Oleh: HMT. Oppusunggu
Excellent, excellent! Sdr. Dorpi mengirimkan email saya kepada Rizal Ramli dan bukan langsung kepada Presiden Jokowi sesuai dengan yang saya maksudkan semula. Dan seperti saya duga, Rizal tidak bakalan akan memberi reaksi apa-apa, karena Menko menyadari dari tulisan saya bahwa Rizal memang menyadari telah melakukan penyelewengan dari prinsip-prinsip ekonomi-mikro, lebih-lebih dari teori ekonomi-makro.
Rizal memperlihatkan dirinya bukan sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya. Tidak soal baginya apa cakupan ke-Menko-annya, yang dihadiahkan Presiden Jokowi padanya. Pokoknya dia memperoleh kesempatan mempertontonkan ke- jagoan-nya- sebagai Koboi Kabinet Jokowi- menunggangi sapi liar Kabinet tersebut: tembak sana-sini, jatuh-bangun dari sapinya tanpa cidera apa-apa, mengepret Menteri BUMN mengenai soal pembelian 30 pesawat baru oleh GIA, mengepret atasannya Jusuf Kalla yang ditantangnya berdebat-kusir di muka umum dan terakhir mengepret Lino, Ketua Pelindo II.
Namun, khusus mengenai pengepretan Lino yang dianggapnya seorang kecil saja, ke-algojoan Rizal mampet total karena hasilnya nihil saja = Rizal hanya pinter memperagakan show dan showmanship saja = memperontonkan acting, tapi bukan action … ya, seperti Kabinet Kerja Presiden Jokowi sendiri, yang ternyata kerja-kerja tapi tanpa kerja saja. Baru sesudah hampir satu tahun lamanya, capek bekerja keras, Presiden Jokowi mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang ini berlangsung MELAMBAT…-namun belum krisis, sambung Presiden.
Ternyata pula ke hadapan cowboy Rizal, bahwa Lino yang hendak dikepret Jendral Buwas, Kabareskrim Polri, berdasarkan dugaan korupsi besar-besaran dari Lino, justru sebaliknya, Jendral Buwas sendiri yang justru kepepret dan dicopot serta dipindahkan.
Bila kembali sebentar pada persoalan pengempretan koboi Rizal atas Lino, Ketua Pelindo II, akan ternyata bahwa yang hendak dipertikaikan melulu soal tetek bengek saja mengenai dwelling time bongkar-muat peti kemas impor di pelabuhan Priok, yang memerlukan 5-7 hari, yang dianggap Rizal meminta perongkosan yang jauh lebih tinggi ketimbang perongkosan dari dwelling time yang berlangsung di Malaysia, Thailand, Singapura. Kata Rizal lagi, dwelling time Priok bisa saya kurangi menjadi di bawah 3 hari saja. Tambahan pula –kata Rizal- ada pembiaran permainan mafia korupsi Lino di sana, melalui kesengajaan membiarkan permainan perpanjangan dwelling time melalui pelanggaran sistem ‘first come first serve’ dan campur aduk ‘sistem jalur hijau-jalur merah’ dari bongkar muat peti kemas di Priok.
Wajar sekali dwelling time di Priok akan lebih tinggi ketimbang di negara-negara ASEAN, karena volume impor Indonesia jauh lebih raksasa ketimbang yang berlangsung di negara-negara kecil ASEAN. Hanya saja Lino tidak memperhitungkan bahwa dwelling time Priok bisa di kurangi apabila impor Indonesia jangan terlalu dikonsentrasikan ke Priok saja tapi dibagikannya ke Pelabuhan Semarang, Surabaya, Palembang atau Belawan juga.
Tapi yang paling keliru dari Koboi Rizal, adalah tindakannya untuk melakukan reinvestasi untuk menghidupkan kembali angkutan lama kereta api ke pelabuhan Priok demi menggantikan sistem angkutan mobil truk yang dijalankan Lino sekarang ini. Tanpa melakukan feasibility study terdahulu, mengenai perbedaan ongkos antara kedua sistem Rizal dan Lino tadi. Rizal langsung saja memperagakan keunggulan sistemnya dengan secara demonstratif memulai pengeboran dan menghilangkan beton yang menutupi rel kereta api lama.
Timbul pertanyaan apakah penggantian sistem angkutan tadi, lebih-lebih pengeboran beton yang langsung dikerjakan oleh Menko sendiri itu, bisa digolongkan termasuk wewenang Menko Maritim dan Sumber Daya… Nomenklatur ke-Mengko-an Rizal yang diciptakan Presiden Jokowi tersebut ngawur total. Namun, pokonya: Rizal menerima jabatannya asalkan bisa mempertontonkan kejagoannya yang melebihi keahlian rekan-rekannya.
Bukti kekeliruan fatal Rizal dibuktikannya sendiri pula, dengan sama sekali tidak memperhitungkan, bahwa reinvestasi barunya dalam mengembalikan angkutan kereta api lama, mengharuskan dwelling time Priok justru menjadi lama tak karuan, karena harus ‘dimogokkan-hilang’ dan beralih menjadi dwelling time puluhan bulan, selama menunggu selesainya angkutan kereta apinya Rizal. Ditinjau dari sudut ekonomi makro, menjadi pertanyaan prinsipiil pula, apakah Rizal tidak melakukan kekeliruan fatal makro-ekonomi, karena sistim baru dari Rizal sama sekali tidak memperhitungkan reinvestasi-mikro angkutannya bersangkutan sebagaimana mestinya dalam rangka investasi makro nasional yang seyogianya harus terlebih dahulu disediakan Bappenas dalam rangka rumusan dari sebuah perencanaan pembangunan ekonomi dan investasi nasional. Namun, baik Bappenas, lebih-lebih Rizal, melulu buta huruf total dalam ilmu perencanaan ekonomi.
Anak-anak sangat suka nonton film cowboy. Tapi rakyat miskin merasa muak nonton koboi Rizal, yang hanya meperagakan acting, show dan showmanship melulu. Namun demikian, apakah memang ada satu orangpun dari Kabinet-Kerja Jokowi sekarang ini yang benar-benar kerja tanpa melakukan showmanship? Rakyat miskin justru merasa muak dan menjijikkan menonton sandiwara para Menteri dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Presiden Jokowi sendiri.
Di Indonesia Peragawan-top dari showmanship dilakukan oleh:
1. DPR yang menurut Trias Politica hanya Badan Legislatif tok, tapi telah menodai UUD 45 dengan memasukkan hak anggaran menjadi tugas DPR (BANGGAR) juga dan dengan demikian mencaplok sebagian tugas Badan Eksekutif Departemen Keuangan (APBN). Makanya yang hanya dipentingkan DPR bukan keharusan merumuskan Undang-Undang, tapi 5D melulu: Datang, Daftar, Duduk, Diam-ngantuk, DUIT.
2. Gubernur Bank Indonesia –yang nota bene sama sekali buta huruf dalam ilmu moneter dan ilmu-ke-Bank Sentral-an, membiarkan kurs Rupiah melambung terus, sambil melemparkan faktor penyebabnya pada Bank Sentral USA (The Fed) yang –kata Gubernur BI- membuat kurs Dollar menguat. Sementara itu Gubernur sama sekali tidak tahu dan menyadari bahwa UU BI No.23, 1999 palsu dan abal-abal belaka dan otomatis Gubernur buta huruf total tentang cara-cara ilmiah –yang dirumuskan dalam Undang-Undang Bank Sentral sebagai pegangan untuk mengawasi kurs Rupiah.
3. BAPPENAS, yang terparah showmanshipnya. Bappenas sama sekali buta huruf dalam ilmu perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan oleh karenanya tidak mungkin sanggup untuk merumuskan sebuah Rencana Tahunan atau 5 Tahunan yang seyogianya merupakan landasanan komprehensif dan integral bagi laju pertumbuhan ekonomi dan bagi prioritas pemakaian investasi-investasi dalam sektor-sektor ekonomi. Struktur ekonomi sekarang ini justru didominasi terus oleh sektor primer –pertanian.
Kenyataan 12 bulan belakangan ini sejak bertugasnya Presiden Jokowi, membuktikan secara syah dan meyakinkan, bahwa seluruh Kabinet-Kerja-Jokowi melakukan kerja, kerja dan kerja untuk tidak melakukan kerja. Presiden sendiri baru sekarang mengakui adanya keterlambatan-pertumbuhan ekonomi, yang akan diatasi Kabinet Kerja –kata Presiden- mulai 2016. Lagi-lagi, ini showmanship Presiden sendiri belaka. Kami sendiri telah sejak lama meramalkan bahwa menjelang akhir 2015, rakyat miskin Indonesia akan berada dalam malapetaka krisis-ekonomi.
Dalam buku ‘Indonesia Dijajah Kembali Oleh Bangsanya Sendiri’, tulisan HMT Oppusunggu dan Kwik Kian Gie, 2012, dapat kita baca, hal. xxi-xxiii: …”Pembangunan oleh pemerintahan sekarang ini –tanpa ada rasa malu- berlangsung dengan penuh kebodohan dan blunder, diombang-ambingkan oleh keahlian amatiran belaka… Di samping korupsi-uang, menjelma dan meluas pula korupsi-ilmiah atau korupsi-jabatan, yang pada dirinya berdampak jauh lebih parah dari korupsi-uang.
Kita bisa melindungi diri terhadap si penjahat-uang, karena topengnya bisa kita buka dan enyahkan melalui perangkat hukum (KUHP, dll). Kejahatan-uang selalu mengandung benih-benih yang bisa membuat orangnya bertobat dan mau memperbaiki diri. Tapi sang koruptor-ilmiah, sekalipun jebolan universitas ternama di dalam atau di luar negeri, baginya tidak mempan kecaman ilmiah.
Akal nalar dan sehat sama sekali tidak berguna meyakinkan si ilmuwan untuk berubah sikap. Semua fakta penderitaan bangsa tidak perlu dihiraukannya. Ya, sekalipun buta huruf belaka atas tugas-tugasnya dalam jabatannya, mereka diangkat sebagai elite-pimpinan Negara dan menjalankan ‘the highest level of inefficiency”.
Agaknya yang diutamakan Presiden, bukannya prestasi Kabinetnya menyejahterakan rakyat, tapi supaya kepresidenannya mulus memperoleh dukungan penuh tanpa hambatan apa-apa.
Presiden dan Kabinetbya memperlihatkan kepiawaiannya bukannya pada leadersip, tapi pada showmanship –gelar pesona melulu.
Maksud Leadership di sini, memperlihatkan keberanian yang didasarkan pada kepribadian kuat yang disertai keyakinan, bahwa visi yang diperjuangkannya mengandung kebenaran dan tanpa keraguan bersedia menerima risiko dari tindakannya apa pun akibatnya. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Leadership memperjuangkan kebesaran bangsa dan Negara.
Sedang Showmanship, timbul dari kepribadian penuh kebimbangan beserta keraguan dan oleh karenanya tidak muncul keberanian untuk mengambil risiko kalau-kalau tindakannya gagal untuk mengubah suatu keadaan. Showmanship memperjuangkan kebesaran nama pribadi. Semua tindakannya –salah atau tidak- dipertahankan melalui retorika dan lipservice sebagai pembenaran (justification). Sering pembenaran tersebut mengandung kebenaran setengah-setengah, dongeng dan khayal.
Hilangnya leadership dan meraja-lelanya showmanship membuat Presiden dan Kabinetnya tidak sanggup menggunakan sepenuhnya potensi kekayaan alam Indonesia.
Presiden dan tim ekonominya buta huruf saja dan sama sekali tidak memiliki keahlian apa-apa tentang seluk beluk pembangunan perekonomian kita …”.
PS: Buku “ Indonesia Dijajah Kembali…” tersebut di atas beserta email ini akan kami kirimkan per pos kepada Presiden Jokowi, semoga bisa disampaikan oleh Staf Kepresidenan. Terima kasih.
24-9-2015.
HMT Oppusunggu