Pernyataan Pastoral dan Dialog Tidak Setara:
Tanggapan terhadap Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT tanggal 28 Mei 2016.
Saya diminta oleh MPH PGIW DKI Jakarta untuk memberi tanggapan tentang Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT tanggal 28 Mei 2016. Pernyataan Pastoral ini ternyata menimbulkan banyak komentar dari berbagai kalangan di PGIW DKI Jakarta. Saya mempelajari sebagian Pernyataan Pastoral tersebut, dan memberi komentar sebagai berikut:
1.Pada bagian awal Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT tanggal 28 Mei 2016 menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan ini adalah sebuah ajakan kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih lanjut. MPH PGI akan sangat berterima kasih jika dari hasil pendalaman itu gereja-gereja dapat memberikan pokok-pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH PGI untuk menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah ini. Ajakan ini tentu baik, tetapi sayangnya, alat yang digunakan mengajak dialog gereja-gereja ini dalam bentuk Pernyataan Pastoral. Ini suatu dialog tidak setara, dan dialog tidak setara tidak sesuai dengan demokrasi.
2.Di bagian Penutup, yaitu butir 13 Pernyataan Pastoral ini menyatakan sebagai berikut: LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan karena kitalah yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang matang, rendah hati, rasional serta kemampuan bersikap adil dalam menyikapi kasus ini. Kita harus menjauhkan diri dari kecenderungan menghakimi atau menyesatkan siapapun. Sebaliknya, kita harus belajar membangun persekutuan bangsa dan persekutuan umat manusia yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan. Dengan butir 13 ini, MPH PGI telah merendahkan pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan mereka tentang LGBT, dengan menyatakan bahwa mereka itu tidak matang, tidak rendah hati, tidak rasional, dan menyesatkan. MPH PGI berhak menyatakan Sikap dan Pandangannya, tetapi harus diingat, pihak lain juga berhak menyatakan pemikiran yang berbeda. Jangan karena berbeda pendapat, langsung dicap tidak matang, tidak rendah hati, tidak rasional, dan menyesatkan.
3.Masyarakat luas, termasuk masyarakat Kristen memiliki persepsi negatif terhadap LGBT. Dan kalau MPH PGI menganggap persepsi seperti ini tidak matang dan tidak rasional, sebaiknya MPH PGI membuka dialog yang setara dengan gereja-gereja dan berbagai pihak yang berkepentingan. Bukan dengan menyebarluaskan Pernyataan Pastoral kepada Pimpinan Gereja Anggota PGI, seolah-olah gereja-gereja anggota PGI adalah pengikut MPH PGI. Secara prosedural, pengambilan kesepakatan tentang berbagai hal prinsip, seperti tentang LGBT, saya pikir bukan kewenangan MPH PGI, tetapi adalah kesepakatan bersama gereja-gereja anggota PGI. Dan oleh karena itu kesepakatan tentang LGBT seharusnya dibicarakan di Sidang MPL PGI dan atau Sidang Raya PGI, dan kemudian kesepakatan itu dijalankan oleh MPH PGI.
4.Sesuai dengan pemikiran diatas, saya usul agar Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT tanggal 28 Mei 2016 ditarik dari peredaran, dan kemudian pembicaraan tentang LGBT dimulai lagi dari awal, misalnya dengan membuka dialog yang setara di PGI Wilayah, dan kemudian dilanjutkan ke Sidang MPL PGI dan atau Sidang Raya PGI. Apapun hasil pembicaraan tersebut nantinya, itulah yang akan dijalankan oleh MPH PGI.
Demikianlah komentar saya, dengan harapan bisa ikut serta memberi sedikit masukan yang berguna bagi kita masyarakat Kristen di Indonesia, dan tentu juga bagi masyarakat luas.
Jakarta 23 Juni 2016.
Salam.
Merphin Panjaitan.
(Salah Seorang Penasehat Persatuan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI)