Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Hidup itu adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia, agar manusia dapat menjalankan perannya dengan baik dan optimal sebagai makhluk mulia. Tanpa nafas hidup, tanpa kehidupan manusia bukanlah apa-apa; ia benda yang tak bermakna dan tak diperhitungkan. Itulah sebabnya manusia bersyukur kepada Tuhan tanpa henti, tanpa jemu, atas hidup yang telah Tuhan anugerahkan. Hal yang mesti dilakukan manusia tentu saja bukan hanya bersyukur dalam artian verbal-semantik tetapi ucap syukur dalam wujud yang konkret, nyata, action.
Ada orang bijak yang berucap ‘hidup itu bukan berapa lama anda jalani, tetapi seberapa jauh anda menebar kebaikan selama anda menjalankan kehidupan”. Artinya makna hakiki hidup itu pertama-tama tidak terletak pada durasi, pada berapa lama, tetapi pada kualitas (spiritualitas) hidup. Ada beragam cara orang memberi makna pada hidup sesuai dengan kualitas spiritualitas seseorang, kedalaman penghayatan keagamaan seseorang. Ada yang benar-benar mendedikasikan hidupnya bagi ilmu dan profesionalismenya. Ia menekuni bidangnya dan bagaimana mengkontribusikan pemikirannya bagi pemajuan masyarakat dan bangsa.
Berbeda dengan itu, ada juga orang yang memaknai hidup dalam perspektif “mumpungisme”. Ya mumpung ada kesempatan, selagi ada peluang dan kesempatan mengapa tidak dilakukan. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Namun harus dicatat bahwa istilah ‘mumpungisme’ lebih berkonotasi negatif. Oleh karena itu mereka yang memiliki ‘ideologi’ mumpungisme biasanya menggunakan segala cara untuk mewujudkan maksudnya. Bisa saja terjadi dalam konteks ini seorang menyiasati peraturan yang ada atau bahkan melawan peraturan itu sendiri.
Sebagai bangsa dan negara yang beragama kita amat memahami bahwa agama-agama memberi imperatif yang amat jelas bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Kehidupan mesti diisi dengan hal-hal produktif bagi orang banyak. Kehidupan tidak boleh introvert, terarah dan berakhir di dalam diri sendiri. Kehidupan mesti memproduksi hal yang baik, amal, kebajikan, empati, pertolongan bagi orang lain, melayani orang banyak.
Menarik untuk memperhatikan ungkapan R Tagore yang mengaitkan kehidupan dengan.pelayanan. Service, pelayanan (diakonia: Yunani) adalah sikap hidup yang menempatkan orang lain siapapun dia srbagai figur yang mesti diapresiasi, dihormati, dibantu dan diberikan pelayanan yang prima. Orang yang dilayani itu adalah “raja” dan orang yang melayani itu adalah servant yang memberikan dirinya untuk orang lain, untuk sang raja! Mari memposisikan diri sebagai pelayan, tidak sebagai boss.
Selamat berjuang. God bless.