EDITORIAL MEDIA INDONESIA
*TIDAK bisa ditawar-tawar lagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI ialah harga mati*. Tidak ada yang boleh mengusik keberadaannya dengan cara apa pun dan alasan apa pun termasuk lewat referendum, apalagi hanya lantaran kalah pemilu.
*Bagi sebuah bangsa, referendum ialah istilah yang paling dibenci*. Ia dipakai kelompok tertentu di wilayah tertentu yang hendak memisahkan diri dan membentuk negara baru. *Istilah itu pula yang belakangan kembali diwacanakan salah seorang elite partai lokal di ujung barat Nusantara.*
*Adalah Muzakir Manaf alias Mualem, Ketua Umum Partai Aceh, yang mencuatkan referendum*. Muzakir yang juga mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menilai, kondisi Indonesia saat ini di ambang kehancuran di segala aspek sehingga dirinya meminta referendum untuk Aceh.
*Tak tanggung-tanggung, wacana referendum itu dilontarkan Muzakir di hadapan Plt Gubernur Aceh, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, dan pejabat-pejabat lain pada peringatan wafatnya Hasan Tiro, Senin (27/5).*
*Kita tidak tahu pasti apa yang sebenarnya melatari Muzakir tiba-tiba mengusung lagi referendum*. Alasan bahwa Indonesia di tubir kehancuran jelas mengada-ada karena fakta menunjukkan Indonesia justru berada di depan pintu kebesaran. *Begitu pula dengan alasan bahwa penerapan butir-butir MoU Helsinki lamban, salah satunya terkait dengan qanun bendera Aceh yang hingga kini belum ada titik temu dengan pusat.*
*Melalui MoU Helsinki yang diteken pimpinan GAM dan perwakilan pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, Aceh memantapkan diri untuk tetap menjadi bagian dari NKRI*. Mereka sepakat mengakhiri konflik berkepanjangan dengan pusat sekaligus mengubur niat dan upaya memisahkan diri.
*Sebagai imbal balik, pemerintah memperlakukan rakyat Aceh secara istimewa*. Mereka, misalnya, diizinkan menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam, mendirikan partai lokal, dan memiliki DPRD yang berbeda dengan DPRD kebanyakan. *Seperti halnya Papua dan Papua Barat, Aceh juga mendapatkan dana otonomi khusus dengan jumlah amat besar agar mereka lebih cepat membangun daerah.*
*Referendum semakin tidak relevan diwacanakan karena tidak ada landasan hukum yang memungkinkan pelaksanaannya*. Dasar hukum, yakni Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1983 tentang Referendum yang sebenarnya untuk mengatur kemungkinan mengubah UUD 1945 juga telah dicabut. *Begitu juga dengan peraturan turunannya, yaitu UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.*
*Tanpa pijakan hukum, referendum berarti ilegal dan inkonstitusional*. Ia tidak diakui lagi sebagai salah satu model untuk menyelesaikan masalah kebangsaan sehingga siapa pun dilarang menginisiasi dan memberlakukannya. *Jika melanggar, dia harus berhadapan dengan hukum.*
*Ada dugaan kuat referendum dilontarkan Muzakir karena pihak yang dia dukung kalah dalam Pemilu 2019 yang dihelat 17 April silam*. Lalu, dia mencari-cari alasan yang mengada-ada untuk dijadikan pembenaran bahwa referendum memang layak diwacanakan.
*Kecewa dan sakit hati karena kalah dalam pemilu memang wajar, sangat wajar*. Namun, amat tidak wajar jika kekecewaan itu lantas dilampiaskan dengan cara-cara yang tak masuk akal. Referendum termasuk cara-cara yang tak masuk akal itu. *Demikian halnya dengan ajakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono kepada pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk tidak membayar pajak.*
*Apa jadinya Republik ini jika setiap kali pemilu lima tahunan usai, ada daerah yang menuntut referendum pemisahan diri?* Mau jadi apa negeri ini jika lantaran jagoannya kalah lalu menolak bayar pajak?
*Pemilu sudah selesai dan siapa pun pemenangnya nanti, bangsa ini harus tetap bersatu*. Bangsa ini pernah terluka ketika referendum membuat Timor Timur lepas menjadi negara sendiri dan kita tak ingin terluka lagi. *Tiada ruang sejengkal pun untuk referendum, yang ada cuma NKRI harga mati.*