MASIH PERLUKAH SAINS, FILSAFAT DAN AGAMA?
Oleh: Bambang Sugiharto.
Judul ini bukanlah sekedar pertanyaan retoris dengan jawaban yang sudah jelas. Judul itu lebih hendak menunjukkan suasana ketidakpastian mendasar yang dihadapi peradaban manusia di awal millennium ketiga ini, akibat gelombang kritik dasyat atasnya yang akhir-akhir ini muncul secara tak terelakkan dari perkembangan kesadaran bangsa manusia sendiri.
Sains, filsafat dan agama –pillar-pillar utama peradaban- akhir-akhir ini telah mendapatkan berbagai kritik mendasar yang memaksa kita untuk meninjau kembali hakekat masing-masing bidang itu beserta posisinya dalam peradaban manusia hari ini dan nanti. Orasi ini hanya akan melukiskan pemetaan global saja, yang dimaksudkan sebagai perangsang untuk me-refleksi ulang kiprah perguruan tinggi sebagai institusi yang mengelola pillar-pillar peradaban tersebut, maupun kinerja masing-masing kita didalamnya sebagai pribadi.
Sains.
Suatu saat ketika Museum of American History diminta mengadakan pameran tentang perkembangan sains di Amerika, para penyandang dananya sebetulnya berharap melihat kecanggihan pencapaian-pencapaian mutakhir di bidang sains.
Namun ternyata yang mereka dapatkan pada katalog adalah persis kebalikannya : deretan bencana akibat kiprah dunia ilmu dan teknologi, yaitu perusakan lingkungan yang parah, senjata pemusnah masal, peracunan makanan oleh berbagai zat kimia, robotisasi industri yang mengancam para buruh pabrik, ketidakadilan sosial, berbagai eksperimen tak bermoral, dsb.dsb. [2]
Bagi manusia jaman ini sains rupanya bukan lagi sesuatu yang sangat mengagumkan. Kalau pun masih tersisa kekaguman, maka itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan.
Yang mencemaskan dan mencurigakan bukanlah akibat-akibat negatifnya saja, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yakni sisi-sisi ideologis, kerangka dasar ontologis, beserta doktrin-doktrin metodologisnya.
Kaum feminis , misalnya, suka sekali membayangkan kiprah ilmu dan teknologi sebagai salah satu benteng kokoh dominasi perspektif patriarki. Di sana realitas, khususnya alam, bagaikan kaum perempuan yang tak berdaya dieksploitasi, diinterogasi dan dipaksa untuk membukakan rahasia-rahasianya.
Paul Feyerabend –fisikawan yang berkiprah dalam filsafat ilmu- telah menohok sisi ideologis sains yang baginya telah menjadi opressif terhadap jenis-jenis pengetahuan lain, sama dengan kelakuan agama di masa pra-modern. Jenis-jenis pengetahuan tradisional, klenik, dsb. cenderung didiskreditkan dihadapan sains, sementara bagi Feyerabend, sains sendiri sebenarnya tak memiliki otoritas lebih dibanding ilmu pengetahuan lain.
Secara ontologis, gambaran dunia (worldview) Newtonian yang material-atomistik ala sains pun makin hari makin diragukan. Meskipun hingga kini masih problematis dan masih diperdebatkan, toh melalui Fisika Kuantum ada tendensi makin kuat kini untuk melihat materi / masa sebagai interkonvertibel dengan energi, atau partikel interkonvertibel dengan gelombang. Artinya ada tendensi kuat untuk melihat unit terdasar realitas sebagai non-material.
Dan lebih jauh lagi, juga bertentangan dengan paham Newtonian, segala hal kini cenderung dilihat sebagai saling terkait dalam suatu jaringan interdependensi keseluruhan.[5] Bahkan pandangan dasar sains yang cenderung “substansialistik” pun kini berubah ke arah pengutamaan “flux” (aliran) atau pun “web” (jaringan), yang niscaya mengubah pola berpikir tradisional sains ke arah yang secara radikal berbeda.
Dan pada tingkat sosio-kultural, revolusi elektronik membuat kita makin hari makin hidup dan berinteraksi pada tingkat “virtual” dalam ruang-ruang maya. Aliran gelombang elektron makin memungkinkan kita berinteraksi tanpa terlalu tergantung lagi pada kondisi fisik material. Kontradiksi klasik antara tubuh dan jiwa kini pun menjadi terasa kuno.
Secara epistemologis dan metodologis, filsafat ilmu telah menyingkapkan betapa konsep-konsep pokok dalam dunia sains macam “penalaran logis”(rasionalitas), “kebenaran”,”obyektivitas”, “ observasi” dsb. sebetulnya sangat bermasalah.
Logis atau tidak logis , rasional atau irrasional, kini dilihat erat terkait pada gambaran dunia (worldview) yang partikular dan struktur bahasa yang digunakan.
Berbagai kultur memiliki gambaran dunia yang khas dan struktur bahasa yang khusus. Dan ini melahirkan cara berpikir dan logika yang khas pula. Gambaran dunia ala Hindu melahirkan logika tentang Chakra, atau gambaran dunia ala Taoisme misalnya melahirkan logika unik tentang jalur-jalur meridian dalam praktik akupunktur.
Dan logika-logika tersebut memang merupakan cara berpikir yang sungguh berbeda dengan cara pikir sains yang gambaran dunianya pun lain.
Logika tidaklah mesti satu seperti diyakini dahulu. Konsep tentang “kebenaran” pun telah berubah, kini orang menemukan berbagai kemungkinan arti konsep tersebut. Kebenaran bisa dilihat secara berbeda dari sudut korespondensi, koherensi, pragmatis, performatif, eksistensial, disclosive atau pun relasional.
Yang jelas, kini secara umum ada keyakinan bahwa dalam dunia manusia tak ada realitas yang murni tanpa tafsir. Segala pernyataan tentang realitas yang kita buat adalah selalu tafsiran versi manusia. Yang dahulu diklaim sebagai “hukum alam” oleh sains, kini hanya dilihat sebagai produk sementara hasil tafsir manusia yang memiliki tingkat kemungkinan tinggi.
Alam sendiri persisnya bagaimana hukumnya tak sepenuhnya bisa kita ketahui, atau bisa dirumuskan dengan berbagai kemungkinan. Yang dapat kita tangkap hanyalah aspek-aspek tertentu saja dari perilaku alam itu.
Tentang “obyektivitas” pun kini tak mungkin lagi kita membayangkannya sebagai sesuatu yang “murni” sesuai dengan kenyataan alamiahnya. Tiap klaim tentang obyektivitas adalah hasil observasi. Dan observasi tak pernah netral, selalu dipengaruhi imajinasi maupun horizon intelektual si pengamat, ditentukan oleh faktor retoris dan sosiologis dalam komunitas ilmuwan sendiri, maupun oleh faktor historis yang membuat ilmuwan sudah selalu berpikir ke arah tertentu tanpa disadari, dsb.dsb.
Obyektivitas kini hanya bisa dimengerti sebagai “Konsensus intersubyektif”. Pendeknya, ada begitu banyak persoalan intern yang dihadapi oleh sains, yang akhirnya menunjukkan bahwa hasil dari sains sebetulnya tendensius, diliputi banyak unsur “kepercayaan” dan kebiasaan, tak sepenuhnya obyektif-murni dan netral-universal, dan dalam kiprahnya bermuatan kepentingan ideologis tertentu.[6]
Akibat dari semua kritik itu maka kini kita menyaksikan suatu jaman baru di mana segala jenis pengetahuan tradisional , astrologi, prana, klenik, dan berbagai bentuk pengetahuan supranatural (yang secara ganjil biasa disebut pengetahuan “Metafisik”)yang dahulu diharamkan kini dengan leluasa hidup berdampingan dengan sains.
Dalam berbagai kasus sains justru belajar dari berbagai jenis pengetahuan aneh itu. Sedangkan para saintist yang masih setia pada kerangka positivisme klasik dengan segala kaidah obyektivistik-empiris-kuantitatifnya kini kerap dituding sebagai kaum reduksionis sempit atau para pengidap realisme-naïf yang kedaluwarsa. Tentu tudingan itu masih perlu diperdebatkan, sebab perkaranya sesungguhnya cukup kompleks.
Filsafat
Sepanjang sejarahnya filsafat telah berusaha untuk mengatasi tegangan antara kecenderungan akal untuk membentuk kerangka teoritis formal tentang realitas kehidupan ini di satu pihak, dan di pihak lain kenyataan bahwa realitas kehidupan dialami sebagai sesuatu yang senantiasa mengalir, berubah, tanpa bentuk yang pasti dan menyangkut demikian banyak aspek sekaligus.
Plato meyakini bahwa refleksi akal budi manusia mampu menyaring peristiwa-peristiwa real yang partikular dan unik dalam rangka mendapatkan idea yang inti, abadi dan universal. Dan fokus refleksi mesti diarahkan pada persoalan “kebenaran” yang bersifat abstrak.
Aristoteles agak lain prosedurnya. Yang inti dan universal itu tidak didapatkan terutama melalui refleksi. Hakekat dari realitas itu terdapat dalam kenyataan duniawi ini, dalam gerakan dan perubahannya.
Maka yang diperlukan bukanlah merenungi kebenaran pada tingkat abstrak, melainkan memahami hakekat gerakan dan perubahan itu sendiri saja. Tidak ada dunia abstrak ide-ide inti tersendiri. Abstraksi hanyalah prosedur cara kita memahami realitas konkrit.
Para filsuf abad pertengahan berada di antara kedua tradisi itu namun dengan keyakinan baru bahwa wahyu Tuhan menjamin ditemukannya inti semesta kehidupan. Realitas pengalaman sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu Tuhan akan membantu memahami realitas melalui rahmatNya dan penyelenggaraan-illahiNya sendiri. Pada tingkat formulasi manusiawi sendiri kita hanya akan sampai pada rumusan-rumusan negatif (teologia negativa), sebab bahasa-bahasa kita selalu terbatas. Di sini tentu saja filsafat lantas bercampur baur dengan teologi.
Pada abad tujuhbelas tugas filsafat dipahami secara lain lagi. Untuk Descartes, misalnya, tugas filsafat adalah membangun sebuah sistem pengetahuan yang akan mendasari segala bentuk pengetahuan lain (sains) dengan tingkat kepastian tinggi bagai kepastian matematis.
Kepastian dasar ditemukan pada penalaran itu sendiri :saya bernalar maka saya ada (cogito ergo sum). Berdasarkan proposisi-proposisi macam itu dilakukanlah penalaran dan penarikan kesimpulan lanjutan secara logis ketat. Sistem filsafat yang kokoh dan rasional akan muncul dari sana.
Empirisme Inggris sempat mengoreksi kecenderungan filsafat Cartesian yang menekankan sentralitas penalaran subyek itu dan mengubah fokus filsafat ke arah pengalaman inderawi konkrit. Hasil material dari gelombang empirisme ini memang sangat meyakinkan
Sains berkembang pesat dengan cara pengukuran, kuantifikasi dan penghitungan data dari pengalaman inderawi itu. Namun tendensi oversimplifikasi dan reduksionistik dalam empirisme ini toh tetap menggelisahkan dan merupakan persoalan yang tetap meradang di balik permukaan. Persoalan ini kelak akan muncul kembali di akhir abad 20.
Namun sementara itu pada abad delapan belas bagaimana pun juga sains beserta teknologi yang dihasilkannya memang menyilaukan pandangan. Perkembangan pengetahuan saat itu sangatlah mengundang antusiasme, sedemikian hingga hakekat “pengetahuan” dan “penalaran” menjadi tema utama permenungan.
Para filsuf abad pencerahan lalu percaya bahwa aneka ragam pengetahuan sesungguhnya hanyalah manifestasi saja dari akal yang universal dan homogen. Penalaran akal adalah sesuatu yang sama bagi setiap orang, setiap bangsa atau tiap jaman. Berbagai paham yang akar kulturalnya berbeda sekalipun bila direnungi akan sampai pada prinsip-prinsip rasional yang sama, permanen dan universal.
Maka berdasarkan “logika fakta” yang positivistic-empiristik, dikombinasikan dengan ambisi Cartesian yang rasionalistik, filsafat abad pencerahan terobsesi hendak mencari pondasi paling kokoh dan tak tergoyahkan bagi pengetahuan.
Tegangan yang mesti dihadapinya lalu adalah : di satu pihak secara “internal” subyek harus mengandalkan kemampuan logika nalarnya, di pihak lain ia perlu mencerminkan kenyataan “eksternal” juga seakurat dan sepasti mungkin lewat daya tangkap inderawinya.
Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi representationalism ini berlanjut terus sejak Descartes, Locke, Kant hingga Hegel, dan bermuara pada Husserl.
Persoalannya adalah bahwa, proyek ontologis macam itu de facto telah mendorong filsafat menjadi ego-logis, antroposentris dan monolitik; tapi juga mengakibatkan sains menjadi instrumentalistik.
Akibat dari ini semua adalah menguatnya sisi ideologis filsafat dan pengetahuan Barat , yang dampaknya adalah: segala jenis pengetahuan lain dianggap non-ilmiah dan tidak valid ( dalam politik ini menampakan diri dalam berbagai tendensi fasisme yang totaliterian dan destruktif); eksploitasi alam besar-besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang parah; meriapnya pola berpikir pragmatis instrumental yang menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan makna, dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas,dsb.dsb
Ambisi pencerahan itu bermuara pada Husserl, dalam arti bahwa di satu pihak ambisi Husserl sendiri adalah hendak membetot filsafat menjadi dasar ilmu pengetahuan yang paling logis ketat (rigorous science; strenge wissenschaft) sebagaimana dirindukan oleh tradisi metafisik Platonik-Cartesian, di pihak lain gagasan-gagasan yang dikembangkannya justru memberi peluang besar untuk menghancurkan ambisi metafisika itu sendiri, bahkan mengakhirinya. Memang ironis.
Salah satu gagasan pokok Husserl yang bagai pedang bermata dua itu adalah gagasannya tentang Lebenswelt atau Life-world, yaitu anggapan bahwa dunia yang paling dasar, paling primer dan paling real sebetulnya adalah dunia pengalaman yang dihayati sehari-hari, dunia pra-reflektif, dan pra-ilmiah, yang mengalir begitu saja, dengan bentuk yang tak jelas (amorf) dan sudah selalu multidimensi.
Dunia sains atau realitas ilmiah “obyektif” hanyalah konstruksi, idealisasi, abstraksi atau interpretasi atas dunia pra-reflektif primordial itu. Realitas pra-reflektif itu sendiri adalah sesuatu yang mengatasi kategori subyek-obyek.
Itu adalah dunia pengalaman asli di mana subyek dan obyek, beserta segala kualitas bercampurbaur. Sedang “pengalaman empiris” versi dunia sains sebetulnya bukan sungguh-sungguh pengalaman, sebab disana banyak kualitas penting dihilangkan berhubung tak bisa diukur atau diulang , misalnya : sentuhan, bau, perasaan, rasa moral, nilai, jiwa, kesadaran, bahkan ruh.
Fenomenologi Husserl ini , kita tahu, kemudian dikembangkan oleh Heidegger dan para filsuf yang mengikutinya (Gadamer, Ricoeur,dsb) menjadi tradisi Hermeneutik, yang kini membawa filsafat pada salah satu puncak otokritiknya yang menghancurkan diri sendiri dalam berbagai gelagat yang biasa disebut dengan istilah longgar “Postmodernisme” (yang kontroversial itu).
Namun refleksi lanjut yang sama pentingnya sebetulnya adalah dari filsuf Merleau-Ponty. Berangkat dari gagasan Husserl tentang life-world tadi, Ponty memperlihatkan bahwa persepsi adalah kontak primordial kita dengan dunia, satu-satunya modus untuk membentuk makna realitas (Being).
Pada dasarnya persepsi itu pra-sadar, pra-personal, dan mewujud lewat kebertubuhan kita. Kebertubuhan itu sendiri sebagian besarnya pra-sadar. Nah oleh sebab di sana kita berhadapan dengan realitas pra-sadar, maka filsafat (fenomenologi) adalah soal bagaimana mendeskripsikan realitas itu ke tingkat kesadaran, bukan pertama-tama soal analisis atau pun tafsir.
Persepsi adalah background yang melatari segala tindakan. Dan dunia bukanlah obyek, yang hukum-hukumnya tinggal kita tangkap saja. Dunia adalah medan alamiah kesadaran. Kesadaran yang akhirnya menyadari ketergantungannya pada ketidaksadaran, pada kehidupan pra-reflektif.
Konsekuensi penting dari hal ini adalah bahwa gagasan kita tentang “inti terdalam” atau “essensi” realitas bukanlah tujuan filsafat, melainkan sarana saja untuk mengenali dan memberi makna keterkaitan pra-sadar kita dengan dunia. Kita terlampau menyatu dengan dunia itu untuk bisa menyadari hidup kita sendiri, maka kita membutuhkan gagasan-gagasan itu untuk menaklukan dan menyingkapkannya.
Kesatuan dasar dengan dunia itu lebih langsung tampil dalam rupa perasaan, hasrat, perilaku, dan penilaian spontan, ketimbang dalam pengetahuan obyektif ilmiah. Perasaan, hasrat, dsb itu adalah semacam “bahasa sebelum bahasa”. Segala pernyataan tekstual dan ilmiah yang kita buat hanyalah berbagai upaya tak berkesudahan untuk mengartikulasikan dan menterjemahkan pengalaman kesatuan mendasar itu
Filsafat selalu mencoba menyelesaikan persoalan dengan mencari evidensi apodiktik atau mengacu pada kebenaran abadi. Tapi bagi Ponty kita sudah selalu berada dalam wilayah kebenaran, sudah selalu mengalami kebenaran, yaitu pengalaman menyatu dengan dunia tadi.
Maka dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat gravitasi filsafat dari kesadaran Subyek ke pengalaman kesatuan dengan dunia. Semua pengetahuan kita berakar pada postulat-postulat makna yang telah muncul sepanjang sejarah. Filsafat perlu memanfaatkan segala khasanah makna itu sambil tetap selalu memperkarakannya dalam kaitan dengan pengalaman konkrit
Dalam rangka itu misalnya, ketika kini muncul kesadaran baru bahwa realitas adalah jaringan hubungan-hubungan, maka dalam berfilsafat pun diperlukan metafor-metafor baru dan cara pandang baru.
Lama sekali filsafat Barat memahami realitas dengan metafor arsitektural. Para filsuf bicara tentang bagaimana membuat “bangunan“ sistem, mencari “pondasi” yang kokoh untuk itu, dsb.dsb. Barangkali metafor yang kini relevan adalah misalnya “jaringan hubungan”, bukan “bangunan” dan “pondasi”.
Deskripsi kita tentang keberadaan kita di dunia ini bisa berragam-ragam, dan itu mesti dilihat sebagai jaringan konsep dan model saja, yang tak mesti membutuhkan suatu “pondasi” tunggal. Segala jenis pengetahuan (ilmiah, klenik, tradisional, magis, mistik,dsb) itu di satu pihak masing-masing otonom, di pihak lain bersilangan bahkan bertumpang tindih dan saling terkait juga. Ilmu yang berkaitan dengan Chakra atau Prana, misalnya bisa bersinggungan dengan wacana tentang “energi” di bidang Fisika, atau dengan perkara “ruh” dalam wilayah pengetahuan mistik religius, dst.dst.
Di sana masing-masing ilmu bisa saling merumuskan diri lebih tajam melalui perbandingan dengan satu sama lain, sekaligus juga saling mengambil inspirasi dari masing-masing. Dengan demikian setiap bidang keilmuan bisa dilihat sebagai saling “bersarang” dan mendapat daya hidup dari satu sama lain.
Filsafat di sana lantas hanyalah membantu membawa pada kesadaran apa yang sesungguhnya terabaikan atau bahkan disingkirkan dalam sistem-sistem pengetahuan itu. Juga filsafat dapat memperjelas pola-pola pemahaman yang berlaku dalam tiap sistem itu, bagaimana interpretasi dan idealisasi pengalaman disana dipercayai dan dipertahankan, misalnya.
Maka filsafat tak lagi mesti menjadi suatu sistem yang “all encompassing” . Ia hanyalah perenungan reflektif lebih jauh tentang berbagai cara bagaimana realitas kehidupan ini dipahami dan bagaimana makna-makna diciptakan, dengan selalu mengaitkannya kembali ke medan pengalaman-pengalaman konkrit.
Bagi mereka yang belajar filsafat secara klasik, boleh jadi ini akan dilihat sebagai tahap ketika filsafat kehilangan identitas atau mengalami degradasi. Tapi dari sudut lain bisa saja ini dilihat justru sebagai proses evolusi.
Agama
Orang umumnya meyakini bahwa millennium ketiga ini ditandai dengan bangkitnya kembali kehidupan religius. Maka abad ini sering disebut sebagai abad post-sekular, abad dimana sekularisme atheistik dianggap tak lagi meyakinkan sebagai kerangka pandang.
Ada berbagai unsur yang telah mengangkat religiusitas kembali menjadi primadona, dan umumnya bukanlah karena daya tarik agama-agama itu sendiri an sich. Religiusitas bangkit sebagian karena ideologi-ideologi besar ambruk , sebagian lagi karena dunia sains sendiri akhirnya sampai pada fenomena-fenomena yang berkaitan dengan eksistensi suatu intelegensi kosmik transenden, sebagian lain karena kehidupan modern sekular akhirnya mengakibatkan gejala umum kekosongan batin mendalam, dsb.dsb.
Bersama dengan naiknya religiusitas, justru agama-agama tampil sebagai penuh persoalan. Ini memang ironis.
Agama bagaimana pun adalah produk dari perkembangan kesadaran bangsa manusia.
Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meski terasa simplistik toh ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal kehidupan agama bisa disebut sebagai periode “Arkhaik”, yaitu ketika agama-agama berfokus pada realitas ilahi yang metafisik dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang ketat.
Babakan kedua adalah periode “Axial” , yang bersama dengan munculnya para nabi macam di Israel, Persia, India, Cina hingga Arab fokus bergeser ke arah nilai etis. Kesalehan vertikal dalam ritual dan pengakuan doktrin tidak cukup, religiusitas menuntut komitmen nilai dalam hubungan manusiawi horizontal.
Babakan ketiga adalah periode “Modern”, ketika bersama dengan penyebaran ajaran, agama-agama mengalami pembakuan doktrin dan pembentukan jaringan institusi.
Pada tahap ini agama banyak berfokus pada perkara struktur. Struktur ajaran dalam rupa pernyataan (proposisi) verbal maupun wacana menjadi penting, tapi juga struktur organisatoris mengalami perluasan dan perumitan.
Agama menjadi “logo-sentris” alias sangat nyinyir dalam soal kalimat atau konsep, dan akrab dengan struktur-struktur kekuasaan. Etos yang menghidupinya adalah etos “tanggungjawab” sebagai “pemegang kebenaran paling murni”, tanggungjawab atas keselamatan bangsa manusia
Tapi persis karakter-karakter yang terakhir itulah yang juga menyebabkan agama saat ini menyandang banyak persoalan, yang tersingkap kini justru ketika situasi jaman menyeret agama ikut menjadi salah satu primadona juga.
Adalah idealisme tentang “tanggungjawab” itu yang juga telah sempat melahirkan kolonialisme serta berbagai tendensi ke arah penindasan dan kekerasan (perang, perbudakan, terorisme,dsb.).
Ketika proposisi tertentu “disucikan” sebagai doktrin, agama otomatis mendefinisikan tentang apa yang secara moral benar dan apa yang salah, apa yang dianggapnya “kodrat” apa yang bertentangan dengan kodrat.
Ini dengan mudah membawa konsekuensi bahwa segala ajaran lain yang bertentangan dengannya akan dicap sebagai tidak sesuai dengan “kodrat” kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan, maka umat pengikutnya pun bisa dianggap sebagai setan, ancaman berbahaya terhadap kemurnian, dan akhirnya perlu ditaklukan, dibasmi, atau dianggap saja warga kelas dua.
Semua itu justru karena rasa “tanggungjawab” itu. Berbagai peperangan dan kekerasan religius selama ini adalah manifestasi paling grafis dari tendensi tersebut. Semakin bersikukuh mencanangkan “kemurnian” kebenaran dan tanggungjawab, semakin besar tendensi agama-agama ke arah kekerasan.. Dan konsekuensinya : justru semakin tak meyakinkanlah konsep mereka tentang Tuhan bagi intelegensi jaman.
Namun yang lebih mengaburkan idealisme “tanggungjawab” adalah aliansi antara yang suci dan kekuasaan.
Dalam masyarakat pra-modern dahulu kekuasaan sekular tergantung pada penyuciannya (sanctification). Dengan konsekuensi, kekuasaan sekular merupakan semacam sarana bagi yang suci.
Dalam masyarakat modern sebaliknya, yang suci seringkali tergantung pada kekuasaan sekular. Konsekuensinya, yang suci menjadi sarana saja bagi kekuasaan sekular, terutama bagi kekuasaan politik atau pun bisnis.
Pada kedua kemungkinan itu tendensi korup dan kesewenangannya sama saja. Sisi tragis dari itu adalah bahwa korbannya tak lain kewibawaan dan kehormatan agama-agama itu sendiri. Semakin agresif dan kuat persekongkolan antara kekuasaan dan agama-agama, sebenarnya semakin kehormatan agama-agama itu sendiri terancam merosot dan rusak. Sayang ini tak mudah disadari.
Benar bahwa aliansi dengan kekuasaan sekular itu telah memungkinkan agama membangun peradaban-peradaban manusia yang dahsyat dan mengagumkan. Namun aliansi dan tendensi yang sama jugalah yang kini menjadikan agama-agama bertendensi patologis dan menjadikannya potensi paling destruktif yang mampu menghancurkan peradaban manusia, lebih dari senjata pemusnah massal apa pun.
Semua fenomena itulah yang mengakibatkan kini muncul tendensi baru , yaitu di satu pihak religiusitas memang bangkit, namun pada saat yang sama berkembang pula justru kecenderungan sikap sangat kritis-berjarak terhadap agama sebagai doktrin, sistem ritual maupun institusi; semacam tendensi post-dogmatis yang lebih berfokus pada pengalaman eksistensial dan transendental, “religion without religion”, kata John D.Caputo.
Tentu ini sekaligus beriringan dengan kutub lain yang persis kebalikannya, yaitu tendensi ke arah fundamentalisme yang dengan membabibuta memeluk sistem doktrin, ritual maupun institusi, seringkali karena panik dan tidak mampu menghadapi kemelut dunia yang sedang berkecamuk dalam aneka perubahan yang memang membingungkan.
Makin terasa kacau dunia ini, makin kuatlah tendensi ke arah fundamentalisme, makin kerdil martabat agama. Jaman ini memang ditandai dengan demikian banyak paradoks. Agama-agama besar , bila hendak dianggap masih berarti bagi peradaban, perlu menghadapi berbagai persoalan multidimensi itu.
Diperlukan semacam redefinisi, pemahaman-diri baru: mesti dipahami sebagai apa sebenarnya agama-agama itu. Jika tidak isu kebangkitan agama hanya akan merupakan ilusi egosentris yang kosong dan naïf.
Mendudukan Perkaranya
Tentang sains.
Hasil-hasil positif dari sains dan teknologi tentu tak bisa diragukan. Yang perlu diwaspadai adalah aspek ideologis dan paradigmatisnya.
Hasil-hasilnya yang memukau tak mesti berarti bahwa sains atau iptek harus dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran dan kesahihan pengetahuan. Intelegensi manusia masih jauh lebih misterius dan lebih luas daripada yang bisa dikategorikan oleh sains, apalagi oleh ilmu-ilmu eksakta.
Kini makin disadari bahwa kecerdasan di bidang religius (mistik), politik, bisnis, seni, apalagi klenik, dsb. sebetulnya tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kriteria IQ,EQ, bahkan SQ misalnya. Ada berragam jenis kecerdasan, berbagai jenis pengetahuan, dan banyak bentuk “logika”. Dan tidak perlu ada satu jenis meta-bahasa yang merangkum semua bahasa-pengetahuan, satu logika yang seragam dan universal.
Jenis-jenis pengetahuan tradisional pun tak perlu baru merasa sahih dan qualified hanya setelah dapat diterjemahkan dalam bahasa sains. Suatu kerangka bahasa (logika) tak selalu bisa diterjemahkan dengan persis kedalam kerangka bahasa (logika) lain. Yang diperlukan adalah saling berinteraksi dan mengambil inspirasi dari satu sama lain, saling memperkaya, tapi juga saling memperkarakan, saling mengoreksi dan mempercanggih diri melalui yang lain.
Namun di sisi lain, dalam beberapa aspek tertentu, sains memang masih dapat dianggap memiliki beberapa keunggulan tersendiri yang menyebabkannya layak mendapatkan privilese diantara jenis pengetahuan lain. Selain hasil-hasilnya paling nyata dan meluas, sains tetaplah merupakan etos terbaik dalam hal belajar dari kesalahan dan pengalaman konkrit, dengan prinsipnya yang menjunjung tinggi kejujuran, penalaran kritis, ketelitian, keakuratan, keterbukaan pada wacana publik (transparansi) maupun keketatannya pada pembuktian.
Secara sosiologis (politis) pun sains dan teknologi telah sangat berjasa memungkinkan segala manusia di belahan bumi mana pun terlibat dalam komunikasi intens dan penalaran bersama, dalam kedudukan dan martabat yang sama, demi kepentingan bersama (kendati disana-sini tentu bisa terjadi distorsi yang tidak adil). Terutama dalam arti yang terakhir itulah sains tetap bernilai sentral. Dan kita tak perlu kembali ke jaman purba.
Yang mesti tetap dirawat dan dijunjung tinggi oleh Perguruan Tinggi sebagai pengusung utama kehidupan sains adalah terutama etos-nya itu, yaitu intensitasnya dalam belajar dari kesalahan, dengan prinsip kejujuran, kekritisan, keterbukaan dsb, itu; tapi juga komitmennya dalam bernalar bersama, dalam kesederajatan, demi kepentingan bersama.
Tentang filsafat.
Dari refleksi kritis para filsuf mutakhir memang kini ambisi filsafat untuk mencari dasar terkokoh pengetahuan atau satu kepastian dasar terdalam dan universal seperti sirna. Luruh pula ambisi filsafat untuk menciptakan sistem pemikiran tunggal monumental dengan logika ketat (rigorous).
Tapi nilai dan kebermaknaan filsafat tidak hanya di wilayah itu. Filsafat tetap memiliki posisi unik dan signifikan terutama dalam kemampuannya memetakan kait-mengait berbagai bidang kehidupan manusia secara menyeluruh ( yang tak mungkin dilakukan oleh sains); dalam ketajamannya menyingkapkan persoalan-persoalan mendalam peradaban manusia ,yang seringkali tersembunyi, pelik dan kompleks; dalam kenekadannya menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami dunia dan kemanusiaan kita; tapi juga dalam kebrutalannya memperkarakan dan menguncang-guncang lagi setiap kali banyak hal yang telah lama kita yakini, agar pencarian kebenaran tetap berjalan mengalir, tidak terperangkap dogmatisasi atau mengalami stagnasi.
Dengan cara itu, dalam konteks perguruan tinggi, filsafat dapat berperan membetot kembali setiap kali segala kiprah keilmuan yang spesialistis itu ke arah persoalan nilai dan makna pada tingkat pengalaman real maupun kemanusiaan global; tapi sekaligus juga menarik kembali segala kiprah ilmu ke persoalan-persoalan dasar teoritis-paradigmatis intern keilmuan sendiri.
Pengaitan kembali pada konteks eksternal maupun internal itu adalah bagian essensial dari tanggungjawab keilmuan para akademisi, sebagai ilmuwan maupun cendekiawan sejati. Ini terasa urgen justru ketika Perguruan tinggi dan dunia keilmuan umumnya kini keasyikan terbenam dalam perspektif pragmatis dan motif ekonomis.
Perguruan tinggi tak boleh hanya menjadi balai pelatihan tukang, supermarket ilmu atau bursa gelar. Kehormatan dan nilainya terletak pada posisinya sebagai ajang proses interaksi kecendekiawanan, dan dengan itu sekaligus sebagai benteng kokoh dimana martabat dan harkat kemanusiaan, peradaban dan kehidupan dirawat serta dipertahankan.
Tentang agama.
Dalam konteks peradaban sesungguhnya agama tetaplah bisa dilihat sebagai oasis yang mampu menyuburkan sisi-sisi terbaik manusia, sebagai “the mind in all the mindlessness of the world” atau “the heart in the heartless world”. Tapi juga sebagai upaya yang tak pernah berhenti untuk mewujudkan cita-cita luhur yang “tak mungkin” sampai menjadi mungkin.
Sayangnya itu semua sering terkubur oleh antusiasme berlebihan yang membabi buta, oleh kesempitan wawasan, oleh krisis identitas, oleh nafsu kekuasaan, atau pun egosentrisme kekanak-kanakan. Dan dengan itu agama malah justru menjadi bahaya laten paling destruktif bagi peradaban.
Perguruan tinggi, terutama yang menyandang nilai-nilai agama secara eksplisit, perlu ekstra waspada terhadap ironi-ironi yang kerap tak disadari itu.
Iman bukanlah hanya perkara perasaan dan hati. Antusiasme perasaan yang berlebihan bisa berdampak keluar ngawur dan mengerikan, apalagi bila agressi dihayati sebagai kesalehan. Dalam berhadapan dengan kompleksitas kehidupan dan peradaban , iman perlu juga dijernihkan dan dimatangkan oleh akalbudi. Hati dan perasaan pun perlu diasah dan dididik oleh penalaran. Meksipun sebaliknya juga benar.
Tapi yang lebih pokok lagi barangkali adalah bahwa iman itu soal perbuatan, bukan perkara institusi atau pun proposisi (dogma). Dan agama, dogma atau pun kitab suci jelas bukanlah Tuhan itu sendiri.
Perguruan tinggi , yang senantiasa mencari kebenaran, mesti selalu berani meletakkan Tuhan -sang kebenaran itu- sebagai sesuatu yang masih perlu dicari. Keyakinan berlebihan bahwa kebenaran ilahi sudah ada ditangan mudah sekali membuat kita merasa mampu membaca pikiran Tuhan. Dan itu hanya satu langkah untuk menganggap diri kita Tuhan itu sendiri, lantas dengan mudah kita mengadili dan menghukum yang lain.