Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Kata “semoga” dan kata “kiranya” secara spesifik digunakan untuk mengungkapkan sebuah harapan dari seseorang tentang kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Bahkan dalam konteks tertentu ungkapan itu digunakan dalam narasi-narasi doa dari seorang yang beragama kepada Tuhannya. Dalam konteks sebuah Indonesia sebagai ‘negara beragama’ (dan bukan *negara agama*) maka ungkapan-ungkapan seperti itu acapkali kita dengar bahkan kita ucapkan.
Kita bersyukur bahwa warga NKRI adalah warga yang taat beragama. Seluruh warga negara adalah warga yang beragama, sebab orang yang ateis, paling tidak sesudah peristiwa G.30 S/PKI, tidak punya tempat di negeri ini. Sekarang ini ada 6 (enam) agama yang sudah dapat dilayani/difasilitasi oleh Pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu. Indonesia dalam ketentuan perundang-undangannya tidak mengenal istilah “agama resmi”. Oleh karena itu 6 agama itu tidak disebut dan atau tidak pernah menyebut dirinya sebagai “agama resmi”. Apalagi agama-agama yang memahami bahwa ada dimensi vertikal-transendental dalam kedirian agama, *keresmian* agama tidak tergantung pada dan tidak berada pada institusi negara. Eksistensi dan keabsahan suatu agama, standarnya dimiliki oleh komunitas agama itu sendiri.
Andaikata kita menelusuri cerita-cerita tentang konflik yang terjadi di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir maka dapat disimpulkan bahwa konflik itu pada awalnya bukan disebabkan karena faktor agama. Bukan karena terjadi diskusi/perdebatan teologis maka muncul konflik. Konflik terjadi lebih karena faktor ekonomi, ketidakadilan, afiliasi politik yang kemudian “digoreng” dengan bumbu agama sehingga daya ledaknya dan penetrasinya lebih kuat. Bahwa diantara agama-agama itu terdapat perbedaan teologis tentang berbagai hal, itu semua difahami dan tak bisa dipungkiri. Namun realitas perbedaan itu tidak boleh dan tidak pernah menjadi pemicu konflik.
Bahwa dalam buku-buku keagamaan ada narasi-narasi yang “keras” dan “yang lemah lembut” hal itu juga difahami oleh banyak pihak. Itulah sebabnya Dr Tito Karnavian dalam kapasitasnya sebagai Kapolda DKI Jakarta dalam pidato sambutan pada pertemuan tokoh lintas agama disebuah pesantren di Pasar Minggu beberapa tahun yang lalu mengajak para pemimpin agama untuk lebih mengungkapkan narasi-narasi yang lemah lembut misalnya tentang kasih sayang, cinta kasih, silaturahim dan sebagainya.
Pemikiran Dr Tito Karnavian yang kini adalah Kapolri mendapat respons positif dari peserta pertemuan saat itu. Beliau yang disertasinya mengkaji tentang konflik Poso yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Explaining Islamist Insurgencies” memiliki pengetahuan dan pengalaman luas dalam konteks terorisme dan konflik termasuk yang bernuansa agama.
Pengungkapan narasi-narasi keagamaan yang penuh harmoni, rukun, cinta kasih seperti yang diimbau Pak Tito akan dapat “menandingi” narasi keras dan ujaran kebencian, berita hoax yang tiap saat muncul di medsos.
Hari Rabu 19 April warga Jakarta akan menggunakan hak konstitusionalnya dengan memilih salah satu pasangan calon di TPS masing-masing. Mereka akan memilih pimpinan daerah yang akan memajukan Jakarta 5 tahun kedepan. Kita berdoa untuk menetapkan pilihan yang tepat, berdoa agar pelaksanaan Pilkada periode II berjalan lancar, aman dan tertib. Panitia dan aparat keamanan akan menjaga setiap TPS sehingga tidak dibutuhkan lagi institusi lain datang ke TPS untuk memantau.
Pepatah kita menngungkap doa semoga Tuhan mengelakkan kita semua dari malapetaka. Umat Beragama di Indonesia adalah umat yang cinta damai, rukun, taat beragama. Pilkada 19 April akan membuktikan karakter sejati umat beragama yang rukun, damai, ikhlas.
Selamat berjuang. God bless.