40 Keluarga dan sebaliknya pada waktu Tahun baru kami mengantar makanan/kue Natal/Tahun Baru. Hal itu berlangsung hingga tahun 70 an, dan kemudian terhenti sesudah ayahanda meninggal.
Dari pengalaman praktis seperti itu memang amat jelas bahwa faktor relasi, sikap apresiatif, sikap suka menolong amat besar pengaruhnya dalam membangun persahabatan. Sikap-sikap positif yang dikembangkan dalam sebuah masyarakat majemuk pada akhirnya tidak lagi mempersoalkan keberbedaan agama. Penyadaran bahwa sebagai umat beragama kita sama-sama ciptaan Allah dan harus hidup saling menghormati adalah perlu untuk diingatkan terus dalam berbagai kesempatan.
Kita bersyukur bahwa kita disebut sebagai ‘bangsa beragama’. Tetapi kita lebih bersyukur lagi bahwa negara kita bukan negara agama, bukan negara yang berdasar ajaran sesuatu agama. Kita amat menghargai keputusan the founding father bangsa kita bahwa Negara kita berdasarkan Pancasila yang menghormati agama-agama yang ada. Keputusan the founding fathers ini adalah _warisan_ yang harus dijaga dengan baik. Jangan ada lagi mimpi atau agenda terselubung atau pernyataan terbuka untuk mengubah dasar negara Pancasila dengan dasar yang lain.
Dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, maka *sikap toleransi* yang perlu dikedepankan dan bukan karakter _intoleransi_ yang praksisnya bisa destruktif. Sikap toleransi mesti ditanamkan mulai dari keluarga, masyarakat, komunitas, lembaga pendidikan. Buku, film, sinetron, film tv, kehidupan pejabat publik harus mengajarkan, menginspirasi, meneladankan sikap toleransi itu. Toleransi benar-benar sebuah toleransi sejati jika ia tulus, tidak terpaksa dalam mewujudkan penghormatan kepada sesama.
Dihari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017 kita mesti membangkitkan ulang dan merevitalisasi nasionalisme kita. Bagaimana kita menampilkan nasionalisme ditengah realitas dunia yang sudah menjadi ‘desa global’, dunia yang tanpa batas, dunia yang sudah menyatu. Kita mempersembahkan hidup kita dan NKRI ini kepada Allah, dan kita berterimakasih kepada Allah atas anugerahNya bagi kita dan negeri kita.
Mari lakukan itu ditengah kekinian sejarah.
Selamat berjuang. God bless.