PILKADA: MENEGAKKAN BENANG RAPUH
Oleh: Albertus M. Patty
Dalam kontestasi Pilkada di Indonesia, para pemimpin yang berlomba menghadapi dua jalan yang bercabang. Di satu sisi, ada jalan integritas dan keberpihakan kepada rakyat, sebuah jalur penuh tantangan di mana mereka harus menjaga janji mereka untuk melayani kepentingan publik. Di sisi lain, ada jalur yang lebih mudah, namun penuh jebakan: berpihak pada kekuatan oligarki yang menguasai sistem, dan menggunakan kekayaan serta kekuasaan untuk mempertahankan kendali.
Dalam pandangan Ernesto Laclau, politik adalah ruang penuh ambiguitas di mana berbagai kekuatan bersaing untuk menciptakan hegemoni. Dalam Pilkada, calon pemimpin menjadi figur sentral yang menyeimbangkan antara memenuhi ekspektasi rakyat atau menyerah pada gabuyngan kekuasaan politik dan ekonomi yang sangat besar. Mereka di persimpangan jalan, harus memutuskan apakah mereka akan menjadi simbol perjuangan rakyat atau hanya boneka yang digerakkan oleh oligarki.
*Oligarki sebagai Bayang-bayang*
Kekuatan oligarki yang mendominasi politik Indonesia adalah fenomena yang tak terlihat namun sangat nyata. Seperti rantai ekivalensi dalam teori Laclau, berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dapat dirangkai dalam narasi populis yang merangkul semua. Namun, di balik setiap slogan politik yang mengklaim membela rakyat, terselip kepentingan tersembunyi para pemilik modal. Idealisme politik tergadaikan. Orang mengalami tuna moral.
Calon yang berlomba di Pilkada sering kali dipaksa untuk memilih antara dua kutub: menggalang dukungan dari rakyat secara jujur atau mengamankan dukungan dari elite oligarki yang mampu menggerakkan mesin politik dengan kekayaan mereka. Jika mereka memilih jalan oligarki, rantai ekivalensi yang dibentuk dengan rakyat akan rusak. Apa yang tampak sebagai kebersamaan dan harapan rakyat, perlahan-lahan akan tercerai-berai oleh kepentingan finansial dan ekonomi.
*Politik Uang dan Hilangnya Kepercayaan*
Integritas menjadi taruhan besar dalam setiap Pilkada. Dalam banyak kasus, para calon menghadapi dilema moral: berlomba dengan penuh kejujuran atau tergoda menggunakan politik uang, plus politik agama. Seperti pertarungan di pasar gelap, politik uang menggoda dengan janji kemenangan cepat, tetapi dengan harga yang mahal: hilangnya kepercayaan publik dan runtuhnya moralitas
Laclau berbicara tentang bagaimana kepemimpinan populis yang autentik harus mampu menyatukan berbagai aspirasi rakyat. Namun, politik uang menghancurkan esensi itu. Uang gantikan ide, dan suara rakyat menjadi komoditas yang bisa dipertukarkan dengan janji-janji palsu. Alih-alih menyatukan rakyat dalam perjuangan bersama, politik uang (dan politik agama) menciptakan fragmentasi yang mendalam, mengikis hubungan antara pemimpin dan mereka yang seharusnya mereka wakili.
*Kritik Rakyat: Kekuatan atau Ketidakberdayaan?*
Di tengah pertarungan politik ini, rakyat seharusnya menjadi penentu akhir. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mereka bisa memiliki daya kritis yang cukup untuk memilih pemimpin dengan integritas sejati. Dalam perspektif Laclau, rakyat memiliki potensi untuk menjadi kekuatan hegemonik yang mampu menciptakan perubahan. Namun, tanpa pendidikan politik yang memadai dan akses informasi yang jujur, rakyat bisa terjebak dalam manipulasi retorika politik.
Rakyat Indonesia harus bisa membedakan mana pemimpin yang benar-benar melayani kepentingan mereka, dan mana yang hanya menjadi pelayan oligarki. Jika mereka memilih dengan daya kritis, rantai ekivalensi akan tetap terjaga, dan harapan akan pemimpin yang jujur bisa menjadi kenyataan. Namun, jika mereka terjebak dalam politik uang dan retorika populis yang kosong, demokrasi yang sehat akan berubah menjadi permainan kekuatan elite. Di ujungnya, rakyat sendirilah yang akan jadi korbannya.
Pilkada di Indonesia, dalam perspektif Laclau, adalah ajang kontestasi yang dipenuhi oleh dinamika kekuasaan. Pemimpin yang berkompetisi harus memilih antara integritas atau kepentingan oligarki. Politik uang menjadi ancaman bagi demokrasi yang sehat, dan rakyat harus memiliki daya kritis yang tinggi untuk memilih pemimpin yang benar-benar berpihak pada mereka. Seperti benang rapuh yang menjalin aspirasi rakyat, Pilkada membutuhkan keseimbangan yang halus antara kepentingan individu dan kolektif.
Maryland
15 Oktober 2024