IPC: Evaluasi DPR RI 2019-2024
“DPR Minim Oposisi, Partisipasi Dikebiri Dua Kali”
Jakarta, 30 September 2024
Ringkasan DPR periode 2019-2024 tercatat tidak membuat gebrakan yang berarti bagi masyarakat.
Tak ada oposisi yang bersuara kritis dan dan bernyali dengan pemerintah. Tercatat hanya satu
Pansus Angket Haji terbentuk di akhir periode DPR bekerja. Legislasi minim penolakan
fraksi-fraksi.
Sementara pelaksanaan anggaran tak terlihat kemajuan negosiasi DPR terhadap APBN untuk peningkatan porsi anggaran pelayanan publik.
Sementara itu, Mahkamah Kehormatan Dewan yang diharapkan dapat mengontrol para Anggota DPR dalam bekerja, tidak cukup kuat memberi sanksi etik.
Dampak Konfigurasi Koalisi-Oposisi Power Driven terhadap Kinerja Fungsi DPR Konfigurasi koalisi-oposisi di diharapkan terbentuk sebagai kelanjutan dari kompetisi dalam Pemilu 2019.
Berdasarkan hasil Pemilu 2019, komposisi antara partai koalisi pendukung Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno
diharapkan dapat menjadi awal untuk membangun tradisi koalisi-oposisi di Parlemen.
Kenyataannya, koalisi pendukung pemerintah dominan di parlemen.
Dinamika Koalisi-Oposisi DPR Periode 2019-2024
Pilpres 2019 2020 2021/2022 2023/Pilpres 2024 2024/Pilpres
2024 Koalisi PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Hanura (60,3%) PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Gerindra (74%) PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Gerindra, PAN (82%) Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, (45%) Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, Nasdem (56%).
Oposisi Gerindra, Demokrat, PAN,
PKS (39,7%) Demokrat, PAN, PKS (26%) PKS, Demokrat (18%) PDIP, PPP (26%) PDIP (22%) Tidak bersikap PKB, Nasdem, PKS (29%)
PPP, PKS, PKB (22%)
Sumber: website DPR, data diolah oleh IPC.
Terlihat dari pola koalisi pada Pilpres 2019, yang pada masa pemilu mengantongi 60,3% dari
partai-partai pendukung pasangan presiden terpilih Pemilu 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, bertambah menjadi 74% pada 2020, setahun pasca pemilu.
Lalu semakin gemuk menjadi
82% pada 2021 dan 2022. Presiden pemenang Pemilu 2019 memperoleh dukungan
mendekati mutlak pada tiga tahun pertama.
Peta koalisi-oposisi berubah drastis begitu memasuki masa pencalonan pada Pilpres 2024.
PDIP sebagai partai pengusung presiden pada Pemilu 2019 berubah menjadi partai oposisi
pada Pemilu 2024.
Kendati demikian, presiden terpilih Pemilu 2019 tetap memegang
mayoritas koalisi di Parlemen. Presiden terpilih Pemilu 2019 berganti haluan bersama
Koalisi Indonesia Maju yang berisi partai-partai pendukung Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Jika melihat perkembangan konfigurasi koalisi-oposisi di Parlemen, satu garis merah dapat
kita peroleh, yaitu hal yang mempengaruhi partai-partai untuk memposisikan diri sebagai
koalisi atau oposisi, bukanlah visi-misi dan komitmen untuk memperkuat demokrasi itu
sendiri.
Akan tetapi bergantung pada dimana kekuasaan eksekutif itu berada dimana gerbong pemenang pemilu berada. Tidak salah dengan pilihan ini, akan tetapi ada resikonya.
Dampak dari dinamika koalisi
yang seperti ini adalah minimnya suara penyeimbang di parlemen. Partisipasi publik tidak menjadi perhatian serius oleh DPR.
Mahkamah Konstitusi dalam satu putusannya terhadap
uji formil “omnibus law” UU Cipta Kerja, secara tidak langsung menyatakan kepada DPR
agar lebih mengedepankan meaningful participation, partisipasi yang bermakna.
Dengan kata lain, MK menunjukkan bahwa DPR belum sepenuhnya menjalankan partisipasi yang bermakna bagi masyarakat.
Keberhasilan uji formil di MK itu sekaligus membuka peluang bagi publik jika partisipasi mereka diabaikan di DPR, maka ujilah di MK.
Sayangnya banyak uji formil di MK ditolak karena pada nyatanya pembuktian bahwa partisipasi bermakna atau tidak berada di tangan DPR, yaitu dokumen-dokumen persidangan. Kondisi ini mempertegas bahwa partisipasi publik dikebiri dua kali.
Secara nyata, dinamika koalisi-oposisi di parlemen sebagaimana tergambar di atas, berdampak pada pelaksanaan fungsi DPR.
Dari hasil pemantauan, IPC mencatat bahwa sepanjang periode hanya 2 fraksi saja yang
menyampaikan penolakannya kepada RUU yang sedang dibahas. Sebagian besar RUU
dibahas tanpa ada dinamika yang cukup berarti.
Sementara itu, publik di luar gedung DPR
dengan lantang menolak dan memprotes terhadap sejumlah RUU yang sedang dibahas
oleh DPR.
Ini bermakna bahwa ada ketidaksinambungan antara suara penolakan dengan
aspirasi publik.
Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Sepanjang periode hanya 37% rekomendasi rapat
pengawasan DPR yang ditindaklanjuti oleh pemerintah. Sisanya, 67% rekomendasi DPR
tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah.
Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan DPR belum
cukup berdampak terhadap pemerintah. Selain itu, banyak rapat pengawasan DPR yang
bersifat normatif, dengan pembahasan yang kurang substansial. Kurangnya data yang valid dan ketidaksiapan anggota dalam mendalami isu-isu penting sering kali membuat rapat-rapat tersebut tidak menghasilkan evaluasi yang berarti.
Fungsi APBN sebagai alat distribusi kesejahteraan kurang mendapatkan perhatian DPR.
Merujuk pada angka tingkat pengangguran terbuka pada masa pra pandemi Covid-19, yaitu
5,23%, maka angka itu yang diacu dalam penyusunan APBN 2023.
Pada 2023, tingkat pengangguran masih di angka 5,32% dan 5,2% pada April 2024 (BPS:2024). Masih banyak angkatan pencari kerja yang belum terserap di lapangan kerja nasional. Tapi tampaknya porsi ini kurang mendapat perhatian serius dari DPR dalam membahas RAPBN yang pada akhirnya mengalokasikan anggaran terbesar (di atas Rp. 100 T) kepada K/L yang tidak berkaitan langsung dengan penguatan ekonomi.
Terakhir, Badan Kehormatan Dewan yang diharapkan mampu memberikan kontrol terhadap
kinerja Anggota DPR agar sesuai dengan kode etik yang sudah disahkan belum mampu
memberikan sanksi yang berarti. Fungsi proaktif MKD sebagai AKD yang bertugas untuk menertibkan Anggota DPR belum berjalan maksimal. Proses penanganan pelaporan dan keputusan tidak transparan dan tidak bisa diakses.
Tidak ada penilaian dan publikasi
mendasar seperti absensi kehadiran yang dapat dijadikan sebagai kontrol publik. Penurunan
peran MKD ini tentu berpotensi memberikan keleluasaan bagi Anggota DPR untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh kode etik DPR.