Oleh: Pdt. Dr. S.A.E. Nababan
1. Mengingat tegoran Yesus agar para pengikut-Nya mengenal zamannya – tahu membedakan tanda-tanda zaman (Mat 16:3) dan dapat menilai zaman (Luk 12: 56) – saya mengajak kita untuk memahami zaman ini yang disebut The New Digital Age. Para ahli (Eric Schmidt dan Jared Cohen) mengatakan bahwa kini kita hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia fisik, yang telah berabad-abad dilalui, dan dunia maya, yang baru saja dengan sangat cepat berkembang oleh pengaruh gadget (hp,I-pad, komputer dsb). Masing-masing dunia ini mempunyai sivilisasi sendiri-sendiri, yang saling mempengaruhi dan ikut saling membentuk. Perkembangan kedua sivilisasi ini akan menghasilkan kesadaran egaliter yang lebih besar, keingingan akan transparansi yang lebih kuat dan ketertarikan yang terus meningkat akan hal-hal baru yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Cepatnya perkembangan ini adalah disebabkan keterhubungan (connectivity) oleh gadget tsb.
2. Pada waktu yang sama kita hidup dalam era globalisasi, yang ditunggangi roh zaman yang dirasuki ajaran neo-lib, yang terus merajalela dengan merangsang ketamakan (greed), mulai dari eksploitasi oleh korporatokrasi (istilah John Perkins, Confessions of an Economic Hitman) sampai kepada iklan-iklan yang membangkitkan kerakusan, terutama di kalangan anak-anak, remaja dan perempuan. Agama-baru dengan kuil-kuilnya dalam mal-mal dan hyper-markets sangat digandrungi orang, di mana mereka membawa persembahan mereka kepada dewa mammon zaman ini.
3. Di manakah Gereja dan apakah yang dapat dan harus dilakukan? Gereja – dalam arti semua orang yang percaya, warga jemaat dan pelayan, di tempat dan pekerjaan dan jabatan masing-masing. Reformasi mewariskan pemahaman imamat am orang-orang percaya (priesthood of all believers 1 Ptr 2:9), untuk menghilangkan perbedaan clerus dari warga jemaat yang lain, dan menghapuskan hierarki (pemerintahan yang kudus) yang juga ditunjukkan dalam pakaian dan jubah, yang diciptakan oleh clerus untuk menopang perbedaan ini. Semua orang percaya sama dan setara, mempunyai kharisma yang berbeda-beda dan pembagian tugas yang berbeda-beda. Di dalam Gereja tidak ada elit. Dan perbedaan kharisma dan tugas tidak perlu ditunjukkan dalam pakaian sehari-hari. Yang menentukan adalah “buahnya.” Itulah Gereja.
4. Egaliter – Dari awal sudah dikatakan bahwa manusia setara, mulai dari antara laki-laki dan perempuan (Kej 1:27 Maz 8:6), juga sekalipun ada perbedaan budaya, ras, status sosial-ekonomi (Gal 3:28). Transparansi – Dalam menentang kemunafikan, Yesus memperingatkan dalam Luk 12:2 “Tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui.” Ketertarikan – dari awal sampai akhir diimbau agar terus berpengharapan, bahkan rasul Paulus menyerukan “Bersukacitalah dalam pengharapan” (Rm 12: 2).
5. Mengapa Gereja – sekali lagi semua orang percaya! – seolah-olah tidak mengetahui, mengingat dan mentaati ini? Karena terperangkap dalam pemahaman lama dan kebiasaan usang. Kekristenan belum menyentuh bawah-sadar manusia, di mana bersembunyi “manusia lama”, yang tampil ke permukaan pada saat kesulitan, tercepit, atau menghadapi krisis. Gereja hampir tidak sempat dan tidak mampu “mengisi hati-nurani”- menginjili bawah-sadar – ini, karena larut dalam ritus-ritus serta seremoni agama warisan dan pembangunan gedung-gedung yang menyita waktu, harta dan tenaga.
6. Benar bahwa hakekat Natal adalah “yang di atas (Allah) datang untuk menjadi sama dengan yang di bawah (manusia)”, yang nyata kelihatan juga dalam penampilan, yaitu di kandang dan palungan sebagai simbol kesederhanaan. Agaknya Jokowi memahami zaman ini dan menangkap pesan hakekat Natal, sebagaimana terlihat dari semangat dan sikap egaliter-nya. Penampilannya juga sederhana, tidak dibuat-buat, berpakaian sederhana menentang penghamburan dan ke-luks-susan; langkahnya bergegas tidak seperti bebek, menandakan mau kerja-keras dan memburu waktu; blusukannya dan temu-mukanya tanpa pilih, bahkan mengutamakan yang terpinggirkan, memperkuat hal ini.
7. Di dalam sejarah umat Allah, pernah TUHAN menyebut Koresh “orang yang Kuurapi” (Yes 45: 1) dan Nebukadnesar sebagai “hamba-Ku” (Yer 25: 9) – keduanya bukan anggota umat Allah, bukan orang Israel. Tetapi mereka dipakai Tuhan sebagai alat dan agents untuk melaksanakan kehendak-Nya! Jokowi bisa menjadi orang yang diurapi TUHAN pada waktyu ini, menjadi hamba-Nya juga untuk mengingatkan Gereja akan apa dirinya dan untuk apa dia ada di tengah bangsa ini.
8. Bila Gereja mau ikut mengatasi kemiskinan, ketidak-adilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan, Gereja harus bertobat, “berubah oleh pembaruan budi,” harus mengadakan revolusi mental. Ini dapat dimulai dengan memahami zaman dan menyadari roh zaman ini. Lalu Gereja terpanggil untuk terus-menerus membarui dirinya, bila dia mau berguna dan melaksanakan tugasnya dalam zamannya. Bahkan hanya Gereja yang diperbarui dan yang terus-menerus membarui dirinya yang survive di masa depan, bukan gereja yang fanatik terperangkap dalam dogma atau tradisinya!!!
9. Dan secara khusus Gereja yang setia mengikut Kristus di zaman ini perlu menghayati dan menunjukkan komitmen atau kesetiaan terhadap “imamat am orang-orang percaya”, supaya semua terlibat dalam pengembanan missi Gereja dalam sinergi yang saling peduli. Selanjutnya harus diusahakan kesederhanan menentang penghamburan dan konsumerisme, ditanamkan penguasaan diri menentang kerakusan, ditunjukkan kepedulian menentang sikap egoisme dan eksklusivisme. Mengikuti panggilan Yesus untuk bertobat, mulai dari para pelayan agar bisa memberi teladan, adalah langkah pertama yang akan membawa harapan pembaruan. Dan pada dasarnya, hanya Gereja yang diperbarui dan terus membarui dirinya dapat ikut mengatasi kemiskinan, ketidak-adilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan.
Soritua Nababan