Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Dalam kehidupan praktis yang kita jalani sehari-hari kata “bahagia” lebih banyak dimaknai sebagai suatu kondisi tatkala seseorang mengalami keberuntungan, sukses dalam hidup, naik pangkat, merayakan ulangtahun, menjadi pengantin atau memperoleh anugerah anak pertama. Artinya “bahagia” lebih terarah pada hal-hal yang secara kasat mata bisa dlihat dengan jelas, yang real yang bisa dikategorikan pada hal ‘sekuler’.
Bahagia tidak dimaknai secara filosofis, sesuatu yang absurd yang berada dalam dunia ide, akademis bahkan transendental. Itulah sebabnya pada hari ulang tahun atau pernikahan ucapan standar yang biasa diungkapkan adalah ‘selamat berbahagia’. Dalam Kotbah Dibukit (Matius 5:3-11) Yesus menyampaikan 9 butir penting diseputar ‘bahagia’ yang kesemuanya bersifat teologis-filosofis dan fundamental.
Pemikiran yang amat dalam, bernas dan komprehensif tentang ‘bahagia’ yang diungkap Yesus ini telah menginspirasi banyak orang termasuk Gandhi untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan praktis. Menarik sekali untuk memberi garis bawah bahwa Amsal menegaskan ‘berbahagialah orang yang mendapat hikmat’. Hikmat, wisdom, kebijaksanaan adalah hal penting yang mesti dimiliki manusia dalam ia melayari samudera kehidupan. Hikmat adalah penguasaan suatu pengetahuan dengan benar. Orang yang tidak berhikmat sering dianggap bodoh dan bebal. Dalam Alkitab, Salomo dicatat sebagai orang yang memiliki hikmat yang ia terima dari Allah sehingga ia mampu mengambil keputusan dengan tepat dan bijaksana.
Menurut Amsal orang yang mendapat hikmat dan kepandaian memiliki benefit yang besar secara ekonomis, keuntungannya melebihi perak dan emas. Kita bisa mengalami kebahagiaan jika kita memiliki hikmat dan kepandaian.
Mari mohon kepada Allah agar Ia menganugerahkan Hikmat dan Kepandaian kepada kita agar kita mampu menempuh kehidupan yang keras dan garang ini dengan kekuatan baru.
God bless.