Siaran Pers Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi: Pemerintah Harus Serius Melindungi Petani Dari Ancaman FTA”
Jakarta, Suarakristen.com
Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, beberapa lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi mendesak pemerintah untuk serius melindungi petani dari ancaman FTA, khususnya ASEAN RCEP, dengan menyusun strategi perlindungan yang tepat bagi petani.
Pada 17-21 Oktober 2016 akan berlangsung putaran perundingan Asean RCEP ke-15 di Tianjin, China. Perjanjian perdagangan RCEP yang terdiri dari 10 negara Asean dengan 6 rekan dagang terbesarnya, yaitu Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan diharapkan selesai akhir tahun ini, tidak hanya memuat isu perdagangan semata, melainkan juga mengatur mengenai hak kekayaan intelektual, yang salah satu isu pentingnya adalah tentang kedaulatan petani atas benih.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti mengemukakan perjanjian RCEP akan mengancam kedaulatan petani melalui pengaturan perlindungan hak kekayaan intelektual, khususnya mengenai benih.
“Banyak petani kita yang sudah mengalami kriminalisasi akibat pengaturan Haki Ini. RCEP akan kembali mengkriminalisasi petani jika Indonesia tidak menyusun strategi yang tepat dalam perundingan FTA yang sedang dilakukan oleh pemerintah hari ini,” katanya melalui siaran pers, di daerah Menteng, Jakarta Pusat Minggu (16/102016).
Putri Sindi dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengungkapkan selama ini perundingan RCEP, sangat tertutup dan tidak demokratis. Ruang demokrasi harus segera dibuka oleh pemerintah. Publik berhak tahu isi dari perjanjian yang dirundingkan. Proses konsultasi publik harus dibuka seluas-luasnya, agar publik bisa memberikan masukan untuk memperkuat strategi perundingan.
Isu paten dalam klausul Haki, yang mana Jepang dan Korea Selatan mengajukan usulan TRIPS-Plus dalam perjanjian ini, dinilai akan membatasi akses terhadap obat-obatan dan benih.
Dua bocoran klausul mengenai TRIPS-Plus, yakni ekslusivitas data yang dapat mengekalkan secara legal monopoli korporasi terhadap obat dan benih. Bocoran lainnya, klausul perpanjangan masa paten yang merupakan taktik sederhana korporasi untuk memonopoli dan terus memberlakukan harga yang tinggi untuk obat sehingga bebas dari persaingan obat generik.
Hal ini tentunya akan mematikan ekonomi para petani Indonesia dan memperkaya korporasi yang sangat tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian local.
Ketua Umum Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nurudin mengatakan bocoran teks itu mengungkap kenyataan RCEP akan mewajibkan negara anggotanya untuk meratifikasi UPOV 1991 (International Union for the Protection of New Varieties of Plant 1991). UPOV 1991 akan mengharuskan pemerintah melindungi pemilik paten (atau jenis sertifikat lain) selama 20-25 tahun, termasuk yang ada dalam ranah benih, ekosistem, dan keanekaragaman hayati.
“Kewajiban UPOV 1991 dalam RCEP akan menguatkan monopoli penguasaan benih oleh korporasi. Bahkan, UPOV 1991 akan melarang hak pengembangan benih oleh petani atas dasar pelanggaran Haki. Sebagai catatan, hari ini 90% perdagangan benih telah dikuasai oleh hanya 5 korporasi multinasional.” tambahnya.
Senada dengan itu, Achmad Yakub dari Bina Desa juga mengungkapkan ratifikasi UPOV 91 yang diharuskan dalam RCEP akan merampas kembali hak petani atas benih yang telah dimenangkan oleh petani dalam judicial review atas UU tentang Sistem Budidaya Tanaman.
“Hakim MK dalam putusannya telah memberikan perlindungan bagi hak komunitas dalam hal pemuliaan benih dan penyebarannya. Jika UPOV diratifikasi maka seluruh peraturan perundang-undangan kita akan disesuaikan dengan itu, dan tentunya putusan MK ini akan dikesampingkan,” ujarnya.
Dalam perkara sumber budidaya tanaman, Nomor 99/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan komunitas adalah pemulia perorangan petani kecil (dalam putusan tanggal 18 Juli 2013). Lingkup petani kecil di Indonesia termasuk juga pelaku pertanian pesisir, masyarakat adat, perambah asli hutan (masyarakat peramu), perempuan perdesaan, organisasi tani dan nelayan kecil.
Dewi Puspa dari Solidaritas Perempuan juga menekankan aturan liberalisasi pangan di dalam RCEP juga akan memfasilitasi produksi pangan dari perkebunan dan pertanian monokultur skala luas.
“Dampak RCEP bukan hanya dari penurunan tarif dan penghapusan restriksi perdagangan, tetapi lebih buruk dari itu, yakni dibukanya peluang bagi investor asing yang mendikte apa dan bagaimana pangan dikonsumsi. Petani akan semakin tidak berdaulat menentukan arah produksi pangannya, khususnya petani perempuan,” ujarnya.
Alie dari Agra menyatakan liberalisasi pangan akan semakin menghilangkan penguasaan petani atas benih dan meningkatkan kekuatan korporasi di negara anggota. Dampaknya, Indonesia akan semakin tidak mampu meningkatkan produksi pangan dalam negerinya sendiri.
“Pemerintah semakin gencar meningkatkan impor berbagai komoditas pangan sepanjang 2016, misalnya Menko Perekonomian menyatakan pemerintah impor 2,4 juta ton jagung dan 3,2 juta ton gula mentah dan masih banyak lagi. Padahal kewajiban pemerintah tidak selesai pada soal penyediaan semata, melainkan perlu mencari strategi dalam penguatan kedaulatan pangan negara,” tambah Alie.
Koalisi menilai pengaturan FTA yang luas ini akan menimbulkan potensi dampak yang luas terhadap kebijakan pangan dan kedaulatan petani. Dengan demikian, sangat penting mendesak pemerintah untuk segera mengkaji kembali dampak dari bebagai upaya liberalisasi atas pangan melalui perjanjian perdagangan bebastermasuk RCEP tidak hanya dari segi ekonomi, melainkan juga kajian dampaknya terhadap pemenuhan dan perlindungan HAM, khususnya pada aspek hak atas ekonomi, social, dan budaya (Ecosoc Rights).
Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP menggagas perjanjian perdagangan bebas antara 10 negara anggota Asean dan 6 negara yang meratifikasi FTA. Perundingan RCEP secara resmi dimulai pada November 2012 saat Asean Summit di Kamboja. RCEP dinilai sebagai alternatif dari perjanjian dagang Trans-Pacific Partnership (TPP) yang melibatkan Amerika Serikat tanpa India dan China.