Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Renungan

NULLA CERTA DOMUS: DI DUNIA INI KITA TIDAK MEMPUNYAI TEMPAT TINGGAL YANG TETAP

11
×

NULLA CERTA DOMUS: DI DUNIA INI KITA TIDAK MEMPUNYAI TEMPAT TINGGAL YANG TETAP

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

Example 300x600

 

Ada kebutuhan mendasar manusia yang paling standar yang hukumnya “wajib” untuk dipenuhi, terlepas dari soal kualitasnya. Tanpa terpenuhinya kebutuhan standar itu, bahkan orang bisa menunda perkawinannya. Apa saja kebutuhan standar itu? Biasanya orang menjelaskan kebutuhan standar itu adalah : *sandang, pangan dan papan*.

 

Dari tiga unsur itu yang paling sulit adalah “papan”, yaitu rumah atau tempat tinggal tetap. Bisa terjadi orang yang sudah lama menikahpun belum punya tempat tinggal tetap. Gaji atau penghasilan hanya cukup untuk biaya hidup bulanan, bagaimana bisa mempunyai rumah. Tayangan eksklusif televisi beberapa kali menghadirkan kisah orang yang tinggal serumah dengan kambing, atau tinggal dirumah berbahan karton, atau hidup berdesakan di rumah petak, di pusat ibukota negara. Realitas ini amat ironis dan kontradiktif mengingat usia republik yang sudah lebih dari setengah abad, apalagi jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki rumah beberapa buah bergaya gedung putih, di berbagai tempat atau apartemen prestisius di luar negeri.

 

Mengingat sulitnya orang dari kelas tertentu memiliki rumah, maka mendorong orang yang memiliki kreativitas imajiner berpikir tentang “rumah apung” atau menawarkan kredit rumah tanpa uang tanda jadi (down payment). Kreativitas imajiner memang bisa diwujudkan lewat novel, atau sinema elektronik, tapi tak mungkin di ejawantahkan dalam dunia nyata karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Papan, rumah, tempat tinggal yang tetap (asri, nyaman, luas) tentu saja menjadi obsesi dan impian dari banyak orang. Bagi orang yang lahir dari keluarga yang berkecukupan maka “papan” tidak pernah menjadi masalah. Mereka mendapat warisan dari orang tua dan atau disiapkan bahkan beberapa rumah untuk mereka.

 

Upaya Pemerintah dengan memberikan kredit perumahan, atau membangun rumah susun bagi rakyat kecil tentu amat dihargai. Walaupun harus diakui bahwa belum seluruh warga masyarakat terutama di daerah-daerah belum tersentuh dengan kebijakan tersebut.

 

Orang bijak mengatakan rumah adalah tempat yang paling indah bagi sang pemilik, rumah adalah istana. Berdasarkan pengalaman empirik masalah rumah acap mencuat sebagai titik pertentangan antar  individu, bahkan antar institusi. Apalagi jika rumah dan bangunan itu berkaitan dengan warisan sejarah masa lampau.

 

Agama-agama memang secara amat jelas menyatakan bahwa ada ‘dunia lain’ sesudah dunia yang kini. Ada kehidupan lain, kehidupan abadi, sesudah kehidupan sekarang. Manusia hidup di kekinian dunia dalam cengkeraman kefanaan; mereka sedang menghidupi civitas terrena/city of world dan dalam proses menuju civitas dei/city of God.

 

Lesson learn dari pepatah ini adalah bahwa kita harus *siuman* bahwa kita tidak boleh terpaku pada kekinian, pada locus delicti, kita harus menatap ke depan kepada realitas era baru yang Tuhan sediakan bagi kita. Perlu penyiapan diri untuk menghidupi era baru.

 

Selamat Berjuang. God Bless us.

 

 

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *