Oleh: Saniago Dakhi
Akar Masalah
Di berbagai media elektronik, media sosial (medsos) terhembuskan pembahasan menarik yang bahkan menggerakkan perasaan dan pemahaman kita akan kegagalan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang nota benenya pengajaran bersifat kontekstual dengan pendekatan humanis (kemanusiaan), kegagalan guru dalam mendidik karakter siswa yang menurut banyak orang kian berakhlak binatang, dan kemenangan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan Perubahanya Nomor 35 Tahun 2014 dalam merampas hak guru untuk menjewer, menampar, menendang, memaki, dan lain-lain. Alhasil dalam tanda kutip memanjakan siswa dan membiarkan siswa hanyut dalam kegalauan modernitas dan kenakalan remaja.
Pertanyaan yang timbul adalah “Apa benar kewajiban guru untuk mendidik sudah dirampas?, dan siapa yang telah merampasnya?” Tugas guru untuk mendidik belum pernah dan tidak akan pernah dirampas oleh siapapun. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Guru masih tetap memberikan legitimasi dan jaminan kewajiban seorang guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Apa yang berbeda adalah pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang dulu dikerangkai oleh teori pendidikan disiplin mental, dan sekarang dialihkan pada teori pembelajarn humanistik. Berbicara tentang pendidikan disiplin mental yang dilakukan mulai pada saat paska kemerdekaan hingga tahun sebelum lahirnya UU Perlindungan Anak identik dengan proses pembelajaran yang membentuk manusia manusia yang disiplin, penurut, pengikut, dan penghafal. Sebagai hasilnya, terbentuklah dalam tanda kutip anak anak muda dan kaum cendekiawan yang sangat sopan, berbudi pekerti, dan berakhak mulia. Apa benar? Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini mulai pra hingga paska kemerdekaan tidak pernah luput dari ikatan onar, kenakalan remaja, masalah, perpecahan, dan lain-lain. Bukan hanya itu, kebanyakan pelaku praktek korupsi dewasa ini adalah lulusan lulusan tahun 1990an, mereka yang didik melalui pendidikan disiplin mental.
Pembelajaran kontekstual dewasa ini didasari oleh teori konstruktivistik, problem based, dan humanistik yang diwarnai dengan pembelajaran yang inovatif, kreatif, kooperatif, scientific, dan menyenangkan. Buah manis sudah mulai kita rasakan dimana para anak anak negeri ini menorehkan prestasi prestasi bergengsi di kancah dunia (baca http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/20/14033866/Pelajar.Indonesia.Raih.Prestasi.di.Inggris atau http://tv.kompas.com/read/2016/02/19/4763677180001/prestasi.anak.bangsa.di.wajah.dunia)
Dalam sebuah artikel yang ditulis di (http://www.nadiguru.web.id/2016/05/kembalikanlah-hak-guru-untuk-mendidik-agar-akhlak-siswa-tak-semakin-parah.html) menggambarkan penderitaan sang guru dan pembatasan gerak mendidik akhlak siswa. Sebenarnya itu adalah pernyataan tidak berdasar dan bersifat semu karena telah menjembatani orang tua sebagai pendidik yang bersembunyi dan yang hanya melimpahkan beban, yang semestinya dipikulnya, kepada orang lain.
Bayangan Peran Orang Tua
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Clark-Stewart pada tahun 1983 dan yang dilanjutkan oleh Janine Bempechat (1992) mengungkapkan bahwa ransangan, aturan, bantuan, dan sikap responsif orang tua sangat mempengaruhi perkembangan kognitif dan sosial sang anak. Orang tua memiliki peran dalam keberhasilan pendidikan anak. Peran ini merupakan kewajiban yang harus dimainkan dan dibayarkan dan bahkan diinvestasikan oleh setiap orang tua. Returning invesment sang orang tua direalisasikan dalam bentuk pride/kebanggaan dan prestige/kewibawaan yang tiada taranya terhadap keberhasilan sang pujaan hati, dan tidak tertutup kemungkinan mengharapkan balasan bantuan keuangan kelak pada saat si anak berhasil.
Tidak heran di Suku Nias masih sebagian besar mahar pesta kawin sangatlah besar, sekitar 50 ekor babi (kurang lebih 75 juta rupiah). Terlepas dari alasan sosio-kultural yang turun temurun, hal ini juga digerakkan oleh motor “Kebanggaan Terhadap Ono Nihalö/mempelai perempuan” yang harus ditebus melalui mahar yang berjumlah selangit. Mahar ini menyimbolkan seberapa calon mempelai laki-laki menyayangi sang kekasih hati dengan seluruh pride dan presige baik yang melekat dalam dan di luar dirinya, menghormati para kerabat calon istri (mbambatö), dan menjunjung tinggi hada fabanuasa (adat istiadat). Hal ini sangat berbeda sekali dimana mahar akan kecil diberikan bila sang gadis kawin lari atau bunting sebelum menikah.
Orang tua memiliki peran yang substantial dan sustanabel. Kesubstansian peran orang tua ditandai dengan pendidikan anak melalui komunikasi yang hangat, penuh kasih dan rindu mendalam antara ibu terhadap sang bayi di dalam kandungan (Clark and Clark,1977). Di samping itu, rentang waktu orang tua mendidik dan bergaul bermain bersama dengan anak yang relatif lebih banyak daripada guru. Sustanabilitas peran orang tua dibuktikan dengan perhatian, kasih sayang, dan didikan sang ayah dan ibu terhadap anaknya sewaktu masih di dalam kandungan hingga tua/beruban dan bahkan sewaktu dipanggil oleh Sang Kuasa. Perhatian dan doa orang tua selalu diberikan mengiringi langkah hidup sang anak dan bahkan menemani roh sang buah hati yang sudah dipanggil Tuhan agar selalu diberkati-Nya. Lantas apakah kita berkata gurulah faktor utama kegagalan mendidik akhlak mulia dan karakter anak? Walaupun perkembangan pengetahuan afektif/sikap peserta didik, pengetahuan lainnya adalah pengetahuan kognitif dan psikomotor (Taksonomi Bloom tujuan pendidikan yang dicetuskan oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956), merupakan domain kerja guru, tidak dalam artian orang tua lepas tangan dan para ulama, ustadz, pendeta, pastor, dan tokoh agama lainya tidak perlu ceramah lagi. Tidaklah terlalu mungkin guru sekolah lebih piawai dari seorang tokoh agama dan orang tua mendidik anak sopan santun, religius, beradat, dan berkarakter. Orang tua adalah pendidik yang bersembunyi.
Solusi
Pertama, penyuluhan orang tua sebagai mitra guru dalam mendidik anak selam ini tidak pernah dilakukan dan diprogramkan. Diperparah oleh rendahnya minat baca masyarakat kita, terpuruknya pengetahuan dan terbatasnya wawasan yang dilengkapi dengan tidak dilaksanakan program penyuluhan ini, maka pengetahuan peran orang tua terhadap peranya menjadi semu dan kaku. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter J. Burke dan Donald C. Reitzes(1981) yang telah diterbitkan di sebuah jurnal ternama “Social Psychology Quarterly” di bawah pengawasan American Sociological Association, New York-Amerika menyatakan, “Identity defines role performance.” Penelitian ini memberikan penegasan bahwa identitas menentukan peran. Semakin dalam seseorang mengenal siapa dirinya (orang tua); semakin yakin dan cakap ia mengetahui dan memainkan perannya (tanggungjawabnya terhadap pendidikan anaknya).
Kedua, penyuluhan pra-pernikahan. Pernikahan yang didefiniskan sebagai penyatuan jiwa, cinta, dan perhatian suami istri, laki-laki dan perempuan, merupakan konsep yang metaforis-puitis yang jauh dari realita sebenarnya. Hipotesinya adalah bagaimana mungkin dua hati, dua jiwa, dua kepribadian, dan dua budaya sehari-hari menjadi satu yang bulat dan sempurna? Tidakkah penyesuaian dan penyatuan pemikiran (thought), tuturan (utterance) dan tindakan (act) adalah pekerjaan yang tidak pernah berakhir dari setiap kita yang selalu kita bangun dan pelajari mulai pada paska penguasaan bahasa pertama kita, kisaran waktu kita berumur 3-5 tahun, hingga sekarang? Artinya adalah penyatuan pemikiran, tuturan, dan tindakan diri kita sendiri sungguhlah sulit, apalagi menyatuan dua orang, suami istri, yang memiliki jenis kelamin, kepribadian, hobi, keinginan, dan proses berpikir yang berbeda. Dengan demikian, penyuluhan pra-pernikahan kepada calon pengantin sangatlah urgen dan mengikat penjaminan pemahaman mereka akan tugas dan tanggujawab mereka terhadap satu sama yang lain, terkhusus peran dan tanggungjawab mereka terhadap pendidikan anak kelak.
Ketiga, bekerja sama dan saling berbagi. Dalam suatu pengalaman pribadi saya mengajar di sekolah dan perguruan tinggi, siswa dan mahasiswa salah memaknai kerja sama, dan bahkan pada prakteknya mereka salah menempatkanya. Mereka akan cenderung bekerja sama pada saat ujian, contek mencontek, dan tidak bekerja sama sama sekali sewaktu mengerjakan tugas kelompok. Kalau kita setuju saya memaknainya begini, ujian sekolah di atas bersifat menantang/challenging dan tugas kelompok menyenangkan siswa/i saya. Oleh karena itu, karena menantang maka mereka cenderung bekerja sama (karena kegagalan dan nilai buruk sedang menanti mereka), dan sebaliknya karena menyenangkan mereka cenderung tidak bekerja sama (karena tugas tersebut bukan tantangan). Salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh teman sejawat saya, “A common shared enemy units people,” sangat cocok dalam memecahkan msalah ini. Peningkatan kualiatas pendidikan Indonesia harus dipandang sebagai suatu tantangan bersama dan bahkan musuh bersama, dan dengan demikian jiwa gotong royong dan kerja sama dalam memutuskan belenggung kebodohan akan membumbung tinggi.
Keempat, program pemilihan orang tua berprestasi. Memang ini akan kedengaran sangat lucu dan konyol karena berprestasi biasanya identik dengan sertifikasi yang hanya dikeluarkan oleh mereka mereka yang ada dalam lembaga formal-profesional. Selanjutnya, sertifikat tersebut biasanya akan mereka tonjolkan dalam menggaransi dan meligitimasi keberhasilan dan profesionalisme seseorang pada bidang tertentu yang pada hakekatnya ditunjukkan pada promosi jabatan dan atau memperoleh pekerjaan. Program orang tua berprestasi yang saya maksud adalah untuk memberikan suatu tanda apresiasi kepada mereka yang telah berhasil membentuk seorang bayi menjadi orang yang beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta sukses membanggakan bangsa dan negara. Penghargaan ini akan dengan konsisten digunakan dalam meningkatkan cita rasa orang tua menjadi pribadi pendidik yang bermitra kepada guru.
Simpulan
Meskipun seorang guru bersertifikasi sebagai tenaga pendidik profesional, tidaklah panitia seleksi sertifikasi guru menghitung seberapakah guru telah memprospek siswa, sebagai contoh, bandel merokok menjadi anti-rokok. Ini memberikan indikasi bahwa guru adalah manusia yang lemah dan sertifikasi guru bukanlah garansi kemapuanya dalam menjamin totalitas kesuksesan anak bangsa ini. Orang tualah yang harus memainkan peran yang mendasar dan berkelanjutan sebagai mitra guru dan rohaniawan dalam membentuk generasi generasi yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, beradap dan beradat serta bedasar karater pancasila. Salam Pendidikan!—
Saniago Dakhi. Pemerhati pendidikan dan mantan dosen sekaligus sebagai Pembantu Ketua Bidang Akademik STKIP Nias Selatan, Telukdalam-Sumatera Utara.
Bibliografi:
Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay.
Clark, H. H., & Clark, E. V. (1977) Psychology and Language: An introduction to psycholinguistics. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Clarke-Stewart, K.A. (1983). Exploring the assumptions of parent education. In R. Haskin & D. Adams (Eds.), Parent education and public policy, (pp. 257-276). Norwood, NJ: Ablex.
Janine Bempechat (1992). The Role Parent Involvement in Children’s Academic Achievement. The School of Academic Journal, Vol. 2, No. 2, Fall/Winter 1992.
Peter J. Burke dan Donald C. Reitzes(1981). The Link between Identity and Role Performance. Social Psychology Quarterly, Vol. 44, No. 2, 83-92.
UU Nomor 35 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen