Hotben Lingga
Secara kuantitatif, umat Kristen Protestan saat ini merupakan komponen kedua terbesar dari total penduduk Indonesia. Dengan jumlah sekitar 30 juta jiwa (ada yang memprediksi 40 juta jiwa), Indonesia saat ini merupakan negara berpenduduk Protestan terbesar di Asia Tenggara. Dengan jumlah yang cukup signifikan ini, eksistensi, demografi, partisipasi dan sejarah Protestantisme di Indonesia patut menjadi perhatian dan kajian.
Protestantisme di Indonesia disebarkan oleh misionaris dari Eropa (Belanda, Jerman, Inggris) sejak abad XVI-XIX; kemudian oleh misionaris dari AS pada abad XX. Karena sejarah misi Protestan adalah sejarah denominasi/aliran; dan karena Protestantisme adalah agama aliran, maka kini hampir semua aliran Protestan telah hadir dan berkembang di Indonesia, seperti Lutheran, Reformed, Presbyterian, Baptis, Methodis, Wesleyan, Nazarene, Anglikan, Episkopal, Mennonite, Advent, Bala Keselamatan, Kongregrasional, Pentakosta, Karismatik, Full Gospel, Apostolik dan ratusan gereja independen.
Sekitar 80 % Gereja Protestan berhimpun dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dengan menghimpun 93 sinode gereja besar/utama, PGI menjadi payung, motor dan faktor penentu dinamika Protestantisme di Indonesia. PGI yang dahulu bernama Dewan Gereja-gereja di Indonesa (DGI) didirikan pada tanggal 25 Mei 1950.
Pergumulan dan Tantangan PGI
Ada tiga problem, pergumulan dan tantangan yang melatarbelakangi terbentuknya PGI, yaitu:
- Protestantisme merupakan gereja/umat yang terpecah-pecah dan tercerai-berai dalam banyak aliran, yang kurang bersatu, kurang saling menerima/menghargai, kurang dewasa dan kurang mandiri secara organisasi, teologi dan dana. Sehingga perlu disinergikan dalam sebuah wadah perwakilan. PGI didirikan dengan maksud untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan umat/gereja atau mewujudkan keesaan gereja (Yoh. 17:21-23). Persatuan dan kesatuan gereja dalam visi PGI bukanlah kesatuan ajaran/organisasi, tetapi lebih merupakan kesatuan/persatuan sebagai sebuah kebersamaan dan persekutuan yang saling melengkapi, melayani, membangun dan mengasihi. Faktor inilah yang melahirkan gerakan ekumene atau gerakan keesaan gereja. Dalam konteks kebangsaan, Gereja juga berupaya bersinergi mewujudkan persatuan, kesatuan dan kebersamaan antar umat beragama sebagai sesama anak kandung bangsa.Maka, PGI dapat disebut think-tank, wakil, lokomotif dan tangan kanan gereja Protestan di Indonesia
- Umat/gereja Protestan merupakan bagian integral dan entitas yang tak terpisahkan dari negara dan bangsa Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa umat dan tokoh-tokoh Protestan juga aktif berperan dalam pergumulan kemerdekaan dan problem kebangsaan baik sebelum terbentuknya NKRI maupun sesudahnya. NKRI eksis karena ada konsensus atau kontrak politik/ideologi antara pelbagai umat dan komponen untuk membentuk NKRI.
Karena itu, semua golongan dan umat (termasuk Protestan) mempunyai hak, saham, kedudukan, tanggung-jawab dan kewajiban yang sama dan setara untuk hidup, berkembang dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan.
- Umat dan gereja Protestan menyadari bahwa dirinya dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan syalom dan kasih Tuhan kepada seluruh rakyat/masyarakat Indonesia secara dialogis, humanis dan bermartabat. Kehadiran gereja merupakan karya, rencana dan manifestasi kasih Allah bagi bangsa Indonesia. Karena itu, gereja dan umat harus bersaksi, berkarya dan bersinergi, harus menjadi garam dan terang dan menghasilkan buah-buah kehidupan yang konstruktif dan relevan bagi bangsa.
Karena itu, dari sejak masuknya Injil ke bumi nusantara, gereja-gereja Protestan telah berupaya melaksanakan misi sebagai transformasi. Gereja telah berjuang untuk mengartikulasikan iman yang mengeksplorasi hubungan antara kekristenan dengan konteks lokal/pembangunan nasional; dan bergelut dengan problem-problem riil bangsa dalam segala aspek strategis kehidupan, seperti masalah kemiskinan, pengembangan SDM/pendidikan, penegakan HAM, demokrasi, keadilan sosial, kesehatan masyarakat, dll.
Gereja/umat Protestan telah cukup banyak berpartisipasi dalam bidang-bidang strategis seperti mendirikan banyak sekolah-sekolah terbaik (seperti BPK Penabur, IPEKA, PSKD, Methodist, Kalam Kudus, Petra, BOPKRI, Tiara Bangsa, Pelita Harapan, Harapan Bangsa, Bina Bangsa, dll); universitas (seperti: UKI, UKSW, UKDW, UK Petra, Nommensen, Maranatha, Methodist, UKIP, UKIT, UPH, UKIM, UKIP. UKAW, UKRIDA dll) dan rumah-sakit (seperti RS Cikini, RS Immanuel, RS Bala Keselamatan, RS Bethesda, dll).
Orientasi dan Paradigma Baru
Saat ini PGI akan berusia 65 tahun. Kalau dianalogikan dengan usia manusia, maka PGI telah memasuki masa matang, dewasa dan telah makan asam manis kehidupan. Pada usia memasuki 65 ini, seseorang/suatu organisasi bisa kelihatan tetap muda, segar, macho, keren, makin berwibawa, agresif, progresif dan makin produktif/kreatif. Atau bisa juga kelihatan tua, kerempeng, loyo, kusam, miskin, sakit-sakitan, tidak energis dan tidak kreatif/produktif lagi.
Menurut hemat kami, selama dua dasawarsa terakhir ini, dalam usia memasuki 65 tahun ini, PGI hanya tampil pas-pasan, minimalis, seadanya, tidak inspiratif dan berjalan/bekerja lambat. Umat kurang merasakan manfaat kehadiran/relevansi PGI dan tidak melihat ada sesuatu yang besar, signifikan dan transformatif yang dilakukan oleh PGI. Pemimpin-pemimpin PGI kebanyakan memimpin secara normatif, biasa-biasa saja. Tidak melakukan terobosan besar. Hampir tidak ada program pembangunan/pengembangan umat/masyarakat yang menyentuh kepentingan riil umat Kristen yang dilakukan PGI selama dua dekade ini. Lembaga-lembaga yang ada di bawah PGI tidak dikembangkan secara progresif, RS PGI Cikini misalnya. PGI idealnya juga bisa membangun banyak RS dan universitas seperti PP Muhammadiyah yang mempunyai banyak RS, sekolah, universitas dan poliklinik dan karya-karya sosial lainnya.
Saat ini umat dan Gereja-gereja di Indonesia sedang menghadapi arus globalisasi yang penuh tantangan dan problema, baik yang bersifat global, lokal dan nasional, dalam semua bidang kehidupan. Gereja juga mengalami krisis dalam hampir semua lini, seperti krisis rohani, kepemimpinan, krisis finansial, SDM, konflik internal, dan lain-lain. PGI harus bisa tampil sebagai agen pembangunan, pencerahan, organisasi pemberdayaaan, dan sebagai tangan Tuhan yang kuat untuk problem Papua dan mayoritas kantong-kantong Kristen yang masih terbelakang/marjinal secara ekonomi dan sosial politik. Karena itu Gereja dan umat sangat berharap dan bergantung kepada PGI untuk dapat mentransformasi diri dari sekedar forum persekutuan/kerja-sama, menjadi lokomotif gereja yang kuat, transformatif, progresif dan inspiratif. PGI harus menjadi organisasi Gereja yang kaya, modern dan berkualitas, yang bisa membangun lebih banyak RS, universitas, sekolah, poliklinik, panti-asuhan, perusahaan dan karya-karya sosial kemanusiaan yang lain sehingga bisa mendatangkan terobosan, perbaikan, kebaikan, kesejahteraan, kebangkitan, kemajuan dan memberikan pengharapan yang realistis bagi segenap umat dan bangsa.
Dekade ini adalah dekade penentuan, PGI harus (dipaksa) bertransformasi diri dan bekerja all out untuk menjawab banyak tantangan-tantangan berat dan besar yang sedang digumuli bangsa dan gereja Tuhan. Dengan merubah orientasi dan paradigma dari sekedar wadah persekutuan dan perhimpunan gerejawi menjadi lembaga developer/pemgembang/pembangun(an) (developer institution), kehadiran PGI akan lebih bergaung dan diperhitungkan di masyarakat, bangsa dan Gereja. Dengan menjadi organisasi gereja yang kuat, transformatif dan progresif, umat dan bangsa ini dapat merasakan berkat dan kasih Allah secara lebih nyata. Sehingga gereja dan umat benar benar berfungsi sebagai garam dan terang dan saluran berkat Allah dan spirit bagi kemajuan dan kebangkitan bangsa yang masih dililit krisis multidimensi ini. Masa depan umat dan gereja sangat tergantung dan bergantung kepada PGI. Umat sangat berharap padamu! Selamat bekerja keras! Selamat menempati gedung baru!