Penegakan Hukum Pidana Yang Berkeadilan.
Jakarta, Gramediapost.com
Penegakan hukum dalam acara rapat tahunan LBH-FPKB di Hotel Mustika Senen Minggu 9 Agustus 2020 oleh Houtlan Napitupulu sebagai Ahli Hukum Pidana dari Fak Hukum Universitas Bung Karno, berpendapat. Permasalahan yang sering muncul dan aktual dalam masyarakat adalah masalh pengertian Tindak pidana atau Strafbaarfeit. Sebab jika seseorang sudah dikualifikasi melakukan tindak pidana maka sanksi yang menantinya sudah siap berupa, penangkapan, penahanan, hingga penjara melalui putusan pidana yang inkrag oleh Hakim. Pada hal oleh masyarakat khususnya oleh pelakunya selalu memandang perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang ditandai dengan adanya perjanjian dua pihak, yang menurutnya jika ada pelanggaran atas perjanjian atau kesepakatan tersebut seyogianya penegakan hukumnya melalui peradilan perdata atas perbuatan wan prestasi atau perbuatan melawan hukum(pmh), bukan peradilan pidana. Untuk itu jauh2 waktu sebelumnya, para ahli pidana sudah memprediksi peluang pergeseran sengketa perdata itu menjadi sengketa pidana. Dimana para ahli pidana mengemukakan pengertian dan unsur tindak pidana terdiri dari lima unsur yaitu sebagai berikut,
1.Harus ada Perbuatan.
2.Perbuatan melanggar Undang-undang.
3.Perbuatan bersifat melawan hukum.
4.Dilakukan dengan Kesalahan dan
5.Pelaku dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Simon sebagai penganut paham Monoistis.
Memandang kelima unsur ini satu kesatuan, salah satu unsur tidak terpenuhi maka perbuatan bukanlah tindak pidana artinya Kepolisian sabagai garda terdepan dalam penegakan hukum pidana harus menolak laporan atau pengaduan yang menggiring perbuatan hutang piutang menjadi tindak pidana penggelapan pasal 372 KUHP jo penipuan pasal 378 KUHP, tetapi harus mengarahkannya melalui penyelesaian perdata, jika memang salah satu unsur dari perbuatan yang dilaporkan tersebut tidak terpenuhi.
Sebaliknya Prof Moelyatno penganut paham Dualistis berpendapat bahwa unsur tindak pidana terdiri dari Perbuatan/actus rea dan Pertanggungjawaban pidana/mens rea. Jika perbuatan sudah memenuhi unsur ada perbuatan, ada undang- undang yang mengatur dan melarang perbuatan tersebut dan ada sifat melawan hukum dari perbuatan maka perbuatan sudah menjadi tindak pidana.
Artinya asalkan tiga unsur sudah terpenuhi, perbuatan sudah disebut sebagai suatu Tindak pidana, maka polisi sudah bisa menaikkan status menjadi Penyidikan yang berfungsi untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, serta menemukan siapa sebagai pelakunya atau tersangka.
Tentu didahului dengan mengirimkan SPDP kepada kejaksaan untuk memonitor dan mensupport penyidikan oleh Kepolisian tersebut.
Selanjutnya untuk mengumpulkan alat bukti, dan agar pelaku tidak melarikan diri, penyidik menetapkan seseorang sebagai Tersangka yang melakukan tindak pidana tersebut, tentu didukung oleh minimal dua alat bukti sebagaimana disebut dlm pasal 184 KUHAP dan petunjuk/keyakinan bahwa tersangka adalah pelaku yang sesungguhnya. Jadi dengan sudah dipastikan perbuatan adalah tindak pidana maka dapat dipastikan pula, bahwa tersangka adalah pelaku tindak pidana karena sudah didukung oleh dua alat bukti dan keyakinan atau petunjuk tersangka sebagai pelakunya.
Tetapi jika perbuatan tidak dapat dipastikan sebagai tindak pidana karena berawal dari hutang piutang maka pastinya tidak ada pelaku atau tersangkanya, yang ada adalah pelaku perdata. Dengan penetapan seseorang sebagai tersangka maka sejak saat itu kepada yang bersangkutan sudah dapat dilakukan upaya paksa mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
Tentu disertai dengan pemenuhan syarat2 untuk itu, misalnya untuk penangkapan disertai dengan surat tugas dan Surat Perintah penangkapan dari atasan yang berwenang dan batas waktunya maksimal 24 jam, kecuali status Operasi Tangkap Rangan(OTT), begitu juga degan penahanan, yang boleh ditahan adalah jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimal 5 tahun dan tersangka dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, melarikan diri atau mengulangi tindak pidana..
Selanjutnya oleh penganut dualistis berpendapat bahwa unsur ada tidaknya kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkannya si tersangka adalah kewenangan pengadilan yang memutuskannya. Misalnya bahwa pelaku tidak bersalah karena tidak mengetahui dan tidak menghendaki akibat dari perbuatannya karena sakit ingatan, depresi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sipelaku karena yang bersangkutan melakukan perbuatannya karena terpaksa (pasal 48 KUHP), karena pembelaan terpaksa nodweer(pasal 49 KUHP) , Melaksanakan perintah atasan pasal 50 dan Melaksanakan perintah undang- undang. Penulis berpendapat bahwa KUHAP menganut paham dua listis meskipun tidak diatur secara tertulis tapi tersirat dari beberapa wewenang yang diberikan kepada penyidik.
Sehingga penyidik cukup hanya membuktikan tiga unsur dari perbuatan saja. Tapi menurut penulis, dalam rangka penegakan hukum pidana tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk menghukum seseorang, tapi juga memuat pembinaan dan perbaikan, maka sebaiknya yang dianut adalah paham monoistis artinya kelima unsur tersebut harus terbukti dari suatu perbuatan barulah perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagi Tindak pidana.
Sebab meskipun suatu perbuatan sudah memenuhi tiga unsur ada perbuatan, ada uu yang melarang perbuatan tersebut dan ada sifat melawan hukum dari perbuatan (ada kerugian materi), seperti dalam hal hutang piutang yang selalu diawali dari perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kerja sama, perjanjian hutang piutang dan sebagainya, ketika pelaku tidak dapat memenuhi kewajibannya maka pelaku dilapor melakukan penggelapan atau penipuan, dan karena ada kerugian dianggap sudah melawan hukum, pada hal melawan hukumnya adalah melawan hukum perjanjian dan kerugian yang timbul adalah kerugian perdata/perjanjian artinya sipelaporpun sudah pernah dapat untung dari hubungan perdata tersebut, tapi karena yang dianut adalah paham dualistis yang memandang soal salah tidaknya si pelaku dan tidak dapat dipertanggungjawabkannya sipelaku adalah urusan pengadilan sehingga upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan sudah dilakukan dan terdapat beberapa kasus, dimana putusan pengadilan menyatakan terbukti terdakwa melakukan perbuatan tetapi perbuatan terdakwa bukan tindak pidana.
Oleh sebab itu terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan jaksa. Maka bagaimana dengan penahanan yang sudah terlanjur dijalani oleh terdakwa, kalaupun ada ganti rugi apa ganti rugi tersebut bisa mengembalikan kebebasabnya kembali.
Kesimpulan, Untuk menghindarkan derasnya gugatan praperadilan dan adanya putusan onslag/lepas dari pengadilan sebaiknya penyidik tetap memandang tindak pidana terdiri dari lima unsur sebagai satu kesatuan, sehingga jika penyidik menilai bahwa perbuatan yang terjadi seperti pembunuhan terhadap pelaku begal sepeda motor oleh korban di Bekasi, tidak memandangnya sebagai suatu tindak pidana sehingga tidak perlu kasus2 seperti itu masuk dalam proses pengadilan, atau karena pelaku sakit ingatan, atau karena kesalahan adalah wan prestasi, maka kasus- kasus tersebut cukup diselesaikan di tingkat penyidikan saja dengan menerbitkan SP3.
Terimakasih.