Salatiga, Gramediapost.com
Pusat Studi Hukum dan Teori Konstiusi (PSHTK) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) bersama Lembaga Kemahasiswaan Fakultas (LKF) Hukum UKSW menggelar Diskusi Ilmiah, pada Senin (21/10/2019). Diskusi bertajuk “Langkah Konstitusional Pasca Permberlakuan UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK” dihadiri oleh sejumlah pimpinan Lembaga Kemahasiswaan (LK) baik tingkatan Fakultas maupun Universitas serta ratusan mahasiswa UKSW, yang berlangsung tepatnya pukul 13.30 WIB hingga selesai di Gedung E 126 – UKSW.
Dalam sambutannya, Jonathan selaku Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Hukum menyampaikan bahwa; “diskusi ini bertujuan untuk merespon adanya problematika dan kontroversi pasca pemberlakuan UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK”. Lebih lanjut, Jonathan menambahkan bahwa “harapan dari diskusi ini semoga dapat memfasilitasi keresahan-keresahan yang tampak di kalangan mahasiswa/mahasiswi serta masyarakat pada umumnya. Melalui diskusi ini mahasiswa akan memahami peran intelektualitasnya, bukan hanya dengan cara turun ke jalan melainkan juga melalui pendekatan-pendekatan akademis”.
Dalam diskusi tersebut, para pakar Hukum Tata Negara yang menjadi narasumber membahas langkah-langkah konstitusional seperti judicial review dan legislative review terhadap UU NO. 19 tahun 2019 tentang KPK.
Adapun tiga pembicara dalam diskusi ini diantaranya: Dr. Agus Riewanto pakar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Muhammad Junaidi pakar HTN FH Universitas Semarang (USM), dan Dr. Umbu Rauta Direktur PSHTK dan pakar HTN UKSW.
Dalam pemaparan materinya, Agus menggambarkan bahwa ada tiga langkah konstitusional atas UU KPK, yaitu, “executive/legislative review, penerbitan Perppu oleh Presiden, dan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK)”. “Tiga langkah konstitusional ini sah-sah saja diambil. Jika menempuh langkah judicial review, maka ada 2 argumen mendasar, yaitu uji secara formil dan materil,” tegas Agus.
Sementara itu, Junaidi mengutarakan bahwa “saat ini langkah konstitusional yang paling tepat dan efektif untuk diambil adalah judicial review. Perihal mengajukan gugatan melalui JR merupakan hak konstitusional setiap warga negara dan dijamin oleh konstitusi. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa harusnya berperan menempuh jalur konstitusional seperti JR ini guna menyuarakan keberatannya terhadap UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Bukan malah demonstrasi di jalan yang berpotensi ditunggangi ataupun diboncengi.”
Selaku pembicara ketiga, Umbu Rauta memulai materinya dengan menggambarkan tahapan-tahapan pembentukan undang-undang, di antaranya; perencanaan, pengusulan, pembahasan (persetujuan), pengesahan, pengundangan. “Di antara ketiga opsi langkah konstitusional tersebut, langkah yang elok sebagai wujud koreksi publik terhadap tindakan legislator (DPR dan Presiden) yaitu mengajukan judicial review terhadap UU No 19 tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Umbu.
Lebih jauh Umbu menjelaskan bahwa “Alangkah lebih baik manakala pengujian UU tersebut ke MK lebih diarahkan pada pengujian formil, artinya menguji proses pembentukan UU No. 19 tahun 2019 telah sesuai atau tidak dengan prosedur pembentukan UU.”
“Manakala langkah pengujian formil dikabulkan oleh MK, maka seluruh bangunan UU No. 19 Tahun 2019 “dicabut” sehingga akan kembali ke materi yang diatur dalam UU No 30 Tahun 2002,”
Lanjutnya; “Semula memang diharapkan Presiden menerbitkan Perppu untuk menunda atau bahkan mencabut keberlakuan UU No. 19 Tahun 2019.
Namun memperhatikan fakta bahwa Presiden telah ikut membahas dan memberi persetujuan bersama lahirnya UU No 19 Tahun 2019, tampaknya publik tidak perlu berharap banyak karena variabel dukungan dari DPR menjadi bahan pertimbangan”, tutupnya.
Setelah masing-masing pemateri memaparkan materinya, para mahasiswa yang hadirpun merespon dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan. Antusias para mahasiswa melalui pertanyaan dan tanggapan tampak mewarnai proses tanya-jawab dan diskusi yang terbangun secara dialogis dan interaktif.